lima

1216 Kata
"Terpesona ku pada pandangan pertama" Gauri memperhatikan Ganendra yang tengah mengamati hasil karyanya yang terpaang di studio kecilnya. Ia sedikit berlega hati melihat Ganendra yang sepertinya tertarik dengan hasil karyanya. Semoga saja Ganendra memesan souvenir di tempatnya! Kebetulan sekarang ini orderan sedang sepi dan ia merasa bosan juga. “Ini kamu bikin sendiri?” tanya Ganendra sambil memegang tas buatannya yang terbuat dari tali kur. Gauri mengangguk. “Semua yang ada di sini bikinan aku, dibantu adik aku sih.” “Jaka sama Shaka?” “Kamu inget Shaka juga?” “Terakhir lihat dia masih TK.” Ganendra terkekeh. “Lucu ya padahal rumah kita cuma beda blok, tapi rasanya kayak beda negara.” “Bukannya kamu juga sekarang enggak tinggal di daerah sini kan?” “Saya nginep di rumah orangtua setiap weekend,” Ganendra kembali memperhatikan tas unik yang masih ia pegang. “Ini unik ya pakai tali. Pasti bikinnya susah.” “Hmm.. lumayan sih, butuh waktu agak lama buatnya. Ini souvenir acara ulangtahun salah satu teman kuliah Jaka. Waktu itu dia pesan 150pcs, dan aku ngerjain ini kurang lebih 4 hari.” “4 hari? Sendiri?” “Kalau ini di bantu Mama.” Ganendra menatap kagum Gauri. “Hebat Uri!!” Gauri menggaruk tengkuknya malu karena di puji. “Uri juga emang dari dulu selalu menonjol di pelajaran keterampilan kan? Saya ingat, setiap tahun karya Uri selalu di pajang kalau ada kegiatan kreativitas sekolah. Uri pernah bikin miniatur rumah tingkat dengan stik es krim kan? Yang lain cuma bikin rumah biasa, Uri bikin rumah tingkat lengkap dengan taman dan pohon.” Gauri menatap Ganendra terkejut. “Kamu ingat?” “Tentu ingat, karena saya kagum sama kemampuan Uri!” “Ka-kamu juga hebat! Ee.. dari dulu aku tahu kamu bakalan jadi orang sukses, buktinya kamu PNS sekarang.” Ganendra menyimpan kembali tas kur di atas rak, dan memilih duduk di sebelah Gauri. “Sebenarnya menjadi PNS tidak seistimewa itu. orang-orang berpikir menjadi PNS itu enak, karena gaji yang pasti, jam kerja yang tidak terlalu berat dan masa tua yang aman karena mendapatkan pensiun. Padahal.. kerja kami tidak semudah itu. kami dibayar masyarakat dan itu berarti kami bekerja untuk masyarakat, tetapi kami memiliki tekanan pada aturan kerja. Berbeda dengan pegawai kantoran swasta yang memiliki skill semakin berkembang maka berpengaruh dalam bekerja. Maka itu tidak berpengaruh untuk PNS seperti kami.” “Oh gitu. Memangnya kamu kerja di mana sih?” Ganendra sedikit berdeham, ekspresinya terlihat.. malu? “Di kecamatan,” Gauri menyenggol bahu Ganendra. “Tapi kamu tetap keren lho!! Aku doain setelah Kakak kamu nikah, kamu bakalan segera nyusul.” Ganendra menatap Gauri dalam. “Amin ya Uri.” Gauri nyengir, sedikit salah tingkah ditatap intens lelaki tampan di sebelahnya. Maka Gauri segera berdiri dan mengambil sesuatu di atas meja laptopnya. “Ini katalog bisa kamu bawa ke Kakak kamu. Aku enggak ada katalog khusus, ini punya aku pribadi jadi kalau udah selesai di kembaliin ya.” Ganendra menerima katalog dari tangan Gauri. “Saya pribadi untuk souvenir akan ambil d Uri dan saya yakin, Teteh juga pasti sependapat.” “Memangnya Kakak kamu nikah kapan?” “2 bulan lagi dan rencananya kita undang sekitar 1000 undangan.” “Woow itu banyak banget!!” ujar Gauri. “Teteh kebetulan dapat suami dari kalangan politik jadi relasinya banyak. 1000 itu masih perkiraan kasar.” Gauri menganga, otaknya sibuk menghitung berapa kira-kira uang yang akan di dapatnya jika keluarga Ganendra memesan souvenir padanya. Mungkin ia bisa membayar setengah hutang cateringnya atau jika untung ia bisa melunasi semuanya. Semoga saja ini rezeki miliknya. “Kalau bisa kabarin sebelum akhir bulan ya, soalnya kalau memang undangannya sebanyak itu pasti butuh persiapan waktu yang lebih banyak. Apalagi pasti yang datang dari kalangan atas, seenggaknya aku ingin memberikan hasil karya terbaik.” “Kalangan atas apaan atuh Uri?” ledek Ganendra. Uri hanya tertawa. “Senang lihat kamu tertawa,” puji Ganendra malu-malu. Uri sendiri terdiam. Ia baru menyadari jika semenjak insiden pernikahannya, ia sudah sangat jarang tertawa. Bahkan menonton film komedi saja ia lebih banyak diam. Dan sekarang, bersama pria di depannya yang sudah lama tidak ia jumpai, ia bisa tertawa dengan lepas. “E.. kamu tahu sendirikan kalau sejak insiden itu.. aku.. e.. hidup aku udah penuh dengan canda dan saking penuhnya rasanya sulit tertawa.” “Saya ngerti Uri, apa yang dihadapi Uri tentu enggak mudah.” Gauri tersenyum miris, ia merasa tidak nyaman membicarakan hal yang ingin ia lupakan. “Oh iya Uri, kalau saya ajak nonton boleh?” “Nonton apa?” “Apapun,” Gauri menatap bingung Ganendra. Ganendra menghela nafas dan berdeham. “Uri, kita bukan anak kecil lagi dan saya juga enggak suka bertele-tele. Saya mau bicara sama Uri,” “Tentang?” “Tentang kita.” Kita? Sejak kapan saya dan kamu jadi kita? “Saya ingin mengajak Uri untuk menjadi partner saya dalam sebuah proyek, proyek menjanjikan dan tentu saja akan membuat Uri puas.” “Ada uangnya?” “Ada.” Gauri mengangguk semangat dan duduk, menepuk space kosong di sebelahnya menyuruh Ganendra untuk ikut duduk. “Jadi?” “Ini proyek yang benar-benar jarang terjadi, karena.. karena proyek ini sangat menjanjikan, memuaskan dan menyenangkan.” “Menjanjikan, memuaskan, menyenangkan? Apa sebagus itu proyek ini? Dan melibatkan negara kah sampai seluar biasa itu?” “Negara? Oh iya.. negara, tentu ini sangat melibatkan mereka bahkan bisa mendukung pemerintah juga.” “Jadi berapa orang yang ikut proyek ini?” tanya Gauri tidak bisa menutupi antusiasnya. Ganendra menunjuk angka 2 di jarinya. “2? Apa seeksklusif itu???” Ganendra mengangguk sambil menggaruk tengkuknya. Mencari kata-kata yang lebih mudah di mengerti. “Proyek ini hanya bisa dilakukan 2 orang, perempuan dan laki-laki di mana proyekni memiliki tujuan keuntungan dan kebahagiaan di masa depan. proyek ini jelas terdaftar di negara karena jika sudah setuju maka akan dilakukan sebuah perjanjian dan sebagai yang melaksanakan akan membuat hitam di atas putih. Mengenai pendapat yang di dapat enggak perlu khawatir, kemungkinan akan mendapatkan 100 persen pemasukan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup. Bagaimana?” “WOOWW.. aku dengarnya deg-degan banget! Sepertinya ini proyek yang sangat menjanjikan. Lalu kapan kita bisa mulai?” “Besok juga bisa kalau kamu mau,” “Tapi modalnya gimana? Kalau sekarang aku belum ada modal besar,” “Enggak usah modal sih, justru saya yang harusnya mengeluarkan modal.” Gauri mengangkat sebelah alisnya, bingung dengan pernyataan Ganendra. Memang ada ya bisnis semudah itu? setahunya, sepengalamannya bisnis harus di awali dengan modal terlebih tahu untuk tahu berapa persen keuntungan yang ia dapat. Jika pun tidak menggunakan modal, bisa dengan membeli produk atau merekrut agen. Tapi ini.. hanya berdua, diakui negara, mendapat untung 100 persen, tanpa modal lagi. Apa jangan-jangan Ganendra adalah kurir n*****a??? Astaga.. jika memang benar, bagaimana ini? Apakah jangan-jangan Ganendra pemakai? Atau.. atau.. jangan-jangan Ganendra ini seorang… g***o??? Gauri mengerang dengan pikirannya, lalu malu sendiri. Tidak mungkin Ganendra seperti itu, ia tahu Ganendra si juara MTQ adalah penggerak anak muda yang lain untuk aktivitas masjid rumah mereka, Ayah Ganendra juga seorang RT, dan jika Ganendra seorang pemakai pastilah tubunya tidak setegap ini. Gauri kembali menggelengkan kepala untuk menghapuskan pemikirannya. “Jadi, nama proyek itu apa?” “Menikah,” jawab Ganendra tegas. Gauri melongo mendengar jawaban dari si ganteng sebelahnya. APAKAH GANENDRA MELAMARNYA??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN