Bab 2 : Siapa Dia Sebenarnya?

1479 Kata
Bab 2 : Siapa Dia Sebenarnya Sudah dua hari, aku tak melihat Si Putih muncul di rumah ini. Ada rasa rindu juga, ke mana dia? Biasanya ia selalu ada main ke sini. Aku celingukkan di depan rumah, sambil mengedarkan pandangan ke segala arah. Biasanya Si Putih suka duduk di atap rumah atau juga di atas pagar. Tiba-tiba, pandanganku tertuju kepada atap rumah tetangga sebelah rumah, ternyata Si Putih ada di sana. Ia sedang duduk melamun. Mendadak hati menjadi girang, seperti akan berjumpa dengan pujaan hati saja. Ah, inikah namanya penyakit jomblo akut? Kucing saja terlihat seperti wanita cantik. Sepertinya aku sudah mulai gila. Aku tersenyum sendiri sambil memijat dahi. Si Putih turun dari atap rumah dan lewat begitu saja di depanku. Ada apa dengannya? Biasanya ia akan langsung minta di gendong dan mengendus di kakiku. “Putih, kok lewat saja? Gak mampir nih?” sapaku padanya. Si Putih menghentikan langkahnya dan menatapku dengan tampang cemberut. “Hey, kamu kanapa, Putih? Ayo, sini!” Aku menjentikkan jari telunjuk. Putih mendekatiku malu-malu dan langkahnya terlihat maju mundur. “Ckckckck, sini, Sayang!” Aku melambainya sambil tersenyum. Beberapa saat kemudian, Putih sudah melompat ke pelukanku dan mengendus-endus wajahku dengan rindunya. Langsung kucium wajahnya dengan gemas dan membawanya masuk ke dalam. “Kangen, ya?” Kuajak Si Putih berbicara sambil memangkunya duduk di sofa ruang tamu. “Meoongg....” Dia kembali menggesokkan kepalanya di daguku. “Sama, aku juga kangen kamu, Sayang....“ Kuciumi bulu putih bersihnya dengan rasa rindu dan perasaan aneh di hati ini, yang jelas aku menyayangi dia. “Meong....“ Si Putih bermanja di pangkuanku, kami saling melepas rindu. *** Keesokan harinya, aku sudah berangkat ke kantor sejak jam 07.00 soalnya mau sarapan di kantin depan kantor. Tadi malam sampai lupa makan saking serunya bermain bersama Si Putih, namun ia sudah menghilang kala aku terbangun subuh harinya. Sepiring nasi goreng seafood dan segelas es cappucino sudah terhidang di mejaku, suasana kantin kantor masih sepi, hanya aku sendiri saja yang ada di sini. Tanpa menunggu lama, langsung saja kusantap sarapan super nikmat ini apalagi cacing di perut sudah minta jatah sejak tadi. Tak lama berselang, terlihat seorang wanita dengan seragam putih hitam memasuki kantin. Dia Anggi. Dengan langkah ragu-ragu, terlihat ia mendekat ke mejaku. “Mau sarapan juga? Duduk sini, yuk!” sapaku padanya. Anggi mengangguk dan duduk di hadapanku dengan raut wajah bimbang. “Kok sarapan di sini, Bang? Emang, istrinya gak masak?” celetuknya yang membuat aku langsung tertawa renyah. “Belum punya istri,” jawabku sambil menatapnya sekilas lalu melanjutkan menyendok nasi goreng seafood di depanku. “Ah, ngeles aja. Yang kemarin sore bermesraan sama Abang di depan rumah, siapa?” Anggi mengerutkan dahi dan menatapku serius. “Oh, ya? Emangnya ada? Sore kapan?” Aku sedikit terkejut dengan pernyataannya. “Hemmm, yang digendong masuk ke rumah,” ucapnya dengan sangat yakin. Aku menghentikan makan dan membalas tatapan serius wanita di depanku. Kemarin itu, aku hanya bercanda di depan rumah bersama Si Putih. Masa