Bertemu Mertua

1123 Kata
Malam yang dingin persis dengan suasana dingin yang melanda 3 pria yang tengah barbeque. Satu orang tenang menusukkan potkngan daging pada stik, lalu seorang lagi tengah mengipasi stik sate dan yang seorang lagi tengah duduk sambil sembari meminum tehnya. "Maafkan sikap ibuku tadi," bisik Alan ( putra Sania) pada Rayn. Ternyata pria itu tahu kalau Rayn dan Leyra mendengar umpatan Sania tadi. Rayn mengangguk, "tetapi, berbeda jika dia langsung melabrak istriku," ujar Rayn melirik tajam. Alan menghembus napasnya kasar, "ya mau bagaimana lagi, sudah seharusnya kau membela istrimu dari amukan singa yang haus kasih sayang itu," jawab Alan sembari terkekeh yang mengundang tawa Rayn. Rayn dan Alan sedari kecil memang sudah dekat. Akan tetapi, keduanya tidak memiliki minat yang sama serta sifat mereka sangat berseberangan. Alan sangat berbeda dengan ibunya si ratu gosip. Ia bahkan membenci sifat ibunya yang selalu mengumpat marah, hingga membuat suaminya sendiri memilih selingkuh dan bercerai. Akan tetapi, ia masih menghormati Sania sebagai ibu sebab walau bagaimanapun wanita itu yang telah melahirkannya. "Leyra, apa dia tidak mengingat apapun sekarang?" tanya Alan, sembari memakan setusuk sate. "Ya, begitulah," jawab Rayn singkat. Alan mengangguk, "dia berbeda dengan yang dulu, tetapi tetap cantik," lanjut Alan. Rayn menatap sepupunya itu lekat, "ini milikku, bakar saja sendiri," ujar Rayn sembari merebut sate yang baru digenggam Alan. Alan tercengang lalu menggeleng, sembari memperhatikan Rayn yang sudah pergi. Dari dulu, tetap saja dia cemburuan. Meski dengan caranya sendiri, dasar gengsi. Rayn menyenderkan tubuhnya di kursi santai, melirik sang ayah Rason tengah membaca koran. "Bersantailah sedikit, Ayah," ujarnya sembari mengunyah sate. "Dikehidupan sekarang, aku tidak terbiasa melalukan hal seperti itu. Tunggu aku mati dulu." "Ayolah Ayah... Jangan ungkit kalimat itu, bukankah hidup terlalu indah untuk diabaikan. Bersantai sedikit tidak akan membuat kita rugi kan?" jawab Rayn tidak mau kalah. Rason meletakkan koran ke atas meja, ia lalu meneguk air putih. "Diusiaku sekarang, bukankah sebagai anak kau harus memanjakanku?" "Aku akan berusaha membawa perusahaan kita menjadi nomor 1 tenang saja," jawab Rayn. Rason mendengus, pria paruh baya itu mengerutkan dahinya sembari memasang tatapan elang kepada sang putra. "Lihatlah, kau saja tidak mengerti apa yang ku inginkan." Rason memijat dahinya yang terasa berdenyut. "Kami hanya punya kau seorang, paling tidak beri kami sesuatu untuk membuang rasa kesepian kami." Rayn tertawa, "ooh, apa ayah dan ibu ingin bepergian ke luar negeri? Kudengar Bali cukup bagus. Aku berencana akan pergi ke sana juga." Sebenarnya, Rayn sudah tahu maksud perkataan Rason, namun dia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Sampai kapan kau berpura-pura tidak tahu? Seharusnya, kau berpikir hanya dengan melihat uban di kepala ayahmu ini!" Rayn menatap ayahnya lekat, ia lalu memperhatikan rambut ayahnya yang sebagian telah memutih. "Apa yang salah dengan rambut itu, Ayah sangat terlihat keren kok," jawab Rayn sembari tersenyum. "Kau!" "Sudahlah Paman, biarkan saja dia dulu. Kelak aku akan memberikan yang paman inginkan, paman butuh berapa 1, 3,4 atau satu lusin. Akan aku berikan untukmu," ujar Alan sembari meletakkan sepiring sate yabg telah matang di atas meja. "Hanya Alan yang mengerti aku...." Rason tersenyum sembari melirik Rayn. "Memberikan apanya, dia saja masih melajang sampai sekarang," sindir Rayn hendak mengambil setusuk sate. Alan menghentikan tangan Rayn, "ini milikku," ujarnya dengan tatapan tajam. Rayn menepak tangan Alan, "singkirkan tanganmu, aku masih normal," jawabnya lalu mengunyah sate tersebut. Rason tertawa melihat kedua lelaki itu. Di pandangannya mereka masih terlihat bocah- bocah yang tengah memperebutkan mobil-mobilan. Andaikan saja, Rayn memiliki anak. Betapa bahagianya masa tuaku ini dengan Dianne. Anakku yang malang. Leyra dan Dianne memandangi potret masa kecil Rayn. Sesekali mereka tertawa, respon dari poto Rayn yang lucu dan menggemaskan. Hingga tiba-tiba, Leyra tertegun melihat potret Rayn kecil yang tengah memangku bayi. "Dia... Adik Rayn," jawab Dianne tanpa ditanya Leyra. Leyra menatap Dianne, seolah bertanya dimana adik Rayn itu. "Rose, nama yang begitu indah. Nama yang dibuat oleh Rayn sendiri karena kami menyukai mawar. Tapi, sayangnya Rose tidak dapat bertahan. Dia memiliki kelainan jantung." Dianne tersenyum, namun air mata itu mengucur di pipinya. Leyra mengusap lembut punggung wanita paruh baya itu. "Sebelum, dia benar-benar pergi bayi yang cantik itu bahkan tidak menangis sedikit pun. Dia hanya membuka bibirnya yang mungil seolah tersenyum dan mengisyaratkan kami melepasnya dengan senyuman juga." "Saya yakin, Rose tengah melihat Anda sekarang. Dia pasti tumbuh dengan cantik persis seperti Anda," ujar Leyra mencoba menenangkan Dianne. Dianne tersenyum, "ah lagi-lagi aku menangis. Sungguh cengeng sekali ya," ucap Dianne sembari tertawa canggung. "Setelah kejadian itu, rahimku diangkat dan ya kami hanya bisa memiliki Rayn," lanjut Dianne. Dianne mengusap kepala Leyra lalu tersenyum, "aku terkejut ketika Rayn mengatakan dia ingin menikah. Aku dan Rason berpikir keras wanita mana yang telah mencairkan es kutub Utara itu. Dia hanya mengatakan pada kami dia akan menikah kalau wanita itu adalah kamu." ****** Malam menunjukkan pukul 23.55, Rayn dan Leyra pamit pulang. Alan yang malas pulang memilih untuk tinggal, sebenarnya ia juga berpikir akan lebih baik jika dia menginap di sana paling tidak bisa mengurangi kesepian paman dan bibinya itu. "Sering-seringlah kemari," bisik Dianne saat Leyra memeluknya. Leyra menjawabnya dengan senyuman. Mereka pun berlalu pergi dengan mobilnya. Saat di mobil suasana kembali hening, sesekali Leyra melirik suaminya yang tengah serius mengemudi mobil. "Maaf," ucap Rayn tiba-tiba. "Ya... Tentang apa?" tanya Leyra bingung. "Bibiku, dia...." Leyra tertawa, "ooh itu, aku tidak memikirkannya." Dia hanya mengatakan kalau dia akan menikah jika wanita itu adalah kamu. Ah lagi-lagi perkataan ibu Dianne membuatku kepikiran. Apa yang dilihat pria ini dariku, bukankah selama kami di kampus kami bahkan tidak pernah berpapasan. Aku hanya diam-diam memperhatikannya karena dia populer hingga membuatku penasaran. "Apa kamu mengantuk?" tanya Rayn membuyarkan lamunan Leyra. Leyra menggeleng, "memangnya kenapa? Apa jangan-jangan Anda mengantuk? Saya bisa menyetir menggantikan Anda," jawab Leyra. "Kamu terus diam, apa terjadi sesuatu saat aku tidak ada?" Ya, banyak hal yang terjadi. Disaat Sania mengabaikanku, ada mertuaku yang mengatainya seolah membelaku. Lalu, aku menemukan potret dirimu yang lucu dan menggemaskan. Tentang dirimu yang ternyata pernah memiliki adik yang kamu beri nama Rose. Dan tentang... Kamu yang meminta Rason dan Dianne untu melamarku dengan mengatakan kamu akan menikah jika wanita itu aku. Sayang sekali aku tidak ingat apapun. Yang kuingat hanya tentang.... Dreeeet Dreeeeet Dreeeet.... Ponsel Rayn bergetar pertanda sebuah telepon masuk. Pria itu segera menyambungkannya dengan headset. "Halo, dia baik-baik saja. Dia ada di dekatku." Rayn menjawab pertanyaan dari si penelepon. Rayn melirik Leyra, yang dilirik segera menggelengkan kepala seolah tahu sosok si penelepon. "Maaf, tapi sayangnya istriku kelelahan. Silakan untuk menghubunginya lain hari, saya tutup teleponnya." Rayn pun mengakhiri panggilan tersebut. Leyra membuang napas, lega seolah terlepas dari suatu jeratan. "Apa dia ibuku atau--" "Dia pak Laoval," jawab Rayn membuat Leyra terbungkam kebingungan. Aku memberi nama besar yang berharga di belakang namamu, Laoval. Aku harap, kau membayarnya dengan harga yang setara. "Akh!" Leyra memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa berdenyut hebat. "Sayang!" Rayn menghentikan mobilnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN