Anak Ambar dan Dukun Durjana

1857 Kata
Enam bulan berlalu, Tata tumbuh menjadi bocah yang cantik jelita, gemoy dan juga lucu. Tingkahnya selalu membuat semua orang senang, tersenyum dan bahagia. Jangan ditanya kasih sayang Rey pada adiknya itu, sungguh sangat menyayangi bahkan terkesan over protective. Entah apa yang membuatnya seperti itu, mungkin ia merasa memang benar-benar tanggung jawab dengan adiknya itu. Rey selalu berada di samping adiknya dalam keadaan apapun, baik suka maupun duka. Di kala adiknya hilang, maka ia yang akan paling gencar untuk mencari. Pernah suatu ketika, adiknya itu sudah mulai merangkak dan sepertinya memang ada dukun durjana yang mempunyai niat jelek. Sedang asik bermain dan ditinggal sebentar mengambil minum, maka adiknya itu sudah menghilang. Jika, Tata sudah tak terlihat dari pandangan matanya maka suara teriakan Rey akan menggelegar di setiap penjuru sudut rumah. "Tata!" teriaknya karena ia kehilangan adiknya. "Siapapun yang berani membawa adikku maka akan kulenyapkan!" teriaknya lantang. "Rey, ada apa?" tanya Fitri terpogoh-pogoh mendekati anak sulungnya. "Tata hilang, Ibun." "Apaaa? Bagaimana bisa, Rey?" "Seperti biasa," jawabnya santai. "Ya Allah … terus bagaimana ini? Hilangnya sudah lama belum?" "Tenang saja, Bun. Bentar lagi juga abang akan menemukannya! Dan jangan harap dukun itu masih hidup! Ini bukan yang pertama kali Tata hilang karena ulahnya! Rupanya dia punya nyali besar juga!" "Ma-maksudmu, Rey?" "Pelakunya masih dukun yang sama Ibun." "Pelakunya sama?" "Iya! Ibun ingat saat kita menemukan Tata di taman depan dekat gazebo?" Fitri mengangguk cepat. "Itu ulahnya! Dan lagi, tiba-tiba Tata sedang tidur malah ada di kamar abang, itu juga ulahnya!" "Dan sekarang juga ulahnya, memang gak ada kapoknya! Bikin Abang kesal saja! Nanti abang hancurkan tahu rasa!" "Rey, kasih pelajaran boleh, Nak. Tapi, tolong jangan keterlaluan," ucap Fitri lembut memberinya nasihat. "Gak bisa, Ibun! Perbuatannya sungguh tak bisa di tolerin lagi sekarang!" "Ya sudah, bagaimana baiknya saja." "Aki!" panggil Rey dengan suara lantang. Tiba-tiba ruang keluarga berubah menjadi sangat menegangkan, dari sudut ruangan muncul sosok lelaki dengan wujud aslinya yang sudah menua. Beliau memberi hormat pada Rey dan berkata, "Ada apa gerangan sampai Aden memanggil, Aki?" "Tata hilang." "Lagi?" "Iya! Tolong, kasih kapok dukun itu, Aki! Abang capek bakar-bakar terus anak buahnya! Jangan sampai abang bakar juga dukun jelek itu!" "Baik, Aden. Aki akan laksanakan perintah Aden. Permisi." Sosok tersebut menghilang, Fitri menatap takjub anak sulungnya. Tak menyangka, ucapannya sangat di dengar oleh mereka, ia mulai membayangkan bagaimana nanti kisah kasih kehidupan anak-anaknya saat dewasa? Apakah semakin banyak tantangan atau mungkin kebahagiaan yang akan mereka dapatkan kelak? Entahlah, memikirkan semua itu membuatnya pusing. Ia hanya berdoa semoga kelak kedua anaknya mendapatkan kehidupan yang layak, selayaknya anak-anak seusianya yang tidak harus berurusan dengan segala macam makhluk tak kasat mata. Ada rasa tak suka dan tak terima jika kehidupan dan masa kecil atau remaja anak-anaknya dihabiskan untuk hal-hal tak masuk akal, ia juga menginginkan anak-anaknya