Tekanan

1511 Kata
Laki-laki dengan wajah sayup, terus saja memperhatikan sang kakak dimandikan. Ia berdiri tanpa teman dan saat itu, Kalila bertanya kepada dirinya sendiri tentang apa yang sudah terjadi dengan hidupnya. Kumis dan janggut tipis yang menyelimuti wajahnya, kini tidak mampu membuatnya tampak sangar. Awan hitam lebih kuat menutupi wajahnya dan ia tetap saja berusaha untuk berdiri kokoh di balik jiwanya yang hancur. "Hei," sapa Kalila dari samping kiri. Laki-laki tersebut sama sekali tidak menoleh, bukan karena benci atau tidak suka. Ia tengah berkaca karena malu pada dirinya sendiri. "Aku adalah produk gagal, tidak berguna," bisiknya terdengar parau, bahkan matanya tidak lagi tampak bersinar, seperti sebelumnya. "Standar hidup yang ditetapkan oleh dunia kini, semakin tinggi layaknya Gunung Everest. Semakin berusaha mendekati puncak, semakin membuat kita merasa tertekan bahkan hancur." "Hem ... ," gumamnya, lalu menunduk. "Sebaiknya, jangan terlalu keras pada dirimu! Sebab, hati itu tetap saja terbuat dari kumpulan darah, tanpa tulang." Kalila hanya mampu berbicara, tanpa berbuat banyak. Sebab, keduanya hanyalah dua orang asing yang dipertemukan oleh keadaan. Mungkin setelah ini, mereka akan saling melupakan dan tidak pernah ingat. Ponsel Kalila berdering beberapa kali. Ia memutuskan untuk segera mengangkatnya. Saat itu, suara bentakan menyala seperti gonggongan anjiing jalanan yang kejam, di tengah malam yang kelam. Kalila menurunkan ponselnya dan tersenyum simpul, "Aku harus kembali. Kamu, baik-baik ya!" pintanya tanpa senyum. 'Bagaimana mungkin dia bisa baik-baik saja? Ia baru saja kehilangan sosok berharga di dalam hidupnya.' "Aku antar ya!?" "Tidak perlu!" tolaknya, sambil meninggalkan laki-laki yang terus menatapnya, tanpa berani memanggil dan bertanya lebih banyak. Walaupun hatinya begitu ingin tahu, siapa nama wanita yang sudah berhasil menutup bendungan air matanya tadi. Setibanya di kantor, sekitar pukul 16.30 WIB dengan wajah dan pakaian yang kusut. "Maaf," ucap Kalila sambil menundukkan kepala. "Kamu dipecat atas permintaan saya!" ucap laki-laki gempal, bergaya rambut sisir samping, dan terdengar angkuh. "Bereskan semua barang-barangmu!" perintah kepala divisi dengan bibir yang menyeringai jahat. "Tapi, Pak. Kalau bukan karena Kalila, mana mungkin laporan hari ini bisa selesai tepat waktu." Mira terdengar protes dan ia mendapatkan tamparan keras, melalui peringatan agar tidak ikut campur dalam urusan ini. "Jangan menyeret siapa pun dalam urusan ini, Pak!" tukas Kalila, tanpa rona penyesalan sedikit pun di wajahnya. "Itu tidak adil." Lalu ia menghela napas panjang. "Apa lagi yang kamu tunggu? Pergi dari sini, sekarang juga!" "Dengan senang hati." Kalila berjalan santai ke arah meja kerjanya dan membereskan seluruh barang-barang miliknya. "Ka, seharusnya nggak seperti ini." Tasya menyusul dengan wajah yang ditutupi raut kesedihan. "Santai saja! Aku tidak menyesal sedikit pun, apalagi bersedih. Tapi kalian harus waspada! Karena kalian semua sangat membutuhkan pekerjaan ini." Kalila menatap temannya. "Dengar! Jika ada apa-apa, segera menghubungiku!" Setelah siap membereskan barang miliknya, Kalila mengangkat dan memeluk beberapa buku yang berharga, lalu meninggalkan kantor tesebut dengan senyum. Keturunan utama dari keluarga Husain ini sebenarnya bukanlah orang sembarangan. Tetapi ia memang menolak untuk bekerja di perusahaan milik papanya sendiri dengan satu alasan. Yaitu ingin bebas mengeksplor kemampuannya, tanpa tekanan secara kekeluargaan. Kalila tiba di rumah sekitar pukul 19.00 WIB. Sebelumnya, ia menikmati udara segar di sepanjang taman kota. Saat ini, semua orang tengah berkumpul dan menikmati makan malam yang seru. "Kalila! Apa yang kamu bawa?" tanya sang papa yang memang sangat perhatian dengan kedua putrinya. "Buku dan beberapa alat kantor, Pa," sahut Kalila sambil menghentikan langkahnya. "Apa ada berita baik untuk Papa?" tanya tuan Husain sambil menghentikan suapannya. "Kalila dipecat, Pa. Apa itu berita baik bagi Papa?" "Yes, off course." Tuan Husain bahkan sampai berdiri karena terlalu bersemangat dan kegirangan. "Kalau begitu, selamat ya Pa." Kalila melanjutkan langkahnya, tanpa senyum dan sang papa tidak berani untuk mengejar putri sulungnya tersebut. Setelah Kalila tidak terlihat, "Dia akan mengemis pekerjaan kepada Papa! Lihat saja nanti!" Tuan Husain mulai menebak masa depan karena menyadari bahwa sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan akhir-akhir ini, dengan kemampuan yang luar biasa seperti milik putrinya. Setibanya di dalam kamar, Kalila membuang tas dan tubuhnya di atas ranjang. Kemudian ia menutup kedua mata sambil menghela napas panjang. 'Laki-laki itu, bagaimana keadaannya saat ini?' Kalila semakin memejamkan matanya rapat-rapat dan berusaha untuk melupakan segalanya. Sayang, usahanya langsung gagal karena ia kembali terbayang wajah Devan. Kalila terduduk dengan napas yang berantakan. Ia pun memutuskan untuk berendam di dalam bathup untuk mengusir rasa kantuk yang begitu menyiksa dirinya. Bangun salah, tidur juga salah. Itulah dunia Kalila. Lalu untuk apa ia hidup? Jiwanya yang lain, sering melemparkan pertanyaan seperti itu. Selesai membersihkan diri lebih dari 40 menit, Kalila keluar dari dalam kamar mandi mengenakan potongan handuk pendek berwarna putih dan berniat untuk mengganti pakaian. Di depan cermin ukuran besar, Kalila membuka handuknya dan ia merasa tidak nyaman. Kalila seperti diawasi dan ia menjadi ragu untuk menelanjangii dirinya, walau hanya sedang sendirian. Kalila mengurungkan niatnya dan kembali menutup tubuh dengan handuk. Kemudian ia berjalan ke arah pintu untuk menguncinya. Kalila terdiam sejenak, sesaat setelah memperhatikan pintu kamarnya merenggang. Rasanya, ia sudah menutup habis pintu tersebut, sebelum membersihkan diri. Dengan sigap, ia menarik pintunya dan memperhatikan sekeliling. Tetapi tidak ada siapa pun dan Kalila memutuskan untuk kembali menutupnya. Sesaat setelah Kalila menarik pintu kamarnya, seseorang bergegas turun melewati anak tangga balkon samping dan tersenyum jahat. Pukul 22.00 WIB, Kalila yang tidak biasa makan malam, memutuskan untuk menelan obat penenang agar tidurnya nyaman malam ini. Ia ingin beristirahat sejenak, tanpa gangguan dan bayangan apa pun yang bisa membuat dirinya melemah, lalu sakit. Baru saja berencana, pintu kamar Kalila berbunyi lamban. Ia pikir sang adiklah yang berada di luar sana dan berniat untuk merayunya agar menerima tawaran papa. Hanya dengan mengenakan lingerie berwarna putih tanpa dalaman, Kalila membuka pintu kamarnya dan ternyata ia salah besar kali ini. "Elo?" sebutnya sambil melipat dahi. Pada saat yang bersamaan, saudara iparnya tersebut, menatap tajam ke arah lingkar buah kembar milik Kalila yang sangat menggoda. Kalila memang terkenal bangkok dan memiliki tubuh sintal yang aduhai. Apalagi ketika mengenakan busana tipis tembus pandang dan hanya disanggah oleh seutas tali seukuran lidi tersebut. Spontan, Kalila menutup dadanya dengan kedua tangan yang malah semakin menambah jumlah rasa penasaran di hati Elo. "Ini sudah malam," kata Kalila mengalihkan tatapan adik iparnya tersebut. "Ada apa?" "Maaf, Kak. Papa memanggil dan menunggu di ruang kerjanya!" "Baiklah." Kalila langsung menutup pintu kamar dan mengunci dengan rapi. Setelah itu, ia mengganti pakaian yang lebih sopan dan turun untuk menemui papanya. Di dalam ruangan tersebut, juga ada Elo yang tampak asik berdiskusi dengan tuan Husain. "Malam, Pa!" sapanya santun. "Duduk, Ka!" pinta tuan Husain sambil menunjuk kursi yang berada di samping Elo. Tanpa ingin menyapa Elo, Kalila langsung duduk dan menatap papanya dengan fokus. Saat itu, ternyata Elo melirik ke arah Kalila dan menatap leher jenjangnya yang tampak mulus. 'Dirinya seperti rembulan. Bersih dan indah. Bagaimana aku bisa mengabaikannya?' Elo terus berkutat dengan dirinya sendiri. Laki-laki keturunan Amerika itu, begitu terpana melihat wanita yang berada di sampingnya. Bahkan, ia sampai sulit menelan air liurnya sendiri. "Kalila, kamu adalah anak tertua di keluarga ini." Tuan Husain menurunkan nada suaranya, sambil menghela napas panjang. "Kamu juga sangat cerdas dan berprestasi. Apa salahnya membantu Papa di kantor? Apa kamu tidak kasihan dengan pria tua renta ini?" Kalila memejamkan matanya sejenak, lalu menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Sepertinya, bekerja di perusahaan papanya sendiri, merupakan kutukan untuknya. "Pa, Kalila ingin mengembangkan diri, mengepakkan sayap dan terbang dengan cara Kalila sendiri. Di kantor Papa, Kalila tidak suka dengan sistem kerja dan penggajian karyawannya. Menurut Kalila, itu tidaklah sesuai," sahutnya tegas, tanpa basa-basi, apalagi menjilat. "Di sana, yang kaya semakin kaya dan yang miskin makin miskin. Zona kekeluargaan di dalamnya, hanya berputar pada orang itu-itu saja." "Tidak ada yang memiliki kesempatan untuk maju, padahal banyak diantara mereka yang pantas dan layak," sambungnya yang kali ini lebih banyak bicara. "Papa malah mempekerjakan orang-orang yang tidak bisa menggunakan offline Exel di pucuk pimpinan." "Papa mengerti, Ka. Bahkan sudah memberikan kamu kesempatan untuk bekerja di perusahaan lain. Tapi, sekarang kamu sudah dibuang setelah berjuang keras untuk mereka, bukan?" tanyanya tampak mulai serius. Sang Papa siap bertarung argumentasi. "Kalau soal sistem kerjanya, silakan kamu rombak! Papa akan menerimanya kali ini, meskipun beresiko kehilangan teman-teman seperjuangan," jawabnya tampak sungguh-sungguh. "Asalkan kamu bersedia bekerja di kantor milikmu sendiri!" "Pa ... ." "Papa sudah mengalah satu sisi darimu, Ka. Kamu meminta Papa dan mamamu tidak bertanya tentang nasib hidupmu dalam hubungan dan ikatan pernikahan, itu sudah Papa setujui." "Papa!" "Sekarang, apa Papa harus kembali mengalah? Come on!" Tuan Husain menyandarkan tubuhnya sangat keras di kursi kerjanya. "Apa mungkin karena Elo bekerja di sana juga, makanya Kak Kalila nggak bersedia bekerja di sana?" timpal Elo semakin memanaskan suasana. "Nggak ada hubungannya dengan kamu. So, please!" jawab Kalila sambil menatap tajam. "Sekarang kamu tinggal pilih! Bekerja di perusahaan atau menikah dengan pria pilihan Papa!?" "Papa!" Kalila menekuk dahinya. "Papa kasih kamu waktu untuk berpikir selama 3x24 jam. Silahkan keluar dari ruang kerja Papa!" ujarnya tampak kesal. "Apa sulitnya menikah? Lalu kamu bisa bersantai saja di rumah," sambung tuan Husain semakin menggerutu. "Permisi, Pa." "Selamat, malam." Tuan Husain semakin mengusir putri sulungnya. Pada saat yang bersamaan, Elo menggenggam kedua tangannya erat. Dari reaksinya tersebut, ia tampak tidak suka dengan pilihan kedua yang diberikan oleh papa mertuanya tersebut. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN