Prosecution | Chapter 2

966 Kata
1 bulan kemudian             Chrissy menatap nyalang layar ponselnya; dua puluh lima panggilan tak terjawab dan lima puluh pesan dari Hazel yang tidak dibaca. Kurang lebih selama satu bulan ini, Chrissy mengabaikan semua bentuk komunikasi yang berusaha dijalin sepupunya itu, juga orang-orang lain yang mengenalnya. Dan selama itu pula, Aram berlaku gila dengan terus menerus memaksa Chrissy membuka pintu kamarnya, atau palu Thor yang hanya ada dalam kisah fiksi itu akan menjelma menjadi kenyataan—dia bahkan bersumpah atas Jesus.             Jika ada yang patut disalahkan, tentu saja dirinya sendiri. Dirinya sendiri dan kebodohan, keteledoran, kepolosannya yang – demi  Dewa-dewi Yunani- tidak pernah sekali pun Chrissy melewatkan hari-harinya tanpa menyesali perbuatannya malam itu.             Dia menyerahkan mahkotanya pada seseorang yang tidak ia kenal.             Ya Tuhan... berkali-kali Chrissy meminta agar dia terkena amnesia atau mati saja sekalian. Bayangkan kalau Aram tahu, bayangkan kalau Nathalie tahu, dan bayangkan kalau... Liam tahu? Mungkin di detik itu juga Chrissy akan melompat dari kamarnya di lantai dua ini.             Sejak malam itu, Chrissy benar-benar menolak siapa pun yang ingin bertemu dengannya, kecuali Sebastian. Kepala pelayan keluarganya yang sangat setia itu selalu mengantarkan makanan dan minuman untuknya. Chrissy bisa menerima Sebastian, karena hanya pria tua itu yang tidak menanyakan apa pun. Apa pun.             Dan Liam...             Pria itu tidak luput dari interogasi Aram. Daddy-nya itu menganggap, apa pun yang terjadi pada Chrissy pasti berhubungan dengan kepergian mereka ke pesta bulan lalu. Aram berpikir, mungkin Chrissy melihat Liam berdansa atau flirting dengan wanita lain di sana. Tentu saja Liam menyangkal habis-habisan. Buntut dari semua peristiwa ini, Liam dilarang menginjakkan kakinya di rumah keluarga Alford, sampai Chrissy bersedia menghentikan aksi pengurungan dirinya.             Chrissy meletakkan ponselnya di atas nakas di samping tempat tidur dalam posisi tertelungkup. Menghela napas dalam-dalam, Chrissy kembali larut dalam lamunannya. Betapa malam itu benar-benar memberikan dampak besar bagi dirinya. Dia bahkan gagal mengikuti seminar internasional yang sudah ia damba-dambakan sejak lama. Padahal ia bekerja keras mati-matian mempersiapkan penelitiannya, belajar siang dan malam demi mendapatkan nilai uji sidang yang bagus, dan lihat apa yang terjadi sekarang? Chrissy hancur.             Selama ini ia memerankan peran sebagai anak baik, menurut pada kedua orangtuanya, menjaga nilai-nilai moral dan martabatnya seperti apa yang diajarkan Helen, dan hanya dalam waktu beberapa belas menit i*********e, semua itu hilang dalam sekejap. Berkali-kali Chrissy berharap itu hanya mimpi, dan berkali-kali juga Tuhan menghantamnya dengan kenyataan—that wasn’t only a dream.             Mungkin kalau ia terbiasa dengan cara pergaulan teman-temannya kebanyakan, Chrissy tidak akan mempermasalahkan insiden kehilangan mah—ah, tidak. Bahkan wanita penganut paham paling bebas sekali pun, tentu saja tidak akan rela ‘hal itu’ direnggut begitu saja oleh orang yang tidak dikenal.             Tapi, dia tidak bisa seperti ini terus, kan?             Chrissy memiringkan badannya. Memandang kumpulan foto bersama Aram, Nathalie, Samuel, Helen, Luke dan Hazel yang ditempel disusun sedemikian rupa di tembok.             Baiklah, mungkin ini saatnya menghirup udara luar. ***             Aram hampir saja menyongsong Chrissy dengan beribu pertanyaan beruntun, kalau bukan karena Nathalie menahan tangannya. Pria itu menemukan Chrissy sedang makan dengan tenang di ruang makan. Gadis kecilnya itu baru saja hilang selama sebulan di rumahnya sendiri. Diam-diam tanpa diketahui Nathalie, ia bahkan sudah bersiap mengirim pengawal-pengawal setianya untuk menculik Chrissy dari kamarnya sendiri, kalau dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak pagi ini, Chrissy tidak juga keluar dari kamarnya.             Akhirnya yang pria itu lakukan hanya memeluk Chrissy dari belakang, kemudian mencubit kedua pipinya.             “Dad!” Chrissy mengeluh minta dilepaskan, tapi Aram menolak.             “Aku berdoa kepada Tuhan semalaman; cukup kau dan Mom-mu saja yang memperlakukanku seperti ini. Ah—tidak tidak. Kau lebih baik darinya. Dulu saat dia mengandungmu di usia kehamilan tiga bulan, dia bahkan tidak ingin melihat wajahku sampai kehamilannya menginjak usia lima bulan.”             Chrissy meloloskan tawa renyahnya. “Aku baru dengar itu sekarang,” katanya. Kedua matanya melengkung, terlihat selaras dengan senyum lebarnya. Daddy-nya berhasil membuatnya tertawa setelah selama ini ia hanya bermuram durja di dalam kamar. Sepertinya mengurung diri di dalam kamar memang sebuah keputusan konyol, tapi tidak sepenuhnya salah. Setidaknya Chrissy bisa mengumpulkan kekuatannya—paling tidak, jika ia belum bisa menerima ketidakberuntungannya akan malam itu, dia bisa menyimpan rapat-rapat rahasianya, bersikap normal seperti sebelum dia tertimpa kemalangan itu.             “Kau mau pergi?” tanya Nathalie, mengusap-usap kedua pipi Chrissy, lembut.             Chrissy memegangi kedua tangan Nathalie, mengusapnya pelan, lalu menurunkan tangan halus itu perlahan dari wajahnya. “Aku ingin liburan.”             “Apa?” Aram mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa tiba-tiba?”             Chrissy mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. “Aku berencana mengunjungi Samuel di asramanya, atau mungkin Helen dan Luke kalau mereka sedang tidak sibuk—ah, aku hampir melupakan Hazel.” Chrissy menepukkan kedua tangan. “Ini adalah kunjungan kejutan, jadi jangan katakan apa pun pada mereka. Aku akan bersiap-siap sekarang. Daddy tahu apa yang harus Daddy lakukan, kan?”             Aram menghela napas panjang. “Aku akan menyuruh Sebastian mengantarmu ke bandara.”             “Great!” Chrissy memeluk, mencium kedua pipi Aram, lalu melakukan hal yang sama pada Nathalie.             “Mom, jangan katakan apa pun pada Liam.”             “Sudah kuduga ada yang tidak beres dengan pemuda itu.” Aram melemparkan kedua tangannya ke atas.             “Tidak, Dad. Tidak ada yang salah dengan Liam. Kami baik-baik saja, tidak ada pertengkaran, atau drama melankolis seperti dugaan-dugaan Daddy. Ini hanya tentang diriku sendiri. Aku hanya sedang berusaha berdamai dengan diriku sendiri. Kau bisa menyebut ini krisis identitas seseorang yang sedang dalam masa transisi menuju wanita dewasa.”             Tanpa Nathalie dan Aram ketahui, Chrissy mati-matian menahan diri untuk tidak menangis. Ini pertama kalinya Chrissy menyimpan rahasia—rahasia besar, membohongi kedua orangtuanya dan dirinya sendiri. Berlaku seperti orang yang baik-baik saja, padahal jauh di dalam hati kecilnya she needs help, badly.             Masalahnya, ini bukan sesuatu yang bisa didiskusikan dengan kedua orang yang paling dikasihinya di dunia itu. Dan sekarang Chrissy berencana mendapatkan ‘dirinya’ kembali yang sudah terlalu lama bersembunyi dalam keputusasaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN