Tika dan Janar tiba di mini market. Tika duduk di terasnya sambil mengembus telapak tangannya yang perih. Janar masuk ke dalam membeli sebotol air mineral dan plaster. Pria itu kembali, duduk di sebelah Tika. Luka di telapak tangan wanita itu disiram dengan air, kemudian memasangkan plaster. Ia melakukan hal yang sama pada lututnya. Tika meringis perih, lukanya lumayan dalam, tapi, sepertinya masih bisa diatasi hanya dengan plaster. Ditatapnya Janar yang terlihat tenang meskipun lututnya penuh darah.
"Perlu bantuan?"tanya Tika canggung.
Janar menggeleng,"sudah selesai kok, cuma luka kecil aja. Kamu gimana? Sakit ya?"tanya Janar khawatir karena ekspresi kesakitan di wajah Tika.
"Makasih,ya,"ucap Tika.
"Sama-sama,"balas Janar, diliriknya wanita di sebelahnya dengan heran. "Kenapa kamu mau bunuh diri?"
"Kenapa, ya..." Tika tertawa lirih,"karena hidup ini tak ada artinya lagi. Orangtuaku cerai dan sekarang masing-masing sibuk dengan keluarga barunya. Terus...pacarku, menikah sama orang lain. Padahal, sejak aku hidup tanpa orangtua, dia yang selalu nemenin aku. Selain itu, aku juga dipecat dari kantor. Mau bagaimana lagi hidupku? Nggak punya siapa-siapa dan juga apa-apa."
Janar tertegun mendengar pengakuan Tika. Bukankah ia adalah orang yang beruntung? Orangtua masih lengkap, hubungan mereka baik-baik saja. Keuangannya sangat stabil. Ia memiliki pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Pria itu memijit pelipisnya."Ah, bukankah kamu hanya perlu mencari pekerjaan baru, Tika? Masalah pacar, nanti pelan-pelan juga kamu akan lupa."
"Iya, sih, namanya juga pikiran sudah kalut. Di titik itu, rasanya ingin mati saja. Terus, kenapa kamu mau bunuh diri?" Tika balik bertanya.
Janar menoleh ke arah Tika sekilas, kemudian kembali menatap lurus ke depan."Capek!"
"Hah?" Kening Tika berkerut."Capek kenapa? kalau capek, kamu hanya perlu istirahat dan liburan."
"Apa semudah itu?"Janar teratwa lirih.
"Iya. Memangnya kamu capek kenapa?"
Janar menatap lurus ke depan. Senyumnya terlihat begitu pahit."Capek, hidupku terus diatur. Apa yang kumakan, apa yang harus kulakukan, aku harus kemana dan ngapain aja, semua sudah diatur oleh Mama dan Managerku. Menjadi model bukan impianku."
"Oh, kamu model?"tanya Tika spontan.
Pria itu langsung mengerutkan kening, memerhatikan makhluk aneh di sebelahnya itu. Sebenarnya Tika ini manusia dari belahan bumi mana sampai tidak tahu seorang Janar."Kamu nggak kenal aku?" Janar membelalakkan matanya pada Tika sambil menunjuk dirinya sendiri.
Tika menggeleng."Nggak tuh."
"Aku ini model terkenal, loh! Masa kamu nggak pernah lihat wajahku ini nampang di banner brand-brand ternama?" Janar cukup kaget, ternyata di sekitarnya masih ada orang yang tidak tahu siapa dirinya.
Tika menggeleng, ia memang tidak pernah melihat Janar sebelumnya."Aku nggak pernah beli barang dari brand ternama, jadi, nggak tahu. Sorry..."
"Oke..." Janar mengangguk-angguk mengerti. Memang lebih baik ia bicara pada orang yang tidak mengenalnya. Ia bisa menjadi diri sendiri.
"Terus, gara-gara itu kamu mau bunuh diri?"tanya Tika lagi.
"Ya."
Tika melihat Janar dari ujung kaki sampai ujung kepala."Padahal hidupmu menyenangkan, dikelilingi oleh orang-orang yang sayang dan peduli sama kamu. Kamu juga nggak perlu mikirin pekerjaan dan uang, karena semua itu datang sendiri sama kamu. Terus, masalah pacar, pasti banyak juga yang mau jadi pacar kamu."
"Hidupmu lebih menyenangkan, tinggal sendirian. Tidak ada yang atur, bebas cari kerja apa saja, bebas melakukan apa pun yang kamu suka,"balas Janar.
"Hidupmu lebih beruntung!"balas Tika dengan tatapan tajam,"kamu nggak tahu rasanya jadi aku."
"Kamu juga nggak tahu rasanya jadi aku!" Janar membalas tatapan tajam Tika.
"Permisi....!"
Keduanya langsung hening begitu ada suara memelas di hadapan mereka. Keduanya terkejut. Seorang Kakek, sedikit bungkuk, memakai tongkat. Pakaiannya compang-camping, ia membawa kantong kresek hitam besar berisi kerupuk.
"Nak, beli kerupuknya?"
Janar melirik jam tangannya, sudah malam, tapi, Kakek ini masih berjualan. Di usia senja seperti ini pasti pandangannya juga sudah tidak begitu baik."Berapa harganya, Kek?"
"Satu bungkus lima ribu,"katanya sambil mengambil satu bungkus kerupuk.
Janar mengambil dompetnya. "Kek, saya beli semuanya."
"Wah, yang bener? Alhamdulillah, saya bisa beli obat!"katanya dengan bahagia, tangannya sampai bergetar membungkus semua kerupuknya.
"Siapa yang sakit, Kek?"tanya Janar sambil mengambil uang.
"Istri saya, sudah seminggu nggak sembuh-sembuh. Mau dibawa ke rumah sakit, Kakek belum ada uang. Jadi, beli obat saja dulu,"katanya sedikit tertawa. Sang Kakek tertawa karena bahagia, ada uang yang bisa ia bawa pulang.
"Kek, kenapa sudah tua kok masih jualan?"tanya Tika.
"Ya, tidak ada yang cari uang. Saya dan istri harus makan untuk melanjutkan hidup."
"Anak-anak kakek kemana?"
"Semua sudah berkeluarga. Nggak tahu pada dimana sekarang. Mau beli berapa tadi, Nak?"tanya sang Kakek pada Janar.
"Semuanya, Kek. Berapa?"jawab Janar.
"Semuanya ada dua puluh bungkus, jadi, Lima ribu dikali dua puluh,seratus ribu,"jawabnya dengan suara serak.
Janar mengambil lima lembar uang seratus ribuan dan menyerahkan pada Kakek."Ini,Kek."
Sang Kakek menerima uang dari Janar, lalu menghitungnya dengan tangan gemetaran."Ini kelebihan," katanya sambil mengembalikan empat ratus ribu.
"Buat berobat Nenek,ya, Kek."
"Eh, jangan..." Kakek tersebut merasa tidak enak hati, menerima uang secara cuma-cuma.
"Terima aja,ya, Kek. Ini rezeki Kakek,"kata Tika.
"Kakek cuma berhak menerima seratus ribu, Nak. Ini juga Kakek sudah dapat untung kok,"katanya lagi.
Tika dan Janar tertegun. Lalu, Janar menatap sang Kakek dengan serius."Kakek, ini adalah rezeki yang Tuhan berikan melalui kita. Mohon diterima ya, Kek. Salam untuk Nenek di rumah. Semoga cepat sembuh."
Wajah Kakek tersebut langsung berubah menjadi senang. "Alhamdulillah, terima kasih, semoga murah rezekinya."
Tika tersenyum lega."Aaminnn. Rumah Kakek dimana?"
"Di belakang situ kok, dekat. Kalau begitu Kakek pulang dulu, ya. Biar bisa makan malam bareng."
"Hati-hati, Kek."
Kakek tersebut berjalan pelan ke gang di sebelah mini market. Tika dan Janar mengikuti kemana arah Kakek tersebut, ternyata benar, rumahnya dekat sana. Mereka berdua bisa bernapas lega, sang Kakek bisa sampai di rumah dengan selamat.
Janar dan Tika bertukar pandang, lalu keduanya tertunduk malu pada sang Kakek yang masih begitu bersemangat meski memiliki banyak keterbatasan dan juga masalah yang jauh lebih berat.
"Hidupku sangat beruntung!"ucap Tika dan Janar bersamaan. Lalu keduanya saling diam.
"Ya sudah, rumah kamu dimana? Ayo kuantar pulang." Janar berdiri.
"Aku sendiri aja,"jawab Tika. Ia masih ingin di sini.
"Kamu perempuan dan ini udah malam. Ayo kuantar! Naik taksi online aja." Nada suara Janar terdengar sedikit memaksa.
Tika tersenyum sambil menggeleng. "Makasih. Tapi, aku belum mau pulang."
"Ya udah." Janar duduk kembali di sebelah Tika.
"Kamu pulang aja, pasti banyak yang nyariin kamu tuh."
Janar menatap Tika intens."Nggak bisa. Aku khawatir, kalau kamu sendirian, nanti kamu bunuh diri."
"Kamu juga!" Tika membalas tatapan Janar.
"Hah! Ya udah, bagaimana kalau kita tinggal bersama aja? Jadi, kalau salah satu ada yang berniat bunuh diri, ada yang mengingatkan," saran Janar."Kamu masih ada niatan untuk bunuh diri, kan?"
"Sepertinya..."
Janar menarik tangan Tika."Kita ke apartemenku aja."
"Eh...eh...eh." Tika sedikit berlari mengikuti langkah Janar, entah apa yang akan terjadi setelah ini, ia masih belum bisa berpikiran jernih.