Bab 3

1036 Kata
  Ini masih pukul empat sore, cuaca masih cerah, tetapi gelap bagi Tika. Wanita itu tak tahu lagi harus bagaimana, ia berjalan menuju taman kota. Duduk di sana sambil merenung panjang. Berjam-jam ia lewati, tidak ada yang berubah, tidak ada keajaiban sedikit pun. Tika menyandang tasnya, berjalan tanpa arah. Ia hanya mengikuti kemana pun angin berjalan. Sampai akhirnya ia tiba di tepi rel kereta api. Ia melihat lampu dari kejauhan, berjalan mendekat ke arahnya."Tidak ada alasan lain untuk hidup, apakah aku mati saja?"   ♥   Suara jepretan dan cahaya kamera menyerang tubuh Janar. Pria itu dengan lihai bergaya sambil menonjolkan apa yang sedang ia pakai. Wajah tampan serta postur tubuh yang bagus membuat apa pun yang ia pakai akan terlihat pantas. Sesi pemotretan untuk satu stel pakaian selesai. "Kita break lima menit!" Janar duduk, lalu wajahnya dipoles lagi oleh sang make up artist. Ia hanya bisa menjauhkan wajahnya sesekali ketika ia merasa tidak suka. Sambil menunggu, ia membuka media sosial, melihat postingan tentangnya. "Janar, habis ini masih ada satu sesi lagi. Habis itu kita langsung ke stasiun tv,ya, untuk wawancara,"kata Lupita, managernya. Janar menggeleng,"aku udah bilang, nggak mau diwawancarai televisi, kan?" Satu tatapan tajam ia layangkan pada Lupita. "Tapi, ini bagus untuk karirmu, Janar. Bayarannya juga mahal." Lupita sibuk membuka-buka agendanya, ia tidak ingin satu pun ada yang terlewatkan. "Kak, sudah kubilang cukup. Pemotretan saja sudah cukup!"ucap Janar, ia ingin sekali istirahat dengan tenang tanpa ada teriakan atau ocehan Lupita mengenai jadwal. Lupita menatap Janar kesal, begini resikonya menghandle anak manja seperti Janar. Tapi, ia harus sabar karena ia sudah berjanji pada Mama Janar. Janar tidak pernah mau menjadi model, mengikuti jejak karir sang Mama. Ia ingin menjadi arsitek seperti sang Papa, tapi, sayangnya tidak terwujud. Beberapa kali ia mengikuti ujian masuk universitas jurusan Arsitek, tapi, ia gagal tiap tahunnya. Sudah tiga tahun berturut-turut, ia tidak kunjung menguasai ilmu kearsitekan, lalu sang Mama menyuruhnya menjadi model. Awalnya, ia hanya mengantar Mamanya, lalu sesampai di sana, ia disuruh menggantikan model yang berhalangan hadir. Sejak hari itu, ia mengubur mimpinya menjadi Arsitek dan menjadi model. Delapan tahun berlalu, kini nama Janar sangat dikenal. Ia kerap membintangi iklan dari beberapa produk ternama. Bayarannya juga sangat mahal. Mama Janar sangat bangga, sang anak bisa meneruskan karirnya sebagai seorang model. Hidup di tengah-tengah popularitas, uang banyak, serta ribuan fans tak serta merta membuat Janar bahagia. Ia kerap murung dan berat hati menjalani semuanya. Terkadang ia lelah, ingin berteriak, bahkan ingin marah pada Sang Mama yang sampai saat ini masih mengatur semua apa yang ia lakukan. Janar ingin melakukan apa pun yang sekarang sedang dilakukan pria seusianya. "Ayo, kita mulai lagi! Janar, kali ini kamu harus lebih menunjukkan ekspresi kamu, ya. Kayaknya yang tadi kurang keluar." "Arrghhh!" Janar menendang kursinya sendiri. Ia melepaskan pakaiannya, menyisakan kaus tipis miliknya."Aku muak!" "Mau kemana, Janar?" Pria itu tidak menjawab. "Janar! Kamu harus pemotretan sekarang!"teriak Lupita. Janar mengabaikan ucapan Managernya dan memilih pergi dari sana. Tidak ada yang berusaha mengejar Janar, karena mereka yakin, pria itu hanya pergi sebentar untuk mencari angin. Nanti, saat moodnya membaik, Janar pasti kembali dan meminta pemotretan dilanjutkan. Jadwal pemotretan padat, harus jaga penampilan, harus jaga pola makan, dalam kondisi apa pun, Janar dipaksa tersenyum. Ia benar-benar tak bisa menajdi diri sendiri. Semua diatur oleh Mama dan managernya. Sekarang, pria itu berada jauh dari studio. Ia baru menyadarinya setelah melihat ke arah belakang. Suara kereta api membuatnya ingin berbelok ke arah rel. Dengan tatapan kosong, Janar berjalan ke pinggiran rel. Rel di hadapannyalah yang akan dilalui oleh kereta api yang sedang berjalan ke arahnya. "Bukankah sebaiknya aku mati saja? Daripada hidup tapi terasa mati. Setiap langkah, gerakan, makanan, bahkan senyuman diatur oleh orang lain." Hati Janar terus mendorongnya untuk mengakhiri hidup sekarang juga. Beberapa ratus meter lagi, kereta akan melintas. Ia cukup melompat saat kereta mendekat. "Kalau ditabrak kencang, tidak akan terasa sakit, bukan?" Sedikit lagi, Janar melangkah lagi, lalu, tatapannya tertuju pada wanita di seberangnya. Wanita tak dikenal itu kini sudah ada di tengah-tengah rel. Masinis membunyikan klakson, tapi diabaikan oleh wanita itu. "Woy, minggir!"teriak Janar. Melihat kereta semakin dekat, Janar berlari menariknya ke tepi. Selamatlah wanita itu. Tika menatap Janar sinis. "Ngapain, sih, ikut campur hidup orang!" "Kamu hampir ditabrak kereta!" "Memang itu tujuanku ke sini!"balas Tika setengan berteriak, ia bangkit dan mendorong tubuh Janar. Ia melangkah menjauh dari rel. Padahal tadi ia sudah benar-benar yakin untuk mengakhiri hidupnya. Tapi, entah kenapa untuk mengulanginya lagi, ia tidak memiliki keberanian. Tika melihat pria yang menyelamatkannya tadi dari posisinya. Ia mengamati saja. Pria itu tampak diam, duduk dj pinggiran rel dengan wajah tertunduk. "Orang aneh!" Tika mendengkus. Lebih baik ia pergi dari sini, sebelum malam semakin larut. Langkah Tika terhenti saat mendengar suara kereta api. Ia meneh ke belakang, ada kereta yang datang dari jalur berlawanan. Kereta itu akan meljntas di jalur tempat pria itu duduk. "Eh, nggak dengar ada kereta!" teriak Tika. Setelah memberi peringatan, ia berbalik arah lagi. Tapi, baru beberapa langkah, perasaannya tidak enak. Ia menoleh ke belakang dan terkejut, kereya semakin dekat. Pria itu masih duduk saja. Tika berlari kencang, lalu menarik pria yang menyelamatkannya tadi. Tubuhnya yang tinggi membuat Tika harus berusaha lebih keras menarik dan mendorongnya ke tepi. Tubuh mereka terhempas keras ke tanah dengan kerikil-kerikil tajam. Tika meringis, telapak tangannya tergesek beberapa centi hingga menimbulkan rasa perih. "Apaan, sih, ikut campur sama urusan orang lain saja!"balas Janar. Ucapan yang sama dengan yang dikatakan Tika tadi. Tika memukul lengan Janar dengan keras."Heh, kamu udah menyelamatkan aku tadi, terus, kenapa malah kamu yang mau bunuh diri?" "Karena memang itu tujuanku ke sini!"balas Janar. "Nggak usah ikut-kutan!"balas Tika. "Siapa yang ikut-ikutan!" Tika meringis saat merasakan perih di telapak tangannya, ada darahnya sedikit. Janar melirik, kemudian menarik napas panjang."Ayo kita ke mini market di sana, kubelikan plaster." Tika memejamkan matanya sejenak, lalu ia menatap rel kereta yang menjadi saksi betapa malangnya hidup mereka. Dua orang yang berniat bunuh diri, tapi, kemudian saling menyelamatkan."Ya udah." Janar bangkit, lalu mengulurkan tangannya membantu Tika bangkit. "Thanks!"ucap Tika. Mereka berdua berjalan beriringan di pinggiran menuju mini market. "Namaku Janar!" "Namaku Tika!" Saat berjalan, Janar merasakan perih di lututnya. Ia berhenti sejenak, melihat ke jeans sobeknya. Lututnya berdarah, ia tidak sadar. "Kamu juga harus diobati!" Janar mengangguk, kemudian mereka terus berjalan menembus dinginnya angin malam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN