part 1
Hujan turun deras malam itu, membasahi gang sempit di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya memantulkan bayangan samar dari genangan air. Di antara riuhnya rintik hujan, terdengar langkah terburu-buru seorang gadis muda. Nafasnya tersengal, tubuhnya basah kuyup, dan matanya penuh ketakutan.
Rose memeluk erat tas kain usangnya. Pikirannya kacau. Ia baru saja menyadari bahwa paman dan bibinya telah menjebaknya. Mereka berkata ada pekerjaan di restoran besar, tetapi saat sampai di lokasi, yang menunggunya adalah seorang wanita bergaun merah mencolok, bibirnya merah darah, dan senyumannya menakutkan.
“Kamu cantik sekali… malam ini, kau akan menghasilkan banyak uang untukku,”
suara wanita itu masih terngiang di telinga Rose, membuat bulu kuduknya berdiri.
Rose langsung lari sekuat tenaga, meninggalkan teriakan marah dan langkah kaki para lelaki yang mencoba mengejarnya.
Di ujung gang, ia hampir terjatuh karena licin. Dadanya terasa sesak, bukan hanya karena lelah, tetapi juga karena rasa putus asa. Ia tak punya siapa pun. Tak ada rumah yang bisa ia pulang.
Tiba-tiba, suara klakson mobil membuyarkan pikirannya. Sebuah mobil hitam mewah berhenti mendadak di depannya. Pintu terbuka, dan seorang pria keluar. Tubuhnya tinggi, berbalut jas hitam yang kebasahan di bagian bahu. Tatapannya tajam namun mengandung rasa heran.
“Hey! Kau baik-baik saja?” suaranya dalam, mengalahkan suara hujan.
Rose hendak menjawab, tetapi langkah kecil seseorang dari dalam mobil membuatnya tertegun. Seorang bocah lelaki berumur sekitar lima tahun keluar sambil memegang payung biru. Matanya membesar saat melihat Rose.
“Mama…?”
Suara itu membuat Rose membeku. Bocah itu berlari menghampirinya, memeluk pinggangnya erat, seolah takut ia akan menghilang lagi.
Pria itu—Eric Mahendra—menatap keduanya bergantian. Hatinya berdegup kencang. Wajah gadis ini… persis seperti istrinya yang hilang.
Hujan semakin deras, tapi yang terdengar di telinga Eric hanyalah suara lirih anaknya.
“Mama… jangan pergi lagi…”
Rose terpaku. Ia tidak mengenal anak ini, tidak mengenal pria itu. Tapi pelukan hangat bocah itu… entah kenapa membuat dadanya sesak oleh rasa yang tak ia mengerti.
****
Mobil hitam itu melaju tenang menembus hujan malam. Suara rintik di atap mobil berpadu dengan dengus napas kecil Rio yang duduk di pangkuan Rose, masih memeluknya erat.
Rose menatap keluar jendela, berusaha mengabaikan tatapan pria di sampingnya. Ia tak mengerti mengapa dibawa pergi, dan siapa sebenarnya orang ini.
“Kalau bukan karena anak saya, saya tidak akan membawa orang asing masuk ke mobil saya,” suara Eric datar, namun ada nada penasaran yang ia tahan-tahan. “Tapi… jelaskan. Siapa kamu?”
Rose menelan ludah. “Saya… Rose, Saya tidak kenal anak ini. Saya—”
“Berhenti bohong!” potong Eric tajam. “Wajahmu… sama persis dengan istriku.”
Rose terdiam. “Istri?”
“Iya,” jawab Eric singkat, pandangannya tetap lurus ke depan. “Namanya Mary Serafina… dan dia sudah menghilang selama tiga bulan.”
Nama itu terasa asing di telinga Rose, tapi entah kenapa membuat hatinya bergetar aneh.
Sementara itu, Rio mulai terlelap di pelukannya, wajah polosnya tersenyum tipis seakan merasa aman.
Sesampainya di rumah mewah bergaya modern itu, Eric turun lebih dulu. Ia membuka pintu untuk Rose, lalu menggendong Rio ke kamar. Rose mengikuti pelan, menatap sekeliling dengan canggung. Semua terlihat seperti dunia yang sama sekali bukan miliknya.
Di ruang tamu, Eric kembali menatapnya lekat-lekat. “Kalau kau memang bukan Mary… kenapa kalian mirip sekali? Bahkan cara menatapmu pun sama.”
Rose menggeleng, menahan air mata. “Saya tidak tahu… yang saya tahu, saya dibesarkan di rumah paman dan bibi yang miskin. Saya tidak pernah punya keluarga lain.”
Eric terdiam, rahangnya mengeras. Ada misteri besar di sini, dan ia bertekad untuk mengungkapnya.
Namun sebelum ia sempat bertanya lagi, suara langkah kaki pelan terdengar dari tangga.
Rio berdiri di sana, memegang boneka kesayangannya.
“Papa… kalau Mama sudah pulang… Mama jangan pergi lagi, ya?”
Rose tak sanggup menjawab. Pandangan mata anak itu begitu tulus, membuat hatinya terasa hangat sekaligus sakit.
Eric menatapnya lama, seakan memutuskan sesuatu.
“Mulai malam ini… kau akan tinggal di sini.”
Rose menatapnya kaget. “Apa?! Tapi saya—”
“Tidak ada tapi,” potong Eric “Aku tidak akan membiarkan anakku menangis lagi.”
Di luar, hujan mulai reda… tapi di hati Rose badai baru saja dimulai.