normal seperti anak-anak pada umumnya. Sedang asik melamun, tiba-tiba terdengar suara teriakan Tata dari arah kamar. Rey berlari sangat kencang untuk melihat keadaan adiknya. Tata menangis histeris, Rey dengan sigap menggendong adiknya itu. Menenangkan dengan suara yang lembut dan menyakinkan adiknya bahwa semua baik-baik saja. Fitri yang melihat pemandangan di hadapannya merasa haru dan meneteskan air mata. Ia tak pernah menyangka, kasih sayang kedua anaknya sungguh sangat besar. Ia merasa yakin, bahwa kelak keduanya akan selalu saling tolong menolong di setiap keadaan yang tidak baik-baik saja. "Aden terlihat sangat menyayangi dan mencintai Non Tata ya, Nyonya," ucap Mbok tiba-tiba mengejutkannya. "Ya Allah, Mbok! Bikin kaget aja!" "Hehe, maaf, Nyonya. Mbok tadi kaget dengar suara Non Tata berteriak, khawatir ada apa-apa." "Ya seperti biasa, Mbok. Dan selalu abangnya yang berhasil membuatnya kembali." "Nyonya, mereka berdua seperti tutup dan botol. Saling membutuhkan satu sama lainnya, saling mendukung satu sama lainnya. Mbok yakin, saat dewasa nanti keduanya akan semakin erat hubungannya dan semakin saling menjaga." "Aamiin. Itu yang di harapkan, Mbok." "Sudah waktunya makan siang, Nyonya." "Baik, Mbok. Fitri masuk dulu ajak anak-anak ya." "Monggo, Nyonya. Mbok tunggu di ruang makan." "Makasih ya, Mbok." *** Bahagia, satu kata berjuta makna. Ya, Fitri merasa sangat bahagia mempunyai suami yang sangat menyayangi dan mencintainya, mempunya kedua anak yang sangat membanggakan. Kurang nikmat apalagi? Allah memberikannya secara cuma-cuma, hanya saja masih kurang bersyukur, oh apa mungkin lebih tepatnya tidak bersyukur dengan amanah yang di punya olehnya dan juga kedua anaknya. Kedua anaknya tumbuh menjadi anak yang sangat baik, pengertian, penuh cinta dan kasih sayang. Sudah terlihat sekali bibit-bibit unggul mereka itu, saat ini Rey sudah berusia delapan tahun, sudah mulai sekolah dasar sedangkan Tata baru menginjak usia tiga tahun. Setiap kali Rey berangkat selalu saja adiknya itu menangis histeris seakan takut ditinggalkan oleh abangnya. Beberapa kali Rey memberi pengertian dengan caranya sendiri dan syukurlah Tata memahaminya. Hampir setiap ada masalah, mereka berdua selesaikan bersama, ya memang hanya masalah-masalah kecil namun membuat hati kedua orangtuanya haru. Memang, Tata ini sejak lahir sudah terlalu banyak yang menginginkan, ah bukan, bahkan saat masih di dalam kandungan. Teman bermain yang tak kasat matanya pun banyak. Beberapa diantaranya adalah anak ambar. Awalnya damai hingga suatu ketika ada salah satu anak ambar yang memang sangat nakal. Tata sedang asik bermain di taman belakang dan Rey sedang berenang. Saat Rey ingin mendekat pada adiknya, salah satu anak ambar tersebut berlari dan menabrak Tata hingga bocah kecil itu hampir terjengkang. "Dasar anak jelek!" maki Rey dengan kasar. "Adik, gak pa-pa?" tanyanya lembut. "Cakit, Bang, hiks," tangisnya pecah. Tata menangis histeris karena merasakan dadanya sakit, panas seperti terbakar. "Bang, Tata sakit," ucap salah satu anak ambar yang bernama Vivi. "Iya, Jodi nakal," geram anak ambar bernama Wiwi. "Akan kukejar, Jodi!" seru Jaya. "Jangan! Sudah kalian diam saja! Biar abang yang hancurkan!" "Jangan!" ucap ketiga anak ambar tersebut. "Kenapa? Dia sudah menyakiti Tata, sahabat kalian sekaligus adikku." "Jangan, Bang! Sebenarnya Jodi itu baik, dia seperti itu kecewa sama orang tuanya. Jodi butuh perhatian," jelas Jaya. "Biar kuurus dia! Sekarang, kalian pulang! Tata mau aku gendong masuk ke dalam!" Mereka bertiga menurut dan langsung berlari pergi meninggalkan rumah keluarga Sukmaya. *** Rey menggendong Tata yang masih menangis terisak. Fitri terpogoh-pogoh mendekatinya. "Kenapa lagi?" "Jodi nakal, Ibun, hiks. Tata cakit," adunya pada sang Ibun. "Adikmu di apain sama mereka, Bang?" "Jodi emang nakal, Bun! Tabrak-tabrak, adik! Biar abang musnahkan!" "Jangan! Jangan, Nak! Sudah jangan diperpanjang!" "Kenapa, Bun?" "Sudah cukup, Rey! Harus berapa banyak lagi dari mereka yang lenyap karena ulahmu? Hah? Berapa banyak lagi? Ibun sudah tak tahu lagi bagaimana caranya memberimu pengertian! Kontrol emosimu, Bang! Jika tidak, maka emosi itu akan menyusahkanmu suatu saat nanti!" bentaknya membuat Rey terkejut. "Ibun," ucapnya lirih menunduk dan mundur beberapa langkah. "Ibun, jangan marah-marah ke abang!" tegur Tata. "Maaf, Nak. Ibun bukan marahin abang, tapi memberi pengertian. Sudah banyak diantara mereka yang lenyap karena abang tak bisa menahan emosinya. Ibun setuju jika abang melenyapkan orang-orang jahat tapi Ibun gak setuju jika kawan-kawanmu ikut di lenyapkan hanya karena bermain tak sesuai dengan keinginanmu." "Nak, Ibun tahu kalian saling menyayangi, mencintai dan menjaga. Tapi, Ibun mohon dan minta, kalian juga bisa saling menjaga emosi. Ibun mohon, Nak," ucapnya lirih dan sedikit terisak. Rasanya sangat sesak sekali melihat kedua anaknya jika emosi tak tertahankan, siapapun akan di lenyapkan. Tata memang masih belum terlalu berulah tapi ada rasa khawatir sangat mendalam jika suatu saat nanti kekuatannya akan melebihi Rey dan itu pasti, mengingat saat kelahirannya banyak sekali drama juga kejadian yang tak terduga. "Ibun, menangis. Maafkan abang, hiks. Ibun jangan nangis," mohonnya mendekat pada sang Ibun. Mengulurkan jemari lentiknya untuk mengusap air mata yang menjatuhi pipi merah Ibunnya. Rey adalah anak lelaki yang tak pernah bisa melihat kedua kesayangannya itu menangis. Ia memang tidak akan pernah tinggal diam, jika, Ibun dan adik perempuannya menangis, terluka atau sakit. Ia akan tampil paling depan untuk membela kedua wanita kesayangannya tersebut. "Abang gak salah. Ibun yang salah, Ibun yang salah karena sudah membuat kalian mempunyai kekuatan yang seharusnya tidak kalian miliki. Ibun jahat, bahkan sangat jahat karena sudah membuat kalian lahir dengan berbeda. Kalian berbeda, tidak seperti anak-anak biasanya. Di kala anak-anak seusia kalian sedang asik bermain dan bermain, kalian justru akan dihadapkan oleh kejadian-kejadian yang akan membuat kalian takut. Maafkan Ibun, maafkan Ibun, Nak," tangisnya pecah. Rey semakin bersalah karena sudah membuat Ibun menangis hingga tersedu-sedu seperti itu. Direngkuhnya tubuh Ibunnya yang sudah semakin tua itu, dihujani kecupan cinta di wajah Ibunnya disertai kata maaf yang menghiasi ucapannya. "Maafkan, Rey, Bun. Maaf." "Ibun jangan nangis. Adik gak nakal lagi, janji," ucap polos Tata. Fitri merentangkan kedua tangannya dan kedua anaknya langsung masuk ke dalam dekapannya. Mereka menangis sambil berpelukan, memberikan kekuatan satu sama lainnya. Ini adalah salah satu sisi dimana Fitri anak berubah sangat emosional apabila kedua anaknya terus bertindak sesuka hati mereka. Ia merasa tak kuat jika tepat di depan matanya melihat Rey gencar sekali melenyapkan para makhluk astral dan pernah juga melihat Tata lebih parah. Dengan hanya menunjuk ia mampu membakar makhluk yang sudah mengganggu abangnya. Jangan ditanya bagaimana respon Ibunnya, saat kejadian itu ia hampir pingsan melihat tingkah kedua anaknya. Tubuhnya mendadak lemas dan lunglai hingga hampir terjungkal jika saja saat itu tidak ada Mbok, mungkin sudah tak sadarkan diri. Ia merasakan gagal menjadi seorang Ibun dalam mendidik kedua anaknya menjadi anak yang baik. Tapi menurut banyak orang juga keluarga, kedua anaknya itu justru sangat baik dan sangat menyayangi orang lain. *** Sudah seminggu Tata sakit, badannya panas tinggi dan dadanya membiru bahkan menjadi abu. Kedua orang tuanya bingung apa sebab gerangan anaknya sakit. Setiap hari hanya menangis dan meringis, tidak mau makan, tidak mau bermain bahkan tak mau ditinggal oleh Ibunya sedikit pun. Ke dokter sudah, tapi tak ada perubahan sama sekali. Mereka tak mengingat bahkan ada kejadian yang sempat terlupakan. Dewi Anjani tiba-tiba datang menemui mereka karena merasa tak tega mendengar rintihan Tuan Putrinya. Beliau sebenarnya tahu apa sebab bocah mungil itu sakit, tapi menahan dan ingin tahu apakah kedua orang tuanya paham atau tidak, tapi ternyata tidak. "Kenapa? Ada apa tiba-tiba kau datang? Bukankah tugasmu berjalan itu nanti? Aku masih bisa mengawasi putriku sendiri!" ucap Fitri tak suka dengan kedatangan Dewi Anjani. "Maaf Tuan Putri, aku merasa tak sanggup mendengar tangis juga rintihan Nona Putri." "Anakku sakit medis, jadi tidak ada yang harus dikhawatirkan! Tata baik-baik saja!" "Mohon maaf, Tuan Putri. Nona Putri sedang tidak baik-baik saja." "Apa maksudmu?" "Anak ambar itu sudah melemparkan ramuan pada Nona Putri." "Hah?" "Ada apa, Nyai?" tanya Rey tiba-tiba masuk ke dalam kamar utama. Fitri menghembuskan nafas kasar, bahaya jika anak sulungnya itu tahu dan mendengar. Pasti akan terjadi pelenyapan kembali. "Nyai, kenapa diam? Ada apa?" tanyanya lagi. Nyai menatap Fitri seakan minta persetujuan untuk menjawab pertanyaan anak sulungnya tersebut. Fitri hanya mampu mengangguk pasrah. "Nona Putri sakit dan itu ulah anak ambar juga dukun durjana. Mohon maaf, Aden." "Apaaaa?? Jadi, anak jelek itu suruhan dukun?" teriakannya menggelegar, Tata yang baru saja tertidur mendadak bangun dan berteriak menangis histeris. Rey berjalan mendekat ke arah ranjang, naik dan mulai menenangkan adiknya. "Sssttt, maaf, Dik. Suara abang membangunkan adik," ucapnya menepuk-nepuk p****t adiknya. "Pergi dulu, Nyai! Nanti kembali lagi, kita hadapi bersama," ucapnya dengan penuh kedewasaan. Fitri berdecak, tak menyangka anaknya itu sudah sangat dewasa padahal usianya saja belum sepuluh tahun tapi cara berpikirnya sudah dewasa sekali jika menyangkut kedua wanitanya. Dewi Anjani pamit pergi dan akan kembali ketika di panggil oleh Rey. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN