6. Hello, Stalker!

1282 Kata
    "Pake yang ini aja, Sel," kata Mama sembari menyodorkan sebuah gaun pendek berwarna merah muda.     Selin mengambilnya tanpa melihat ke arah Mama. Bibirnya terbungkam, rahangnya terkatup rapat. Setidaknya sejak tadi malam. Sebut saja bahwa Selin sedang menunjukkan pemberontakan dan sakit hatinya.     Secepat kilat, gadis berambut hitam pekat itu berganti baju dan memoleskan bedak tipis-tipis di wajahnya. Sentuhan terakhir, ia menyemprotkan parfum ke tubuhnya.     Sesuai rencana Mamanya, dia akan bertemu dengan calon suami dan keluarganya hari ini. Begitu Selin hampir saja membuka pintu, Mama menghentikan langkahnya.     "Sel, sampai kapan kamu mau diemin Mama?"     Sampai Mama sadar kalau ini semua salah, batinnya. Namun gadis itu lagi-lagi memilih untuk tidak bicara. Dia langsung membuka pintu, bergegas menuju lantai 20 tanpa mau menunggu Mamanya.                                                                                                         ...     Tak seperti hari kemarin, kali ini Selin dan Mamanya sampai lebih dulu. Mereka memesan paket sarapan untuk 5 orang dan duduk di bangku dekat jendela. Suasana jadi sunyi. Terlebih lagi Selin memilih menatap pemandangan kota yang terlihat dari jendela daripada harus bercakap dengan Mamanya. Ia mengabaikan apapun yang Mamanya katakan seraya memasang wajah yang tidak terdefinisikan.     Selin tak sedikitpun tersenyum. Seolah sesuatu telah merenggut senyum dari bibir polosnya. Untung saja semua ketegangan ini tak berlangsung begitu lama, karena beberapa menit setelahnya, Om Darmoko, Tante Regina, dan seorang pemuda berkemeja hitam--yang Selin yakin adalah Handoko--tiba.     Selin menghapuskan ketegangan di wajahnya. Ia melenturkan seluruh otot-ototnya dan berusaha tersenyum semanis mungkin. Ia menggunakan topeng kepura-puraan. Namun wajah pura-puranya itu tak lagi bisa ditampilkan ketika sosok yang disebut-sebut Tante Regina sebagai 'Handoko' makin mendekat. Senyum palsu Selin tergantikan oleh bibir dan matanya yang membulat kaget.     "Lo?!" serunya, bersamaan dengan Handoko yang mengucapkan kata serupa.     Mata elang Selin menatap pemuda itu sinis. Sebaliknya, pemuda berambut agak ikal itu menatap Selin jahil, seolah matanya itu sedang berkata 'mampus-lo-ketemu-gue-lagi'. Selin jadi sangsi apa benar laki-laki ini yang akan dijodohkan dengannya. Atau mata Selin sedang salah lihat saat ini?     "Kalian sudah saling kenal?" tanya Tante Regina.     Selin cepat-cepat menggeleng. Bahkan gelengannya terasa aneh karena berbohong.     "Nggak mungkin kita saling kenal lah, Bun. Mungkin Nona ini sering lihat aku di TV aja," sahut pemuda itu.     Damn! Rupanya pandangan Selin benar! Pemuda yang saat ini duduk di hadapannya itu adalah seseorang yang punya cap buruk di kepala Selin. Ya, siapa lagi kalau bukan Jean? Seseorang yang dulunya dia idolakan namun sekarang ia benci setengah mati.     "Oh ... kalau gitu kenalan dong," kata Tante Regina.     Jean mengulurkan tangannya, "As you know, gue Jean. Jean Masabumi."     Selin memandang uluran tangan itu dengan skeptis. Namun tatapan menunggu dari Tante Regina dan Om Darmoko memaksanya untuk menerima uluran tangan pemuda--yang menurutnya--b******k itu.     "Selindyah Asthaparayya," ucapnya.     Bukan hanya Selin, Mamanya pun tampak terkejut. Wanita itu tak pernah menyangka kalau anak dari temannya adalah orang yang sering ia lihat di rumah melalui poster. Penyanyi yang dipuja-puja anaknya setiap hari.     "Ini yang mau dijodohin sama Selin, Gin?" tanya Mama.     Tante Regina mengangguk.     "Iya, emang kenapa?"     "Bukannya kamu bilang namanya Handoko?"     Tante Regina tertawa. Kemudian Om Darmoko menjelaskan, "Iya. Nama lahirnya emang Handoko kok. Tapi begitu jadi artis dia nggak mau Handoko jadi nama panggungnya. Nggak tau deh dia dapat nama Jean itu dari mana."     "Padahal bagusan Handoko, kan, Nak Selin?" lanjutnya.     Selin hanya tersenyum canggung. Tak lama kemudian makanan yang sudah mereka pesan tiba. Yang kini Selin inginkan hanya satu, ia ingin melenyapkan diri dari tempat itu. Sekarang juga.                                                                                                             ...     "Kalau kamu memang setuju, maka kita bisa lakukan pernikahan minggu depan."     "Hah? Minggu depan?" tanya Selin kaget.     "Iya, lebih cepat lebih baik toh?" kata Om Darmoko.     Lagi-lagi Selin cuma bisa tersenyum canggung. Ia tak bisa membayangkan menikah dengan Jean yang hanya membawa kenangan buruk buatnya.     Jean sendiri tidak membantah apapun sejak tadi. Pemuda itu terlihat setuju-setuju saja. Tanpa penolakan. Padahal kan pernikahan ini bisa saja dihindari kalau pemuda itu memberontak. Ia bahkan merespon ucapan ayahnya barusan dengan anggukan. Entah apa yang sedang Jean rencanakan, yang jelas Selin sangat skeptis tentang hal itu.     Diamnya Selin membuat Tante Regina memegang tangannya. Seolah sedang menenangkan Selin untuk tak terlalu stres berpikir.     "Kalau kamu belum mau jawab sekarang nggak papa. Kamu jalan-jalan aja besok sama Jean. Kalian rundingin sendiri mau kapan nikahannya. Kami para orang tua ngikut aja kok. Ya, kan, Mona?"     Mama mengangguk. Sementara Selin sendiri makin terbebani. Setelahnya, keluarga Masabumi--sebut saja begitu mulai sekarang--bergegas meninggalkan hotel. Selin akhirnya bisa bernapas lega. Melihat Jean selama 2 jam sudah cukup membuat dadanya sesak.     Selin berjalan mendahului Mamanya. Ia jadi makin kesal begitu tau calon yang dipilihkan Mamanya adalah Jean. Lelaki m***m yang entah sudah tidur dengan berapa ratus wanita.     "Gimana, Sel? Kesempatan bagus toh ini? Kapan lagi kamu bisa nikah sama idola kamu?" celetuk Mama. "Udah ganteng, kaya, baik lagi. Pas banget buat kamu."     Selin menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadap Mama.     "Baik? Beruntung? Mama bisa bilang gitu karena Mama nggak tau, orang kayak apa Jean itu. Mama mau Selin kasih tau Jean itu orang kayak apa?"     Mama menolak, "Nggak. Mama nggak mau denger apapun dari kamu. Kamu pasti cuma mau jelek-jelekin Jean karena mau ngebatalin perjodohan ini, kan?"     Selin tertawa sarkastik. Sungguh, ia tak lagi mengenal Mamanya.     "Oh ya, Selin lupa. Mama kan emang nggak pernah peduli. Buat Mama, yang penting Jean itu kaya dan bisa muasin keegoisan Mama, kan?"     Selin mendengus. Lalu melanjutkan langkahnya yang kasar.                                                                                                                  ...     Jean Masabumi alias Handoko Pribadi Masabumi adalah seorang bintang papan atas yang memulai karirnya dari sebuah akun YouTube. Berawal iseng meng-cover lagu-lagu, berakhir di sebuah dapur rekaman karena tawaran yang tak terduga.     Akun YouTube Jean yang awalnya tak memiliki subscriber sama sekali berkembang pesat. Dalam waktu satu bulan, pemuda kelahiran Singapura itu berhasil mengumpulkan satu juta subscribers. Itulah mengapa sebuah agensi musik dan label rekaman paling populer di negeri ini, The Symphone, menghubunginya untuk menandatangani kontrak.     Jean punya warnanya sendiri dalam musik. Sejak awal kemunculannya, ia selalu tampil membawa sebuah gitar akustik yang terlihat klasik. Suaranya yang semanis madu membuat siapa saja meleleh. Terutama kaum hawa.     Belum lagi fakta bahwa Jean adalah putra semata wayang dari pemilik Masabumi Group, perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata dengan banyak anak perusahaan di bawahnya. Jean digadang-gadang menjadi penerus tahta perusahaan yang bernilai triliunan dollar Amerika itu.     Itulah mengapa, nyaris seluruh gadis di Indonesia setidaknya pernah sekali bermimpi untuk menikah dengannya. Selin juga begitu. Tapi tidak sekarang. Masalahnya adalah tidak ada yang tau--termasuk penggemarnya--kalau nama asli Jean adalah Handoko. Handoko yang entah bagaimana bisa jadi calon jodoh Selin.     Gadis itu tak tau lagi harus bagaimana. Mamanya tetap memaksa dan bersikeras, meskipun sikap Selin semakin kasar. Mentok-mentok, Selin akan mencuri uang dari Mamanya dan melarikan diri bila tak ada lagi jalan keluar yang bisa ditempuh.     Selin menyandarkan tubuhnya ke kursi yang ada di lobby. Mau tak mau hari ini ia harus bertemu Jean. Berdua saja. Tanpa ditemani siapa-siapa. Karena itulah Selin memilih untuk memakai celana kulot panjang serta kaos panjang longgar. Jaga diri, katanya.     Selin menunggu di lobby untuk waktu yang lumayan, setidaknya 20 menit. Dia mulai bosan. Mulai kesal juga karena seseorang terlambat di pertemuan pertama.     "b******k nggak bisa disiplin," makinya.     Selin memutuskan untuk membuka ponsel dan memasang earphone di telinganya. Gadis itu mencari channel official Bara Antariksa, penyanyi solo yang akhir-akhir ini menggantikan posisi Jean di hati Selin.     Semenjak menginjakkan kakinya di Jakarta, Selin belum sempat fangirling-an sama sekali. Ia terlalu marah pada Mamanya sampai-sampai melupakan Bara.     "Aduh ... ganteng banget sih," gumam Selin. Senyumnya merekah lagi secara alami. Memang, fangirling adalah obat paling tepat saat sakit kepala.     Setelah memasuki video ketiga, Selin sayup-sayup mendengar suara.     "Heh, penguntit!"     Tak begitu jelas hingga suara kedua yang lebih kencang kembali menyapa telinganya, "Heh, cewek gila hobi nguntit!"     Selin otomatis mendongak. Jean sudah berdiri di depannya. Jangan lupakan tatapan orang-orang di area lobi yang mengarah kepadanya. Membuktikan seberapa keras tadi Jean berbicara.     "Anjir!" umpat Selin.     Jean tersenyum puas.     "Hello, Stalker!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN