Mendung masih menggantung rendah di langit. Menyisakan pertanda bahwa semalam baru saja hujan deras. Oleh karena itu pagi ini terasa amat dingin. Udara dingin pagi ini membuat Freya masih sibuk merajut mimpi indahnya.
Ia bermimpi sedang berada di kelas ramuan bersama Harry, Ron, dan Hermione saat Seamus memberitahukan kalau Prof. Severus Snape sedang sakit. Mereka berteriak kegirangan. Namun ternyata Prof. Dumbledore mengutus seorang guru ramuan pengganti. Guru itu mulai melangkahkan kaki ke ruang kelas bawah tanah yang gelap. Jubah hitamnya memjuntai ke tanah melambai-lambai. Aura kelas mendadak dingin dan mencekam.
Profesor pengganti itu perlahan-lahan mengangkat kepala dan memperlihatkan wajahnya. “Hah, Pak Reza!!!”
Jdukkk... Gubrakkk!!!
“Adudududuhhh!!!” freya mengelus kepalanya yang terasa nyut-nyutan.
Matanya perlahan terbuka, hal yang pertama kali dilihatnya adalah sepasang kaki dengan sandal kepala Minnie Mouse. Freya sangat mengenali sandal itu. Ia mengangkat kepalanya. Kak Fanya sydah berkacak pinggang sambil geleng-geleng kepala.
“Istri macam apa yang jam delapan baru bangun!!!” omel Kak Fanya segera.
Freya bangkit dengan tetap mengelus kepalanya yang baru saja terbentur lantai. “Apaan sih, Kak. Lagian Freya juga belum sah jadi istri!” Freya membela diri.
Kak fanya geleng-geleng lagi. Ia menyibak gorden kamar Freya sambil mendumel pelan. “Oh ya. Mamah udah pergi ngurusin katering pernikahan kamu.”
Freya hanya membalas dengan gumaman. Ia kembali meringkuk ke dalam selimutnya tapi gerakan tangan Kak Fanya lebih gesit. Kakaknya berhasil merebut selimut itu, membuat Freya kesal setengah mati.
“Ishhh, Kakak apa-apaan sih! Balikin selimut aku!!!” protes Freya.
“Yang mau nikah siapa, yang repot siapa? Hari ini kamu nggak ke kampus?” tanya Kak Fanya sambil melipat selimut Freya.
“Gak! Lagi males ketemu dosen killer. Lagian laptop aku mati. Ntar siang mau aku bawa ke tukang servis,” jawab Freya sambil berusaha merebut kembali selimutnya.
Tepat saat itu suara dentingan piano Canon in D terdengar nyaring. Freya meraih ponselnya di atas nakas. Tangannya reflek memencet tombol reject saat membaca nama si pemanggil.
“Siapa?” tanya kak Fanya penasaran.
“Dosen galak!” jawab Freya kesal karena Pak Reza sudah mengganggu pagi indahnya.
Tiba-tiba sebuah pesan w******p masuk ke nomornya.
From: Mr. Fahreza Zuchrufan
SAYA TUNGGU DI KAMPUS SEKARANG!!!
“Ngegas banget, anjir. Ini orang capslocknya jebol atau gimana sih!” gumam Freya saat membaca pesan dari Pak Reza yang bertuliskan huruf kapital semua. Freya melemparkan ponselnya di atas kasur dan menyambar handuknya.
***
Dua jam kemudian Freya sudah berada di ruangan Pak Reza. Laki-laki itu menyodorkan ponselnya pada Freya. Tidak seperti biasanya, kali ini Pak Reza menyuruhnya menutup pintu.
“Duduk!”
Freya duduk dengan patuh. Pak Reza menyodorkan ponselnya setengah melempar. “Maksud kamu ngirim kayak gini buat apa?”
Nyali Freya mendadak menciut mendengar gertakan Pak Reza yang rasanya mengerikan. Kelihatannya Pak Reza benar-benar murka.
“Ma-maaf!”
“Kamu pikir pernikahan kita settingan? Kamu pikir pernikahan kita cuma bohongan? Hari pernikahan kita udah deket, Freya. Kamu mau bikin skandal apa tentang saya sama Sesilia, hah?” Pak Reza membentak Freya.
“Kamu tahu? Bu Sesil menganggap serius pesan saya. Dia berpikir kalau hari ini saya benar-benar akan mengajaknya makan siang dan....!”
“Lalu apa masalahnya? Bapak kan tinggal makan siang saja dengan beliau?” Freya mengangkat wajahnya.
“Kamu pengen tahu masalahnya? Masalahnya adalah Bu Sesil menyukai saya dan semua dosen tahu itu. Bagaimana kalau ayah kamu sampai mendapati kami berdua pergi bersama disaat saya akan menjadi suami sah kamu. Apa kamu pikir beliau akan mempercayakan kamu pada saya?” Pak Reza memelankan suaranya. “Kenapa kamu tidak sampai berpikir resikonya bakal seperti apa!”
Freya berdiri dan menatap mata elang pak Reza. “Tenru saja saya sudah memikirkan resikonya. Saya pikir Bapak cukup pintar untuk mengartikan maksud saya. Ya, saya ingin pernikahan ini dibatalkan. Bapak pikir saya mau menikahi manusia berdarah dingin macam bapak? Galak dan gak punya selera humor sama sekali!” Air mata Freya mulai mengambang di pelupuk mata. “Saya tidak mencintai Pak Reza. Hari itu saya mengatakannya hanya karena tantangan ToD saja!”
Pak Reza tidak berucap sepatah katapun bahkan setelah Freya menyelesaikan rentetan kekesalannya. Gadis itu segera pergi dengan berlinang air mata.
***
Freya tidak sanggup bila harus memendam masalahnya sendirian. Gadis itu sesenggukan sementara AlFin hanya bisa menepuk punggungnya memberikan ketegaran. Dari sekian banyak temannya. Freya rasa cuma Alfin yang enggak punya mulut ember.
“Lo orang pertama yang gue kasih tau, Fin. Elo mau kan janji nggak cerita hal ini ke siapa-siapa dulu?” Freya menatapnya dengan cemas.
Alfin mengangguk. “Gue janji.”
“Jadi menurut lo gue harus gimana sekarang?”
“Gimana apanya? Ya lanjutin apa yang udah lo mulai. Lagian undangannya udah terlanjur disebar, kan? Lo mau bikin huru-hara batalin pernikahan lo gitu kek di sinetron?”
Alfin memang benar. Freya menunduk lemah.
“Lo tahu kan kalau calon suami lo itu dosen dan calon mertua lo itu pak rektor! Lo mau mencoreng nama baik mereka?” lanjut Alfin lagi, membuat Freya benar-benar merasa bersalah.
“Gak lah, Fin. Mana berani gue.”
“Lo dilema kayak gini gara-gara Dannis kan? Udah deh Fre, mending lo buka lembaran baru. Lupain Dannis, dia Cuma bagian dari masa lalu elo.”
Freya mengangguk. Beruntung sekali dia memiliki sahabat seperti Alfin. Sekarang ia tahu apa yang harus dilakukannya.
***
Freya berjalan gontai seorang diri. Ia ingin segera meminta maaf pada Pak Reza tapi tak menemukan laki-laki itu di ruangannya. Ia menyesal sudah mengucapkan kata-k********r itu pagi tadi, kalau saja Pak Reza bersedia memaafkannya ia berjanji akan memberikan apa saja yang ia punya. Mungkin sedikit terlambat baginya menyadari kalau Pak Reza lah yang seharusnya ia pertahankan. Orang yang bersedia menghabiskan sisa hidupnya dengan gadis keras kepala macam dia.
Setelah mendapat informasi dari salah seorang dosen bahwa Pak Reza mengajar di pascasarjana, Freya segera melesat menuju ke sana. Akhirnya Freya sampai di gedung pascasarjana meski dengan napas ngos-ngosan dan keringat yang bercucuran. Jarak fakultasnya dan gedung pasca memang bisa dibilang nanggung, kalau jalan kaki capek tapi kalau pake motor terlalu dekat. Ia bisa melihat mobil Pak Reza yang terparkir di antara mobil-mobil yang lain. Gadis itu lalu mencari tempat duduk di bawah pohon sembari mengawasi mobil itu.
Hampir dua jam Freya menunggu. Apa gue masuk aja ya? Baru saja berpikir seperti itu Pak Reza terlihat keluar dan menuju mobilnya. Freya segera berlari dan menghampiri. Laki-laki itu tampak terkejut dengan kehadiran Freya yang tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Pak Reza kemudian karena Freya tak juga buka suara.
"Saya minta maaf," ujar gadis itu lirih."Saya salah, tidak seharusnya saya mengatakan hal itu. Bapak mau kan memaafkan saya?"
"Nanti kita bahas hal ini. Saya sudah ditunggu untuk ngajar mahasiswa PPG!"
Jawaban Pak Reza sungguh jauh dari dugaan Freya. Setelah menganggap kursi mobilnya lebih berharga dari Freya sekarang laki-laki itu lebih memprioritaskan mengajar mahasiswa PPG daripada menyelesaikan masalah mereka berdua.
Pak Reza segera masuk ke dalam mobil sebelum Freya sempat berbicara lagi. Freya merasa keadaannya saat ini persis seperti sinetron kesukaan mamahnya, dimana saat si tokoh utama cewek dicampakkan dan ditinggal pergi begitu saja. Bedanya di sini si cowok meninggalkan dia bukan karena kepincut pelakor. Freya hanya bisa memandang mobil itu dengan hampa. Kelihatannya Pak Reza masih marah.
Akhirnya, Freya mengirim pesan kalau ia akan menunggunya di perpustakaan. Masalah ini harus selesai hari ini juga. Freya sengaja memilih kursi baca di pojokan dekat jendela. Supaya bisa melihat kalau Pak Reza masuk ke perpus. Entah berapa lama ia sudah duduk di kursi itu menanti balasan Pak Reza. Matanya perlahan-lahan mulai berat.
Tak lama kemudian Freya tersentak. "Sial, kenapa gue bisa ketiduran sih."
Gadis itu melihat sekeliling. Sepi. Bahkan lampu perpustakaan sudah dipadamkan. Dalam keremangan ia berusaha membaca jam tangannya. Ternyata sudah hampir Maghrib. “Ha? Kenapa gak ada yang bangunin gue sih!”
Freya segera turun dari lantai dua. Rautnya berubah panik saat melihat pintu utama sudah terkunci rapat. Freya menggedor-gedor pintu itu sekeras mungkin. "Apa ada orang di luar?" teriaknya panik.
Tangannya merogoh sesuatu dari balik celana jeans. Sayang sekali bahkan ponselnya hanya tinggal tiga persen. “Sial! Kenapa gue bisa lupa ngecharger sih.” Baru saja ia memencet nomor ayahnya ponsel itu sudah mati.
Wajahnya pucat seketika. Perpustakaan pusat itu memang cukup tua dan Freya sangat penakut. Berbagai rumor menakutkan tentang perpus pusat kembali terngiang dalam pikirannya. Freya ingat Shofi dan Eva pernah bercerita meskipun siang hari, jangan pernah masuk kamar mandi di perpus pusat sendirian. Brio juga juga pernah berpesan kalau ngambil buku di rak nomor 13 harus sambil mejamin mata. Soalnya sering ada penampakan tiba-tiba dari balik rak. Gue harus gimana? Masa iya harus nunggu sampe pagi.
Petang pun mulai merangkak menjadi malam. Freya terduduk di balik pintu. Seharusnya ia pulang saja tadi. Toh Pak Reza juga terlalu sibuk untuk bicara dengannya. Toh Pak Reza tidak pernah memprioritaskan dirinya. Pak Reza pasti menikahinya gara-gara temennya udah pada nikah dan dia pengen punya status juga. Freya tercekat saat tiba-tiba telinganya menangkap suara sepatu yang diseret-seret.
Srekk...srekk
Freya meringkuk memeluk lutut, tenggorokannya tercekat. Sembari terus menggumamkan doa ia memejamkan mata rapat-rapat. Suara kaki itu semakin dekat, disusul suara buku-buku yang jatuh berdebum.
Bukk...bukk
Freya mulai menangis. "Mah, Pah, Kak Fanya, kalau Freya mati disini tolong maafin semua kesalahan Freya. Maafin Freya karena belum bisa jadi anak yang baik,"isaknya. "Pak Reza, saya juga minta maaf karena selalu menyusahkan bapak."
Tepat saat ia menyelesaikan kalimat itu. Freya merasakan telapak tangan yang dingin memegang pundaknya.