Bab 181 Kamu Lebih Suka Melihatku Marah?

2062 Kata
Di jalan, Arkan mengemudi dengan cara yang cukup ugal-ugalan, gigi digertakkan penuh amarah mengingat semua perkataan ayahnya barusan. Bagaimana bisa dia menyuruhnya benar-benar menikah dengan Lisa? Bukankah mereka setuju pernikahan akan dilakukan jika sudah memenuhi beberapa syarat? Apa-apaan dia langsung ingin mempercepat semuanya begitu saja? Berengsek! Semua ini gara-gara skandal yang beredar itu! “Abian?!” seru Arkan melalui sambungan nirkabel, menelepon sahabatnya itu sambil tetap mengemudi dalam keadaan marah. “Aku baru saja ingin meneleponmu. Kamu sudah lihat berita terbaru tentang skandalmu di internet? Kali ini benar-benar sangat konyol. Wanita itu benar-benar memanfaatkan kesempatan menjadi terkenal sekaligus sepertinya ingin balas dendam. Bagaimana bisa dia bilang kalau dia sedang mengandung anakmu?” “Aku sudah tahu hal itu. Sialan! Kamu sudah dapat informasi lebih banyak tentang dia?” “Ya. Sepertinya kecurigaanku benar beberapa saat lalu. Dia besar kepala dan nekat karena ada yang mendukungnya di belakang.” “Siapa lintah darat itu?” “Seorang pengusaha kelas menengah. Sepertinya perusahaan mereka ada kaitannya dengan Grup Yamazaki di sektor keuangan. Mungkin itu sebabnya wanita itu merasa sangat percaya diri. Bagaimana ini? Kamu sungguh ingin membereskan wanita itu? Apa kita harus membicarakannya dengan ayahmu terlebih dahulu?” “Kamu bercanda? Dia sudah memanfaatkanku, dan melumuri wajahku dengan kotoran! Singkirkan dia! Beri pelajaran keras pada kedua orang itu! Aku tidak perlu izin dari pria tua itu untuk urusan semacam ini!” Abian Pratama yang mendengar gerungan marahnya, seketika memucat kelam ketika percakapan ditutup begitu saja. Matanya melihat linglung layar ponsel. “Wuah. Dia benar-benar marah kali ini. Habislah mereka semua,” gumam Abian dengan ekspresi takjub, karena merasa baru kali ini dia melihat amukan Arkan yang di luar batas. *** Hati Arkan masih gelisah, dan segera melakukan panggilan lain. “Apa? Bagaimana aku bisa melakukannya? Baiklah. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku tahu berita itu memang agak konyol. Ini bisa menjadi pukulan hebat juga untuk istrimu,” ujar dokter Ken melalui sambungan telepon, dan segera menutupnya dengan helaan napas berat. “Ada-ada saja pasangan suami istri ini,” gerutunya lelah, lalu berjalan menuju bangsal Casilda. “Dokter Ken?” sapa Casilda sedikit malu, baru kali ini bertemu hanya berdua dengannya, dan dalam keadaan memalukan gara-gara Arkan. Rupanya sang dokter tidak datang sendirian, ada seseorang lagi di belakangnya. Tampaknya adalah petugas perbaikan. “Halo, Casilda? Bagaimana kabarmu? Sudah merasa baikan? Kadang saat datang bulan tiba, rasa sakit ekstrem memang menimpa beberapa wanita. Tapi, kamu tenang saja. Tidak ada yang aneh dari tubuhmu,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah dokumen, dan setelah itu mengedikkan kepalanya ke arah pria petugas perbaikan di sebelahnya. “Oh, terima kasih,” balas Casilda tersipu kecil, menerima dokumen itu, dan menatap bingung ke arah layar TV. Ken tertawa pelan, menjelaskan cepat. “Televisi itu bermasalah. Aku baru ingat untuk menyuruh orang memeriksanya. Ada kabel yang bisa memicu korslet. Jangan cemas, nanti juga akan baik setelah membeli beberapa alat. Kamu bisa menonton film apa saja yang kamu mau, katakan saja kepadaku, pasti akan aku bawakan dalam waktu 1 jam. Kebetulan aku punya tablet di ruang kerja.” Casilda tidak memahami ucapannya, kenapa menonton begitu penting di saat ini? “Kamu pasti bosan, kan? Aku bawakan komik ini untukmu. Nanti aku bawakan yang lain,” terangnya santai seolah bisa membaca pikiran Casilda, mengeluarkan sebuah buku komik dari saku jas putihnya. “Eng... sebenarnya tidak perlu. Saya tidak begitu bosan, kok. Tapi, terima kasih,” balasnya tersenyum, menerima buku komik itu dengan wajah senang. “Arkan sedang dalam perjalanan ke mari, mungkin 1 jam lagi akan tiba.” “Um. Terima kasih, dokter Ken. Maaf merepotkan.” Ken duduk di sofa tunggal, tertawa pelan. “Merepotkan apa? Ini sudah tugasku sebagai seorang dokter.” “Ta-tapi, Arkan benar-benar keterlaluan. Gara-gara masalah... ehem... itu... dia jadi berlebihan seperti ini. Bolehkah aku keluar hari ini juga? Rasanya ini benar-benar berlebihan.” “Maaf, Casilda. Itu di luar wewenangku. Arkan yang memutuskan kamu boleh pulang atau tidak. Dia bisa-bisa menjadikanku tempat pelampiasan amarah jika sampai kamu melawan perintahnya.” Casilda terdiam dengan senyum kaku, menatapnya dengan ekspresi sedikit pucat. “Be-benar juga.” Petugas pria di seberang ruangan tidak mendengar percakapan mereka, dan Ken menunggunya keluar ruangan barulah berbicara lebih serius dan dalam. “Oh, ya, aku baru ingin bertanya mengenai pernikahan kalian. Bagaimana kalian bisa sampai menikah? Kamu sepertinya tidak begitu peduli dengan Arkan. Kalian menikah tanpa cinta? Apakah dia memaksamu?” Casilda tersenyum kikuk mendengar pertanyaan yang langsung tanpa basa-basi itu. Punggungnya yang disandarkan sedikit perlahan diperbaik posisinya, berdeham pelan. Mata menghindari kontak mata. “Tidak juga. Arkan sama sekali tidak memaksa saya. Dia malah menolong saja dengan pernikahan ini. Memang.... agak sedikit aneh di mata orang lain. Saya tahu kalau kami tidak terlihat cocok, tapi bukan itu yang penting. Saya sejujurnya tidak begitu menyukai sikapnya yang kadang kasar dan tirani, tapi jika saya memikirkan baik-baik, dia telah membantu saya dalam banyak hal. Mungkin ini lebih tepatnya disebut sebagai pernikahan balas budi.” Salah satunya adalah membantunya mendapatkan rasa malu seumur hidup! Pria sialan! “Benarkah? Kalian benar-benar pasangan unik. Aku tahu kalau Arkan adalah seorang playboy, tapi dia sepertinya tidak begitu aktif akhir-akhir ini. Biasanya setelah melakukan hobi gilanya itu, dia pasti akan meminta pemeriksaan kesehatan khusus untuk hal semacam itu. Aku harap kamu tidak menderita dalam pernikahan rahasia itu.” Casilda diam. Mulai paham bagaimana kehidupan Arkan dan masalah seksualnya. Pria arogan itu adalah lulusan terbaik dari kampus kedokteran ternama, bukankah sudah pasti memiliki banyak kenalan di dunia medis? Tidak heran dia begitu santai tidur dengan banyak wanita. Tapi, tetap saja itu berisiko, bukan? Bagaimana bisa dia mempercayai banyak orang? Apa dia menjadi lulusan terbaik di jurusan kedokteran hasil dari memakai jasa joki? “Arkan itu sebenarnya lebih suka yang masih murni, sih. Jadi, pekerjaanku juga sedikit lebih berkurang. Kamu tidak perlu curiga kepadanya sebagai seorang istri. Dia jarang menyentuh wanita yang sama untuk kedua kalinya, kecuali dengan kriteria tertentu. Kebanyakan hanya sekali pakai.” “Memangnya dia sedang belanja baju?” gerutu Casilda dengan wajah kesal. Ken tertawa lunak melihat reaksinya yang cukup santai. “Maaf, aku bukannya bermaksud mengadu domba kalian berdua. Tapi aku berpikir, meskipun Arkan kasar kepadamu, mungkin dia benar-benar sangat peduli. Kamu pasti sudah tahu tentang Lisa, kan? Mereka memang digambarkan sebagai pasangan impian dan sempurna di mata semua orang. Pernikahan kalian berdua jelas membuatku sangat terkejut. Entah apa yang ada di dalam otak pria itu. Masalah cinta kalian yang rumit, hanya kalian yang benar-benar bisa menyelesaikannya. Hanya saja, Casilda, aku ingin memberitahumu, jika kamu tidak mencintai Arkan, atau pun mencintainya dan merasa tersiksa dalam hubungan itu, sebaiknya kamu bicarakan baik-baik dengannya untuk mengakhiri semuanya. Kamu bisa terluka yang sangat dalam jika Arkan masih terus mempertahankan sifat keras kepala dan egoisnya itu. Kamu paham yang aku katakan, bukan? Ini juga tidak adil bagi Lisa. Pikirkan posisinya jika itu adalah kamu. Dia sangat mencintai Arkan, tapi ternyata sikap Arkan sudah curang dengan cara seperti ini. Aku tahu kamu adalah wanita baik, dan aku bisa merasakannya. Yang paling terluka di dalam hubungan itu, bisa saja adalah kamu, Casilda. Keluarga Arkan mungkin tidak akan menerimamu sebagai menantu. Belum lagi dengan para penggemar Arkan dan Lisa. Aku tidak ingin kamu menjadi korban dalam keegoisan Arkan.” Casilda terdiam muram mendengar penjelasannya. Dia tahu maksud dokter Ken sangatlah baik demi dirinya sendiri. Tapi, bagaimana dia menjelaskan pernikahan yang rumit itu kepadanya? Karena tidak tega melanjutkan pembicaraan yang dirasanya sangat sensitif itu, Ken akhirnya keluar dari ruangan usai menjelaskan keadaan tubuh Casilda. Dokter muda itu berkata jujur meski menyakitkan demi Casilda sendiri. Dia khawatir dengan sikap Arkan yang sangat temperamen sebelum mereka berdua menikah. Walaupun sekarang terlihat tidak ada masalah yang berarti, dan dia seperti peduli kepadanya, tidak ada yang bisa menebak kelakukannya yang kadang sesuka hati itu. Jika Lisa saja yang diakui sangat dicintai olehnya di depan publik bisa dengan tega dikhianati, bagaimana dengan wanita malang di ranjang pasien itu? Dokter Ken menghela napas berat, berjalan pelan dan lesu meninggalkan kamar VIP tersebut. *** Arkan tiba di rumah sakit 45 menit kemudian, dan mendapati Casilda termenung menatap balkon sambil memunggunginya. Langit di luar sudah mulai berubah warna, terlihat indah dan memesona, tapi hati Casilda tidak dalam suasana baik untuk menikmatinya. “Kamu sedang apa?” tanya Arkan cepat, suaranya rendah penuh kesabaran, tapi ada nada kesal dan penasaran di saat yang sama. Kakinya berjalan mendekat ke ranjang pasien. “Kenapa cepat sekali datang?” “Kenapa? Kamu benar-benar tidak suka aku kembali? Kamu ingin aku mati kecelakaan mobil, begitu?” Casilda terlihat ogah-ogahan, dingin dan cuek, “baguslah.” “Apa katamu?!” gerung Arkan emosi, menghempaskan beberapa tas kertas ke atas ranjang, tepat di sisi Casilda. “Jangan marah-marah. Ini di rumah sakit biasa, bukan rumah sakit jiwa,” komentar Casilda datar, melirik ke tumpukan tas kertas itu dan mengerutkan kening. “Kamu mengejekku sebagai orang gila?” teriak Arkan tidak terima. “Apa ini? Kamu bawa apa?” tanya Casilda santai, mengabaikan pria tampan itu mulai marah-marah tidak jelas. Tangan kanan memeriksa tas kertas itu, terkejut melihat ada gaun indah di dalamnya, sebuah kotak besar cokelat dan buket bunga cantik. Untuk siapa? Senyum Arkan melengkung cepat, arogan dan sombong melihat wajah terkejut sang istri. “Terharu?” “Hah? Kenapa aku harus terharu?” balas Casilda bingung, mendongak menatapnya aneh. Melihatnya yang lamban seperti itu, membuat hati Arkan gusar! Apa wanita ini benar-benar tidak ada romantis-romantisnya? Dulu, rumah sewa yang diberikan kepadanya juga dianggap tidak berarti! Sekarang, Arkan merendahkan egonya secara pribadi membeli hal yang tidak pernah dia lakukan untuk seorang wanita, tapi dia malah berkata apa kepadanya? Lengan Casilda ditarik kasar agar bisa saling berhadapan, lalu tumpukan kertas tadi diserahkan ke dalam pelukannya. “Ini semua untukmu! Bukankah aku sudah berjanji akan berkencan denganmu?” Kedua alis Casilda naik dengan cepat, menatapnya sangat linglung dan terkejut. “Apa hubungannya dengan semua benda-benda ini?” Wajah Arkan memanas samar, tergagap sebentar dan menggertakkan gigi untuk menghilangkan perasaan salah tingkahnya. “Kamu tidak mau kencan lagi? Apa karena sudah puas melakukannya dengan pria lain?” tanyanya dengan nada penuh kecemburuan dan amarah. Casilda mengerutkan kening, tetap tenang. “Bisa tidak kamu jangan marah-marah terus? Tidak takut kena penyakit darah tinggi?” Arkan mengabaikan omelan kecil istrinya, wajahnya tampak mendung dan kusut, kening bertaut dalam. “Apa tadi kamu sudah menonton TV?” “Kenapa tanya-tanya?” “Jawab saja!” bentaknya marah. Casilda cemberut muram, mendatarkan mata kesal. “Tidak. Televisinya sedang bermasalah.” “Apa itu artinya sejak tadi kamu hanya melamun di sini?” “Kenapa tanya-tanya begitu, sih? Kamu mau bilang apa sebenarnya?” Wajah Arkan memuram kelam, suaranya mendesis dalam, “jawab saja jika aku bertanya kepadamu!” “Tidak. Tadi aku baca komik pemberian dokter Ken.” “Lalu?” “Hah? Lalu apa?” “Setelah itu kamu melakukan apa?” tanya Arkan keras kepala, cemas memikirkan jika sampai Casilda mengetahui soal skandal terbarunya. “Tidak ada. Hanya melamun seperti tadi,” balasnya malas, lalu meraih sekotak cokelat dari dalam tas kertas. “Tidak menonton TV?” Sambil membuka kotak cokelat sambil menjawabnya masa bodoh. “Tidak. Televisinya rusak, dan aku tidak tahu bagaimana menghidupkannya. Remotnya juga tidak tahu di mana.” “Sungguh?” Kesal dengan pertanyaan aneh Arkan, Casilda menegakkan wajah dengan kening mengencang hebat. “Kamu mau apa, sih? Bicara yang jelas!” Casilda yang sedang marah dan ingin meledak dengan keanehan Arkan, terkejut luar biasa melihat wajah pria tampan itu malah tersenyum lebar berseri-seri, sangat mirip orang bodoh. Hanya saja ketampanannya di luar nalar! “Sini! Biar aku yang membuka kotak cokelatnya. Jangan dihabiskan semua. Kita makan separuh saat kencan malam nanti,” terang Arkan penuh antusias, bertingkah seperti kucing kecil yang hyperaktif, duduk di tepi ranjang pasien sambil tersenyum-senyum lebar tidak jelas, seolah-olah tidak akan berhenti sampai giginya copot. “Kamu kenapa, sih? Kenapa sangat aneh sejak tadi?” protes Casilda heran, terbengong parah melihat tingkah suaminya yang tidak bisa ditebak. “Kamu lebih suka melihatku marah?” tanyanya dingin, raut wajahnya tiba-tiba datar dan penuh ancaman. Sudut bibir Casilda berkedut jengkel, “kamu memang manusia super aneh di muka bumi ini!” Arkan tertawa pelan yang sangat enak didengar, jelas sedang bahagia. Tanpa peringatan, dia memajukan wajahnya dalam posisi miring, lalu mencium Casilda dengan rakus dan posesif. “Dasar tidak tahu malu!” pekik Casilda marah di antara serangan itu, tapi belakang kepalanya malah ditahan lebih kuat oleh tangan besar sang aktor.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN