Bab 1 : Kucing Cantik
Tanpa sempat melepas pakaian kerja, langsung kurebahkan tubuh di atas sofa ruang tengah. Penat sekali rasanya setelah seharian bekerja di kantor, menghadap laptop mengerjakan laporan hasil survey lapangan tempo hari. Kupejamkan mata dengan tangan di atas dahi.
Beberapa saat kemudian, diantara lelap dan terjaga, aku merasa seperti ada yang memijat punggungku. Tangannya lembut dengan hembusan napas yang wangi. Ah, apa aku sedang bermimpi? Segera kubuka mata dan duduk, lalu melihat ke arah ujung sofa tempatku berbaring.
“Meong .... “ Seekor kucing anggora berwarna putih mendekat padaku lalu naik ke atas pangkuan, ia langsung ngeduselkan kepalanya di d**a ini.
Astaga ... aku sudah berkhayal ada seorang wanita di sini, ternyata hanya seekor kucing milik Nek Sola, seorang Nenek yang tinggal di ujung jalan. Aku tersenyum kecut sambil mengelus bulu lembut 'Si putih', begitulah pemiliknya memanggil kucing ini.
"Assalammualaikum, Putih, apa kamu ada di dalam?” teriak seseorang dari arah pagar depan rumah.
Ah, itu pasti Nek Sola. Aku segera menggendong Si Putih dan membuka pintu rumah.
“Waalaikumsalam, Nek,” jawabku sambil mendekat ke arah pagar.
“Tuh, kan, benar ... pasti Si Putih main ke sini? Pergi main, bukan bilang-bilang dulu, kebiasaan deh,” ujar Nek Sola sambil memindahkan Si Putih ke dalam gendongannya, lalu menciumi hewan berbulu lembut itu.
Aku hanya tersenyum melihat kedekatan Nek Sola dan Si Putih, ia memperlakukannya seperti manusia saja. ‘Dia kucing, Nek, mana bisa bilang-bilang kalau mau pergi?’ Aku membatin sendiri.
“Kayaknya Si Putih suka sama kamu, Jang. Abisnya, tiap hari ke sini melulu. Nenek sih, kalau dia gak ada di rumah, pasti nyarinya ke sini, hehe .... “ Nek Sola terkekeh sambil mengelus hewan kesayangannya itu.
“Oh, ya, Nek.” Aku mengangguk sembari tersenyum tipis.
“Ya sudah, Nenek pamit ya, Jang.” Si Nenek berjalan menuju pulang sambil terus berbicara dengan kucingnya.
Aku masih memperhatikannya hingga mereka menghilang di ujung jalan. Banyak yang beranggapan kalau Nek Sola gila alias kurang waras, sebab suka berbicara dengan kucingnya itu. Menurutku sih, dia tidak gila. Ia hanya kesepian tinggal seorang diri, tanpa sanak family. Wanita yang sudah berumur kurang lebih enam puluh tahun itu, hidup sebatang kara. Hanya Si Putih saja satu-satunya yang ia punya. Aku kembali masuk ke dalam rumah, sambil mengedarkan pandangan ke segala arah. Nasibku hampir sama dengan Nek Sola, hidup seorang diri. Apalah arti rumah mewah ini kalau masih jomblo begini, mana umur sudah mendekati kepala tiga. Kugaruk kepala yang tidak gatal, lalu beranjak ke kamar.
Tak lama berselang, azan magrib telah terdengar berkumandang, aku segera meraih handuk dan mandi. Kemudian menunaikan sholat magrib seorang dari dengan tak lupa berdoa, agar Allah segera mempertemukan dengan makmum sejati yang akan selalu menemani hingga tua nanti.
Sehabis makan malam, aku segera bersiap tidur. Besok harus bangun pagi-pagi, sebab ada rapat dengan kepala dinas. Kupeluk guling dan menarik selimut, lalu memejamkan mata.
***
Azan subuh berkumandang di masjid dekat rumah, aku masih merasa malas untuk beranjak dari kasur. Apalagi tidur malam ini begitu enak, guling yang kupeluk serasa wanita saja, hangat dan nyaman. Aku mulai berkhayal jika punya istri, pasti tidur akan selalu senyaman ini setiap malamnya. Ah, kapan andai-andai ini bisa segera terealisasi? Batin seorang jomblo kembali menjerit-jerit.
Kubuka perlahan mata dengan tak mau melepaskan pelukan dari seseorang yang ada di dalam dekapan. Hangat dan nyaman, dan aku tak ingin mengakhirinya.
“Meoongg .... “
Astaga, sejak kapan kamu di sini, Putih? Aku tersentak kaget. Kamu masuk dari mana? Aku celingukkan.
“Meoongg .... “ Kucing itu menatapku dengan bola mata birunya, lalu mendekatkan kepalanya ke dadaku.
Ya ampun, andai dia manusia, aku yakin dia cantik. Namun sayang, kamu hanya kucing, Putih. Aku beranjak dari kasur dan menatap Si Putih yang masih mengekor dalam selimut. Gini amat nasib jomblo, kucing aja terlihat seperti wanita cantik. Ah, dasar aku!
Aku tersenyum kecut sambil melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat subuh dengan doa agar yang selalu sama, minta jodoh.
Selesai sholat subuh, Si Putih sudah tak terlihat lagi di atas tempat tidur. Mungkin ia sudah kembali ke rumah tuannya, kedatangan dan kepergian kucing itu memang tidak terdeteksi. Ah, ya sudahlah, namanya juga hewan. Lebih baik aku segera bersiap ke kantor.
Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di dalam mobil sambil memasang sabuk pengaman. Ketika melihat ke arah kaca spion, aku seperti melihat sosok wanita berpakaian serba putih melambaikan tangan padaku. Sontak, aku langsung menoleh ke belakang. Tak ada siapa pun di depan rumah, kecuali Si Putih yang sedang duduk di atas tembok rumah. Astaga, mungkinkah ini efek kebelet pengen punya istri? Aku selalu melihat penampakan seorang wanita pada diri kucing anggora berbulu putih itu. Pagi-pagi pikiran sudah ngawur saja, aku tersenyum kecut.
Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ruang rapat. Ternyata semua pegawai sudah hadir di sana, hanya tinggal menunggu kepala dinas saja. Oh iya, aku bekerja sebagai PNS di salah satu kantor pemerintahan. Untuk jabatan, sudah alhamdulillah, yaitu Kasi. Mungkin tahun depan akan direkomendasikan sebagai Kabid. Hanya jodoh saja yang masih belum nampak hilalnya.
Rapat selesai, aku kembali ke ruang kerja. Mendadak perut terasa perih, oh iya, ternyata aku belum sarapan. Aku langsung menuju kantin dan tanpa sengaja berpapasan dengan seseorang yang sepertinya pernah kukenal.
“Hay, Bang ... masih kenal aku?” sapa wanita itu.
Aku mengerjapkan mata memandang makhluk indah ciptaan Tuhan ini. Tubuhnya tinggi putih, rambut sebahu dengan bulu mata lentik.
“Kok bengong? Ini Bang Hamid, kan?”
“Iya, benar. Kok bisa kenal saya?” Aku masih mengamati wanita cantik itu.
“Hem, udah lupa rupanya. Aku Anggi, Bang. Adik tingkat kamu dulu waktu di kampus dulu,” jelas wanita itu.
“Oh, ya?” aku mengerutkan dahi.
Agar lebih enak ngobrolnya, kutawarkan wanita bernama Anggi itu untuk mengobrol sambil duduk di kantin dan ia menurut saja.
“Aku pegawai kontrak di sini, Bang. Ini hari pertamaku kerja di sini,” ujarnya sambil menyeruput teh hangat.
“Oh, gitu. Pantas saja saya baru kali ini lihat kamu.”
“Iya, Bang. Mohon bimbingannya, ya.”
Aku hanya tersenyum sambil menikmati gado-gado, sedang Anggi, ia tak mau pesan makan soalnya masih kenyang, begitu katanya. Setelah lama berbincang-bincang pun, aku belum juga bisa mengingatnya. Ah, ya sudahlah, ingatanku memang kurang bagus. Mungkin faktor usia yang menyebabkan ini semua.
Jam pulang kantor tiba, aku sudah bersiap pulang. Kuraih kunci mobil dan tancap gas menuju rumah. Saat tiba di depan rumah, Si Putih sudah duduk di teras rumahku dan ia langsung menyambutku sambil mengendus-ngendus di ujung celana dinasku. Ini memang sudah kebiasaannya.
“Meong, meong .... “ Ia mendongakkan wajahnya padaku, sepertinya ia minta digendong deh.
Ah, langsung kuraih ia ke dalam pelukan dan mengelus bulu putih bersihnya.
“Meong .... “ Si Putih menelusupkan wajahnya di dadaku.
Aku tersenyum geli melihat tinggal kucing betina yang manja sekali ini, padahal aku bukanlah tuannya.
Belum sempat aku melangkah masuk, terdengar suara sepeda motor berhenti di depan pagar.
“Bang Hamid, ternyata rumah kamu di sini, ya?” ujar suara yang sepertinya pernah kudengar.
Aku langsung menoleh, ternyata itu adalah Anggi. Teman kantor yang tadi mengaku adik tingkatku waktu kuliah dulu.
“Hey, kamu mau ke mana?” Aku menyapanya.
“Mau pulang dong,” jawabnya sambil tersenyum. “Kita tetanggaan, Bang.”
“Oh, ya?”
“Aku baru pindah kemarin sih, di kontrakan Haji Muhsin.”
“Oh, kontrakan Pak Haji.”
“Gak nawarin mampir nih, Bang?”
Hem, ni wanita sepertinya agresif. Aku menelan ludah. Aku mulai berpikir negatif tentangnya. Walaupun jomblo, namun aku ini bukan pria murahan. Jual mahal itu perlu, demi image diri.
“Hehehe, bercanda kok, Bang. Gak usah sampai berkerut gitu kali,” ledeknya lagi.
Aku menghembuskan napas lega, syukurlah kalau ia benar bercanda. Aku belum pernah menerima tamu wanita di rumah ini semenjak meninggalnya kedua orang tuaku dalam kecelakaan maut setahun yang lalu.
“Ya sudah, aku pulang ya, Bang. Nanti mainlah ke kontrakan.” Anggi menstarter motornya lalu melambaikan tangan padaku.
Aku membalas lambaian tangannya dan baru menyadari, Si Putih sudah tak ada lagi di dekapanku. Entah sejak kapan ia pergi? Kini kulihat dia sudah berada di atap rumah dengan wajah murung. Ada apa dengannya? Apa ia cemburu melihat kedatangan Anggi? Ah, ya sudahlah, tak kuhiraukan perangai kucing itu. Toh, dia hanya hewan. Kuusap wajah sambil tersenyum geli.
Bersambung…