iya, Anggi melihat kucing itu seperti penampakan seorang wanita? Ah, ini benar-benar aneh dan tak masuk akal. *** Sejak pembicaraan tempo hari, Anggi mulai menjauh. Aku sih tak masalah, toh tak ada apa-apa di antara kami. Kesibukan di luar kantor juga banyak, jadi aku tak sempat mempermasalahkan hal itu. Setiap hari sabtu dan minggu, aku selalu menyempatkan meninjau tempat usahaku yaitu sebuah Minimarket, tempat laundry, dan tempat pencucian mobil dan motor. Sepulang dari tempat pencucian mobil, di jalan menuju pulang, kujumpai Nek Sola sedang berjalan sambil menggendong Si Putih. Kulambatkan laju mobil dan membuka kacanya. “Kamu itu jangan bandel, Putih! Jangan minta yang macam-macam, Mak gak sanggup kalau kamu minta kawin sama lelaki tampan itu,” omel Nek Sola sepanjang jalan. “Meonggg ....“ “Jangan merayu lagi, pokoknya gak bisa!” “Meonggg ....“ “Iya, Mak ngerti perasaan kamu, namun kamu harus tahu diri, Nak.” Aku hanya mengerutkan dahi, masa iya ... Nek Sola bisa mengerti bahasa Kucing? Keduanya seperti mengerti saja bahasa masing-masing. 'Tit-tit' Kubunyikan klakson mobil yang membuat keduanya terkejut sehingga Nek Sola menghentikan langkahnya. “Mau ke mana, Nek?” sapaku sambil melemparkan senyum. “Eh, yang diomongin nongol, hehehe ....“ Nek Sola menutup mulutnya sambil tersenyum malu, seolah seperti tertangkap basah. “Meonggg ....“ Si Putih menelusupkan wajahnya di bawah ketiak tuannya, sambil menatapku malu-malu. “Mau saya antar pulang, Nek?” Aku mencoba menawarkan tumpangan. “Eh, gak usah, Jang! Rumah Nenek udah dekat kok,” jawab Nek Sola sambil menunjuk arah rumahnya yang memang sudah kelihatan dari sini. Sebuah rumah tua yang terlihat angker. “Ya sudah kalau gitu, saya duluan. Da ... Putih,” ujarku sambil melambaikan tangan lalu melajukan mobil. Sesampainya di rumah, ocehan Nek Sola di tengah jalan tadi berputar kembali di kepalaku. Maksudnya apa, coba? Apa ia mengerti bahasa kucing itu? Jangan-jangan Si Putih ini, siluman? Atau ... mungkin bidadari yang dikutuk menjadi kucing? Ah, akalku mulai tak sehat. *** Setelah makan malam seorang hari dengan menu hasil delevery dari Rumah Makan Padang, kuputuskan untuk menonton televisi. Tak lama berselang, Si Putih muncul dari arah dapur. Ah, itu dia. Langsung kulambaikan tangan padanya dan ia langsung berlari ke pangkuanku. “Hey, Putih ... siapa kamu sebenarnya?” Aku menatap gemas hewan berbulu lembut itu. “Meonggg ....“ jawabnya sambil mengenduskan kepalanya leherku. “Eh, eh ... jawab dulu, kamu siapa?” Kuraih kepalanya dan mengarahkannya kepadaku. Si Putih menatapku dengan bola mata birunya, lalu membenamkan kepalanya di d**a ini, hal yang paling ia sukai jika sedang bermanja denganku. “Meonggg ....“ Aku tertawa, astaga, dia ini kucing, Man. Sampai mulut berbusa juga, ia hanya akan menjawab 'meong' saja. Aku menghela napas berat. Sepertinya aku butuh psikiater. Ya Tuhan, gilakah aku jika berharap Si Putih ini adalah jelmaan wanita cantik yang akan kujadikan istri? Jones banget sih aku, masa kucing aja diembat. Nampak benar tak lakunya. Lagi-lagi aku tersenyum kecut dan membuang napas kasar. Malam ini aku tidur sambil memeluk Si Putih. Rasanya nyaman sekali memeluknya, hangat dan lembut, membuat cepat menuju alam mimpi. *** Seorang wanita cantik berkulit putih dengan rambut panjang terurai duduk di pangkuanku. “Sayang, aku mencintaimu,” ucapnya sambil mencium pipiku. Aku terpana dan tak mengerti, siapa dia? Mengapa kami bisa seintim ini? “Aku sedang berjuang untuk cinta kita. Sabarlah menungguku, Sayang! Aku akan melakukan segalanya agar bisa bersamamu. Kamu hanya milikku, hanya milikku!” ucapnya lembut namun penuh penekanan sambil membelai wajahku dengan kukunya yang panjang. ‘Degggg’ Aku langsung terbangun dan mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar. Si Putih sudah tak ada di sini, ke mana dia? Jangan-jangan wanita yang di dalam mimpiku tadi, adalah jelmaan Si Putih. Astaga, aku mengusap wajah dengan letih. Aku mulai berhalusinasi lagi, sepertinya tingkat kewarasanku mulai berkurang karenanya. *** Jam di pergelangan tangan menunjuk ke angka 05.30, aku sudah bersiap berangkat jogging dengan rute menuju taman kota. Kaos oblong, celana pendek, sepatu olahraga serta handuk kecil yang tergantung di leher dengan warna senada yaitu putih, warna favoritku. Ini adalah kegiatanku setiap hari minggu pagi, sebab pagi yang lain tak sempat kulakukan. Sambil mendengarkan musik lewat headset yang menempel di telinga, aku mulai menikmati udara pagi yang segar. Ketika melewati rumah Nek Sola yang terletak di ujung jalan, aku memperlambat langkah. Kuamati rumah warna putih yang catnya sudah kusam itu dengan rumput yang panjang-panjang di sekitarnya. Kemudian terlihat ada sosok wanita yang membuka jendela dan pintu rumah itu. Lalu berjalan menuruni tangga rumah, kemudian berlari menuju jalan dengan pakaian olahraga. Aku segera bersembunyi di balik tiang listrik di pinggir jalan. Siapa wanita itu? Bukankah Nek Sola tinggal hanya bersama kucingnya. Kuberanikan diri untuk melangkah memasuki pekarangan rumahnya, demi rasa penasaran ini. Aku celingukan, bimbang mulai melanda. Antara pergi dari situ atau masuk ke rumah yang terlihat angker itu. “Eh, ada Jang tampan .... “ Suara Nek Sola mengagetkanku. Wanita tua itu berdiri di atas teras rumah yang tinggi itu, mulutnya merah sambil mengunyah sesuatu. Lalu memasukkan benda hitam ke arah bibir atasnya. “Selamat pagi, Nek,” sapaku gugup sambil mundur ke belakang. “Mau nyari Si Putih ya, Jang?” tanyanya sambil menggosokan benda hitam itu di giginya. Aku mengangguk saja sambil menghela napas bimbang. Bulu kuduk mendadak merinding. “Dia lagi jalan pagi, gak ada di rumah. Katanya mau nyantai di taman,” ujarnya sambil menuruni tangga. “Barusan keluar, katanya setelah pulang jalan-jalan pagi baru mampir ke rumahmu.” “Oh, ya? Jadi, yang barusan keluar tadi ... itu ... Si Putih, Nek?” tanyaku dengan tergagap, menelan ludah yang terasa tersangkut di tenggorokan. Nek Sola mengangguk, “Iya.” Jantungku sedikit berdebar, siapa sebenarnya Si Putih? Dia kucing atau manusia jadi-jadian atau apa sih? Ingin kutanyakan semua yang mengganjal ini, namun Nek Sola sudah keburu naik kembali ke rumahnya dengan gaya jaman dulu itu, yaitu rumah panggung yang memiliki tangga tinggi untuk naik ke atasnya. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN