bc

Istri Tengil Pilihan Sang CEO

book_age18+
1
IKUTI
1K
BACA
family
goodgirl
mafia
drama
sweet
bxg
city
widow/widower
like
intro-logo
Uraian

"Istri Tengil Pilihan Sang CEO": Azzam Putra Pratama, CEO tampan dan sukses, menjadi duda di hari pernikahannya. Istrinya tewas dibunuh di tengah pesta pernikahan mereka. Trauma mendalam dan kemampuan spesialnya yang membuatnya sulit menemukan pengganti istri, membuat Azzam menutup diri dari wanita. Namun, takdir mempertemukannya dengan Silvana, seorang wanita energik dan "tengil" di sebuah klub malam. Silvana, yang jauh lebih muda dan memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengannya, dipilih sebagai istri perjodohan untuk membantu Azzam keluar dari trauma dan kesendiriannya. Akankah perjodohan ini berhasil menyatukan dua jiwa yang sangat berbeda, atau malah menimbulkan konflik dan masalah baru? Kisah cinta beda usia ini dipenuhi dengan tantangan, romansa, dan misteri di balik kematian istri pertama Azzam.

chap-preview
Pratinjau gratis
Satu Miliar dan Sebuah Tamparan
"Satu miliar kau bilang?!" "Ya, bayangkan nolnya, Sayang. Dia bukan putri kita. Ini kesempatan langka!" "Istriku, Silvana keponakan kita, anak kakakku!" "Persetan! Dia anak orang lain! Kasihan padanya untuk apa?" "Istriku… tapi…" Plaakk! Safeea kalap. Niatnya menjual keponakan suaminya, Silvana, menemui jalan terjal karena ditentang Leonardo, suaminya. Emosi menguasai Safeea hingga ia menampar Leonardo hingga terjatuh. "Dik! Kau gila!" "Aku tak peduli! Tanda tangani ini, cepat!" paksa Safeea. Leonardo menolak. Silvana baginya bukan hanya keponakan, tapi seperti anak sendiri. "Sampai mati, aku tak akan membiarkanmu membawa Silvana pergi," lirih Leonardo pilu. "Kalau begitu, berikan Dhea saja." Leonardo terperangah. "Dhea? Kau mau menjual putrimu juga?!" Safeea menyeringai. "Rentenir mengejar! Mami Dona butuh gadis, kau tahu kan?" "Dik!!" "Sudahlah! Silvana atau Dhea yang pergi!" bentak Safeea. Di ruangan lain, Silvana dan Dhea mendengar pertengkaran itu, saling berpelukan. "Aku tak ingin jadi wanita penghibur, Mbak," lirih Dhea. Silvana menenangkan Dhea. Ia tahu niat tantenya tertuju padanya, dan ia harus mengalah. "Jangan takut, kau tak akan pergi," bisik Silvana. "Tapi Ibu… Dhea ingin sekolah, mengejar cita-cita, tapi Ibu mau menjual kita ke Mami Dona!" Mami Dona, wanita cantik dengan reputasi buruk di desa, terkenal menawarkan pekerjaan dan uang pada gadis yang mau ikutnya ke kota—semua tahu pekerjaan macam apa yang ia geluti. "Masuk kamar dan kunci pintunya, Dhea. Jangan buka sampai besok pagi. Dengarkan Mbak," perintah Silvana. "Lalu Mbak Silvana?" tanya Dhea cemas. "Jangan cemas. Mbak tak apa." "Tapi Mbak…" "Ssttt… sudah sana." Dhea pergi, cemas. Ia melihat senyum Silvana, begitu cantik malam itu. "Mbak, jaga diri baik-baik. Lebih baik Mbak kabur saja," isak Dhea. "Jangan cemas. Mbak bisa menjaga diri." Dhea menutup pintu. Gadis 18 tahun itu harus berjuang untuk ujian SMA besok. Silvana menghilang setelah Dhea masuk kamar. .... "Vana, kenapa kau terjebak di sini? Tantemu yang menjualmu?" Pertanyaan itu menyadarkan Silvana dari lamunannya. Mobil yang membawanya telah jauh dari desa. Ia menatap langit biru, hampa. "Vana…" Silvana menoleh, tersenyum pada Ana, gadis yang bernasib sama. Bedanya, Ana rela, Silvana dipaksa. "Aku tak punya pilihan, An. Aku tak bisa membiarkan Dhea ikut." "Vana…" Ana menggeleng. "Aku menawarkan diriku sendiri. Kau tidak. Aku sadar menandatangani kontrak itu." "Kau melakukan ini untuk ibumu?" tanya Silvana sedih. Ana mengangguk. "Hanya beliau yang kumiliki." "Dia pasti sedih, kan? Kau putri satu-satunya Tante Intan." Ana tersenyum getir. "Berat. Tapi Ibu tak bisa apa-apa. Aku pergi untuk mengubah nasib, meskipun caranya… sedikit tak benar." "Sedikit? Ini benar-benar tak masuk akal," gumam Silvana. "Bagaimana keadaan Dhea dan Om Leonardo? Mereka berharap aku bebas. Tapi aku terjebak pekerjaan menjijikkan ini. Tuhan… tolonglah aku… meski aku nakal, itu hanya perlindungan diri." Silvana kalut, lelah, hingga tertidur di mobil yang melaju kencang. Masa depan di kota besar itu tak menentu. … "Mbak Amanda…" Nyonya Belinda memeluk Nyonya Amanda. "Ada apa? Wajahmu… sepertinya kerutanmu bertambah," tanya Nyonya Amanda cemas. "Bagaimana tidak? Zen membuatku naik darah setiap hari! Aku menyesali diriku yang lolos dari maut!" "Ssttt… ucapan macam apa itu, Belinda? Untung kau masih hidup, kan?" "Tapi aku… aku… hikss…" Nyonya Amanda menepuk punggung Nyonya Belinda. "Aku frustasi! Anak itu tak bertanggung jawab! Suamiku pasti akan drop melihat lobi perusahaan porak-poranda! Semoga jantungnya baik-baik saja." "Apa yang terjadi? Kaizen membuat onar lagi?" tanya Nyonya Amanda. "Ya, aku ingin dia menikah, tapi bukan berarti dia bebas menjanjikan diri pada setiap gadis! Bahkan, mereka menuntut dinikahi!" "Mereka?" "Mbak Amanda tak tahu, ada lebih dari dua puluh gadis yang datang, menuntut dinikahi putraku." "Baguslah, setidaknya putra mu normal. Tak seperti putra seseorang yang lebih suka melamun di depan akuarium." Nyonya Belinda menoleh ke akuarium besar Azzam, keponakannya. "Lihat dia, setiap hari membawa pulang ikan hias." "Terdengar lebih santai. Otakku mendidih memikirkan Kaizen! Dia benar-benar berengsek!!" Nyonya Amanda menggenggam tangan Nyonya Belinda. "Kau kira aku baik-baik saja? Harga ikan-ikan itu bisa untuk membuat perusahaan kecil! Tadi pagi, batunya seharga enam ratus juta mati dimakan kadal!" "Mana ada kadal makan batu?" "Ikan hiasnya itu namanya batu. Yang memakannya kucing Widya, namanya Kadal." "Kael dan Dale?" "Iya, itu maksudku." Nyonya Belinda menggeleng. "Mereka sama saja, suka menghambur-hamburkan uang! Satu suka ikan hias, satu lagi suka menebarkan cupang! Menjengkelkan!" Nyonya Amanda sama kesalnya. Menghadapi putra mereka masing-masing memang butuh tenaga ekstra. "Andai saja mereka sedikit lebih normal." "Ya, kau benar, Belinda. Andai mereka lebih normal… sedikit saja…" "Hmm…" Keduanya menghela nafas panjang, berharap masalah keluarga mereka segera teratasi. .... "Bagaimana ini? Ayah akan pulang, tapi pekerjaanku belum selesai!" Kaizen frustasi. Sejak Tuan Dzaki pergi seminggu lalu, ia tak melakukan apa pun. "Tuan Muda harus bergerak sekarang." "Ck, kau tak lihat panasnya? Perawatan ratusan juta akan sia-sia jika kulitku terbakar! Wajah tampanku akan rusak!" "Tapi Tuan, jika Tuan Dzaki pulang dan pembebasan lahan belum selesai, wajah Tuan juga akan hancur!" Kaizen mengusap wajahnya. "Kau benar! Ayah akan menghajar ku sampai mati! Bagaimana ini, Sebastian?!" Sebastian menggeleng. "Sepertinya Tuan Muda harus beraksi." Braaaakk! Pintu terbuka keras. "Azzam! Apa-apaan kau!" Azzam masuk, menghampiri Kaizen. "Kenapa? Kukira pintu itu juga rusak seperti di bawah." "Sialan kau! Kau tak punya uang untuk menggantinya, kan?" Azzam acuh, duduk di sofa. "Tuan Muda, bagaimana jika kita minta bantuan Tuan Azzam? Bukankah dia pandai bernegosiasi?" bisik Sebastian. "Kau benar! Azzam memang pandai! Tak sia-sia kau di sisiku! Kau pandai menciptakan peluang!" puji Kaizen, menepuk pundak Sebastian. Sebastian tersenyum kecut. "Mas, minum." Azzam mengangkat sebelah alis, mengambil minuman kaleng itu dan meminumnya. "Ah… enak sekali." Kaizen duduk di samping Azzam, memijat lengannya. "Mas, jika kau suka, aku akan minta Sebastian mengirimkannya ke kantormu. Bagaimana?" Azzam merasa janggal. Sikap manis Kaizen membuatnya bergidik. "Ada apa? Kau tak biasanya memanggilku Mas. Apakah kau diancam?" tanya Azzam tajam. "Tidak, tidak… mana mungkin aku berani membuat masalah. Iya kan?" "Oh ya, seluruh keluarga sepertinya tahu masalahmu pagi ini. Wanita-wanita perkasa itu benar-benar mengerikan." Kaizen tak bisa berkutik. "Ah, itu hanya salah paham. Semuanya sudah clear." "Lalu kenapa kau masih memasang tampang sok manis? Tanganku gatal ingin menamparmu." "Ck, ayolah, Mas. Kau harus membantuku." Azzam terkekeh. "Sudah kudduga. Sikap manismu mengandung isyarat." "Hu hu hu, tolong, Mas. Leherku dalam ancaman!" "Apakah itu Om Dzaki?" tebak Azzam. Ekspresi Kaizen murung membenarkan tebakannya. "Aku harus melakukan negosiasi pembebasan lahan, tapi aku tak punya pengalaman. Hehe, Mas Azzam, tolong Zen yang lemah ini, ya?" Azzam tak berkutik, melihat binar mata Kaizen. "Apa untungnya untukku?" "Aku akan memberimu ikan hias paling mahal dan langka di dunia." "Ck, kau selalu menjanjikan itu, Zen. Tapi aku tak akan tertipu." "Tidak, aku sungguh-sungguh! Ikan hias itu sudah ada di kamarku." Kaizen melirik Sebastian. Sebastian menunjukkan gambar di ponselnya. "I-itu…" Azzam antusias. Rencana Kaizen berhasil. "Benarkah? Aku akan memberikannya ketika negosiasi berhasil." "Katakan padaku, daerah mana yang kau inginkan." Senyum Kaizen mengembang. Lehernya akan selamat! "Hehehe… aku benar-benar akan mengandalkan Mas dalam masalah ini." Azzam pergi setelah Kaizen menjelaskan situasi. "Tuan, dia pergi hanya karena ikan hias?" tanya Sebastian tak percaya. "Ya, dia memang begitu. Biarkan saja." "Aneh, Tuan. Dia cerdas, tapi hobinya… sedikit aneh." "Apa yang aneh? Dia suka mengoleksi ikan hias sejak peristiwa itu. Hidupnya hanya berkutat pada kantor dan ikan-ikannya." "Tapi kediaman yang ia siapkan untuk istrinya…" Kaizen cepat-cepat membekap mulut Sebastian. "Kau ingin mati, hah?! Jangan pernah menyinggungnya!" "B-baik, Tuan Muda." Kisah menyedihkan Azzam bukan rahasia lagi. Semua masih ingat peristiwa berdarah itu yang menyebabkan kondisi mentalnya buruk, temperamennya sulit ditebak, dan ia lebih senang menyendiri dengan ikan-ikannya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.2K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.5K
bc

TERNODA

read
198.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
56.0K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook