Aletta Putri Sukmaya

1890 Kata
Adzan isya berkumandang tetapi pembukaan belum juga lengkap. Sedari tadi Fauzi sudah mondar-mandir merasa gelisah, sedangkan Rey sedang asik sendiri bermain bersama Mbok. Fitri, jangan ditanya rasanya sedang nano-nano, gelisah, was-was, dan segala rasa bercampur menjadi satu. "Ayah," panggilnya. "Iya, Sayang. Kenapa? Mau apa? Minum?" "Gak," tolaknya. "Lalu? Mau apa, Ibun?" "Tolong, usap-usap punggungku. Rasanya panas, linu sekali, Yah." "Baik, Sayang. Ayah bantuin ya, biar Ibun dan adik bayi merasa nyaman, tenang dan aman." "Makasih, Ayah." "Sama-sama Ibun, Sayang." "Ramai sekali!" celetuk Rey tiba-tiba. Fauzi dan Fitri saling pandang, Mbok langsung memperhatikan sekitar dan menajamkan matanya berjaga-jaga barangkali ada sesuatu yang mengejutkan. "Dimana?" tanya Fauzi. "Diluar, Ayah!" "Ngapain?" tanya Fitri bingung. "Nungguin adik bayi lahir," jawabnya polos. "Yah," ucapnya parau. "Tenang, Sayang. Semua baik-baik saja, ya. Ada Ayah, Abang dan Mbok," balasnya menenangkan. Rey berjalan mendekat ke arah Ibunnya lalu minta naik ke atas ranjang. Duduk manis di sebelah Ibunnya yang terbaring, lalu mengusap lembut perut buncit itu dan ada balasan tendangan dari adik bayi. "Aw!" keluh Fitri tiba-tiba. "Adik bayi nendang!" seru Rey. "Rey!" tegur Ayah. "Maaf, Ayah." "Ibun, sakit ya?" "Gak pa-pa, Nak." Gleeeggaarrr Tiba-tiba, terdengar suara petir yang sangat kencang membuat mereka berempat terkejut. Fitri semakin kencang menggenggam tangan suaminya, Fauzi menenangkan istrinya yang kalut. Hawa dingin mulai masuk melalui ventilasi kamar, dinginnya terasa menusuk hingga tulang. Rey melompat dari ranjang, lari ke pinggir jendela yang ada sofanya lalu melihat keluar. "Mendung, Ayah." "Ya Allah, banyak iblis!" serunya. Mbok mendekati Rey dan berupaya untuk menjauhkannya dari jendela. Tapi Rey menolak dengan keras, ia bersikeras ingin tetap di balik jendela tersebut. "Kalau kalian berani mendekat, akan abang bakar!" ancamnya penuh penekanan. Suara Rey terdengar sangat mengerikan, siapapun yang mendengar pasti bulu kuduknya akan berdiri. Suaranya itu bagai ancaman yang akan menghancurkan keadaan dalam sekejap. "Rey, jangan seperti ini!" tegur Fauzi. "No, Ayah! Mereka semua itu iblis! Abang akan membakar mereka!" "Rey, jangan buat Ibun takut!" tegurnya kembali. "Ibun, tenang ya. Abang akan menjaga Ibun dan Adik bayi!" "Sayang, sudah turun ya. Ikut sama Mbok bobo di ranjang ujung itu." "No, Ibun! Abang akan menjaga Ibun!" "Tapi ini sudah menjelang malam, Nak." "Gak pa-pa, Ibun. Abang kuat." "Ya sudah Aden, tapi jaga Ibunnya di ranjang sana saja ya. Jangan disini, tutup hordengnya ya, Mbok takut," bisik Mbok. Rey mengangguk dan menurut untuk ke ranjang tempat istirahat. "Ayah," panggil Fitri lirih. "Gak pa-pa, tenang. Rey baik-baik saja dan semua akan baik-baik saja," ucapnya lembut menenangkan. Malam semakin larut dan sudah hampir menunjukkan tengah malam, Rey sudah tertidur pulas sedangkan sepasang suami istri yang sedang menunggu kelahiran anak mereka merasa semakin waspada. Malam semakin menjadi, hembusan angin dingin semakin terasa menusuk dan petir semakin saling menyahut satu sama lainnya. Sepertinya, malam ini akan hujan sangat deras dan mungkin juga hujan angin. Beberapa kali Bidan Erika berkunjung ke kamar untuk memastikan apakah sudah pembukaan lengkap atau belum, namun sepertinya adik bayi masih betah di dalam perut. Tepat pukul sebelas malam, hujan deras beserta angin juga petir turun membasahi bumi. Gelegar petir membuat Rey dan Mbok terbangun, secara tiba-tiba Dewi Anjani bersama anak buahnya pun datang untuk menyaksikan kelahiran Putri yang sangat di tunggu-tunggu. Dewi Anjani berjaga-jaga di sekitar sepasang suami istri tersebut sedangkan anak buahnya yang lain berjaga di sekitar mengelilingi klinik. Rey menatap takjub dengan apa yang dilihat olehnya. Beberapa prajurit masih dengan pakaian adatnya lengkap dan juga tombak yang erat di tangan mereka sebagai s*****a. "Wow, ini seru!" pekiknya membuat Fitri semakin keringat dingin. "Seperti di dalam film peperangan!" teriaknya penuh dengan kekaguman. "Rey! Jangan bicara seperti itu!" tegur Fauzi. "Maaf, Ayah, tapi ini sungguh seru!" "Sudahlah, biarkan dia berceloteh! Yang terpenting tidak berbuat sesuatu yang tak diinginkan oleh kita," ucap Fitri mengalah. Ia merasa tidak tahu lagi harus dengan cara apa memberikan pengertian pada Rey. Fitri merasakan kontraksi semakin menjadi dan selama satu jam hingga pukul dua belas lebih lima, ia merasa ingin sekali mengejan. Mbok berlari memanggil Erika untuk segera di cek dan ternyata sudah bukaan lengkap. Fitri menarik nafas panjang, setiap tarikan nafas dan hembusannya menghasilkan gelegar petir yang sangat kencang. Dewi Anjani masih berjaga dengan senyum yang selalu mengembang. Petir semakin menjadi, kilatan bagaikan irama yang mengiringi kelahiran bayi mungil tersebut. Dan tepatnya, saat hujan semakin deras disertai angin kencang, kilatan dan gemuruh petir semakin kencang, bayi tersebut lahir. Dewi Anjani menghilang keluar dari kamar dan berdiri mematung di halaman rumah sakit. Tepat di atas atap kamar bersalin saat ini Fitri melahirkan, gelegar petir dan dua buah s*****a seperti kujang bersahutan melewati. Suara tangisan bayi pecah dengan sangat nyaring membuat petir semakin nyaring juga. Alhamdulillah, anak kedua Fitri dan Fauzi lahir dengan selamat. Anak perempuan yang cantik dan kelak akan mengemban amanah luar biasa dari para leluruhnya. Semoga, adik bayi bisa menjadi gadis yang lebih kuat dari Ibunnya. "Alhamdulillah, perempuan," ucap syukur Erika yang membantu persalinan tersebut. "Alhamdulillah," ucap syukur mereka bersamaan. Rey menatap takjub adik bayinya, ia benar-benar melihat semua bagaimana proses melahirkan. Matanya menatap wajah adik bayinya yang masih berlumuran darah dan bayi tersebut tersenyum manis. "Assalamualaikum adik bayinya, Abang," sapanya dengan lembut. "Waalaikumsalam Abang ganteng," jawab Erika dengan suara khas anak kecil. "Ante mandikan adik bayinya dulu ya." Rey mengangguk lalu tersenyum. Hujan angin pun kembali tenang dan semakin lama semakin reda. Dewi Anjani masuk kembali ke dalam ruang bersalin dan ikut serta melihat proses pemandian Putri yang akan menjadi temannya itu. Beliau melihat ada sinar tepat di tengah kedua alisnya. Senyumnya mengembang, tugasnya mulai ia kerjakan dari mulai menjaganya selama lahir ke dunia. "Adik bayi cantik sekali, Ibun," celotehnya terpesona dengan kecantikan adiknya. "Abangnya juga 'kan ganteng," jawab Fitri sekenanya. "Ada cahaya dari kening adik," selorohnya. "Cahaya?" ucap Fitri dan Fauzi berbarengan. "Ya, indah sekali. Seperti bintang, ada disini, Ibun, Ayah. Masuk kesini," ucapnya meragakan kemanakah gerangan sinar seperti bintang itu masuk. "Bagaimana bisa?" gumam Fitri. "Nanti kita tanyakan pada Nyai, Sayang," bisiknya. Fitri mengangguk. "Alhamdulillah, adik bayi sudah bersih. Silahkan di adzankan terlebih dahulu, Mas," ucap Erika memberikan bayi tersebut pada ayahnya. Fauzi menerima dengan hati yang berbunga, di kecupnya bayi tersebut dan mulai melantunkan adzan dengan suara yang sangat merdu sekali. Fitri terisak bahagia, Mbok menenangkannya dengan senyum bahagia. "Aletta Putri Sukmaya," ucap Fauzi setelah menyelesaikan adzannya. "Tata?" panggilan sayang dari abangnya. "Apakah itu panggilan sayang untuk adik bayi, Bang?" tanya Fauzi dengan senyum mereka. Rey mengangguk cepat dan tersenyum. "Baiklah, mulai sekarang kita memanggilnya dengan panggilan Tata, sesuai dengan keinginan Abang Rey yang tampan," ujarnya mensejajarkan dirinya, Rey mencium penuh cinta adiknya. Tata diserahkan pada Ibunnya untuk diberikan asi, Rey naik ke atas ranjang dan duduk di samping Ibunnya. Melihat adik bayinya mengasi, tangannya terulur mengusap lembut kepala Ibunnya lalu mengecup kening penuh cinta. "Ibun, hebat!" "Kenapa, Nak?" "Sudah lahirkan adik bayi." "Hehe, itu sudah kewajiban Ibun sayang. Mengandung kalian, melahirkan kalian dan membesarkan kalian bersama ayah." "Abang akan menjaga Ibun dan Adik Tata. Abang cinta sekali sama kalian, abang gak akan biarin mereka menyakiti Ibun dan Tata." "Mereka?" tanya Fauzi mengulang ucapan anaknya. "Iya, Ayah. Para iblis itu, abang akan menjaga Ibun dan Tata dari mereka yang jahat." "Aden, jangan khawatir, ada Nyai disini," ucap Dewi Anjani tiba-tiba mendekat ke arah mereka. "Makasih, Nyai. Makasih sudah mengusir para iblis di luar sana!" "Sama-sama, Aden. Sudah tugas, Nyai." "Aku ingin bertanya sesuatu." "Bertanya apa Tuan Putri?" "Hm, nanti saja deh. Nanti jika waktunya tepat, aku akan menanyakannya." "Baiklah, kalau begitu, aku pamit dulu ya. Tenang saja, anak buahku masih berjaga disini. Tak akan ada yang bisa melewati gerbang yang sudah kubuat. Aku sudah menepati janjiku pada Aden." Mereka mengangguk dan mempersilahkan Dewi Anjani pergi entah kemana. Mungkin ingin melaporkan kejadian yang sudah terjadi tadi selama proses persalinan dan pastinya tugasnya akan semakin berat ke depannya. *** Dua bulan semenjak kelahiran Tata, ternyata lebih banyak hal yang tidak masuk akal terjadi. Mereka seringkali merasa kehilangan Tata, maksudnya bocah kecil itu seringkali hilang dari tempat tidurnya jika tak ada yang menjaga dan berhasil membuat semua orang panik. Para dukun durjana selalu mengambil kesempatan di kala semua orang sedang lengah dan Dewi Anjani tidak ada penjagaan. Setiap kali Tata hilang dari box tidurnya, selalu di temukan di tempat berbeda, entah di kamar Rey, di sofa ruang keluarga atau juga di sofa ruang tamu. Mereka baru menyadari ketika Tata menangis menjerit, Fitri selalu dibuat jantungan karena anaknya hilang mendadak. Ibun dua anak tersebut hampir gila karena stress dengan keadaan ini. Ternyata kelahiran anak keduanya lebih membuatnya was-was. Entah sudah berapa banyak juga makhluk tak kasat mata yang di hanguskan oleh Rey. "Nyonyaaa!" teriak Mbok dari kamar utama. Fitri dan Rey berlari terpogoh-pogoh menuju kamar utama. Betapa terkejutnya mereka saat melihat Tata melayang dengan tertawa bahagia. Sama halnya seperti Rey yang sering kali tertidur melayang namun bedanya Tata dalam keadaan sadar. Mbok masuk ke kamar utama berniat untuk memandikan Tata tapi justru mendapat kejutan luar biasa. "Astaghfirullah! Mbok, gimana ini?" tanya Fitri panik. Ia langsung naik ke atas ranjang, berusaha untuk menggapai Tata namun lagi-lagi gagal karena setiap kali tangannya terulur untuk menggapai justru Tata semakin melayang. "Ibun, biar Abang yang bakar!" tegasnya. "Jangan, Bang! Nanti adik jatuh!" "Terus gimana Ibun?" Tiba-tiba terdengar deru mobil masuk ke halaman, Rey berlari keluar karena itu adalah suara mobil ayahnya. Tetapi, kenapa ayahnya tiba-tiba pulang? Apa mungkin ada yang ketinggalan. Rey menarik paksa Fauzi masuk ke dalam kamar, dan responnya masih sama, ayahnya pun terkejut. "Ya Allah, Dik. Kamu lagi apa, Nak!" Fauzi menggelengkan kepala melihat anaknya melayang. "Ayah! Bantuin! Ini anaknya bisa jatuh!" tegur Fitri. "Eh, iya-iya, Bun." "Bismillah," ucapnya seraya membaca doa, naik ke atas ranjang dan menggapai Tata. Hap Tata sudah beralih ke dalam dekapan Fauzi. Fitri langsung mengambil alih dan menggendongnya. Tak terasa ia pun menangis, menangisi nasib anak-anaknya yang jauh dari kata baik. Menangisi kehidupan anak-anaknya yang seakan tak pernah bebas. "Sudah, Bun. Tata gak pa-pa." "Aku takut, Yah, hiks. Takut sekali jika tadi Tata sampai jatuh, hu hu hu," tangisnya pecah masih memeluk anak perempuannya itu. Rey mendekat dan memeluk Ibunnya penuh cinta, mengusap Ibun dan mengecupnya. "Gak pa-pa, ya, Ibun. Ada abang," tuturnya menyakinkan. "Alhamdulillah Ayah datang, jika tidak … Ibun gak tahu apa yang akan terjadi nantinya." "Sudah-sudah, yang terpenting sekarang Tata baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja selama kita semua bersama." "Iya, Nyonya, Tuan benar. Sini Non Tatanya, Mbok bersihkan dulu." Fitri menyerahkan Tata pada Mbok untuk dimandikan. Rey ikut mengekor dibelakang Mbok untuk melihat adiknya mandi. Sedangkan Fauzi memapah istrinya duduk di sofa santai di dalam kamar. "Maaf jika keadaan seperti ini selalu membuatmu takut dan khawatir." "Aku tak sanggup jika kehilangan mereka, Yah." "Jangan bicara seperti itu, Sayang. Mereka baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja." "Yah, jangan pernah tinggalkan aku sendiri untuk melewati semua ini." "Tidak akan, Sayang. Aku akan selalu menjaga kalian sama seperti menjaga diriku sendiri. Jangan khawatir ya," ucapnya menenangkan. Mengecup punggung tangan dan kening istrinya. "Ayah, kenapa pulang?" "Ponsel Ayah ketinggalan, Bun. Dan entah kenapa perasaan Ayah gak enak, jadi putar balik saja. Eh ternyata, anak kita sedang bermain menggoda Ibunnya, hehe," kekehnya membuat Fitri keki. "Ayah, ih! Sungguh, aku sangat khawatir tadi!" "Gak pa-pa, semua baik-baik saja. Ada aku!" "Makasih, Sayang. Makasih karena sudah selalu menjaga kami dengan penuh cinta dan kasih sayang." "Tanpa diminta, aku akan mencurahkan semua rasa itu, Ibun." Mereka berpelukan, saling memberikan support dan kekuatan agar tidak ada lagi rasa takut dan khawatir setelah kejadian ini walaupun sering kali kedua rasa tersebut datang menghampiri. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN