"Jangan katakan kau memerlukan pelepasan sepagi ini, Nick." Charlotte yang berdiri di belakang nick mengecup bibir Nick yang sedang duduk menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.
Charlotte, ia adalah sahabat Nick sejak kecil. Sama seperti Beck dan Vanilla. Tetapi, hubungan mereka lebih santai, Nick mencari Charlotte saat ia memerlukan pelampiasan mendesak. Begitu juga Charlotte, ia tidak keberatan bagaimanapun cara Nick memperlakukannya. Mereka berdua bebas, Nick bebas berkencan dengan gadis lain begitu juga Charlotte yang bebas berkencan dengan pria lain.
"Tidak, aku hanya perlu kau mendengarkan masalahku," ujar Nick. "Sialan, aku baru saja di tolak oleh seorang gadis."
Charlotte duduk di samping Nick. Alis gadis itu dalam, nyaris bersentuhan. "Apa kau bilang?"
Nick menghela napasnya. "Selain barang-barang mewah, apa yang biasanya disukai oleh gadis?"
"Pria tampan," jawab Charlotte cepat, gadis itu tertawa geli.
"Ck, aku serius."
Charlotte memainkan rambut ikal Nick menggunakan ujung jemarinya. "Aku juga serius, selain barang-barang mewah, aku menyukai pria tampan seperti kau menyukai gadis-gadis cantik."
"Masalahnya, gadis ini berbeda. Ia tidak seperti kebanyakan yang kukencani, ia terang-terangan menolakku," ucap Nick dengan nada kesal.
Vanilla menolaknya, gadis itu tidak ingin lagi mempertimbangkan Nick hingga besok. Dengan tegas Vanilla menolak Nick, ia juga membatalkan acara menonton pacuan kuda besok, dan mengusir Nick dari rumahnya.
"Barikah saja mobil mewah, tas, atau jam tangan. Aku yakin, ia akan berubah pikiran," ujar Charlotte.
Nick mengerutkan kedua alisnya mengingat-ingat penampilan Vanilla yang biasa saja, meski berpenampilan modis tetapi gadis itu bukan pemuja barang mewah. Tampaknya begitu karena barang-barang yang dikenakan oleh Vanilla bukan barang dengan harga fantastis dan juga gadis itu mengenakannya berulang kali. Seperti jam tangannya, gadis itu mengenakan jam yang sama beberapa hari, juga tasnya.
"Kubilang dia berbeda," ujar Nick.
"Astaga, repot sekali. Lalu, apa hobinya?"
"Membuat kue," jawab Nick cepat.
"Kalau begitu beri dia alat-alat membuat kue," ujar Charlotte.
"Dia memiliki semuanya."
Charlotte menghela napasnya, matanya mengawasi Nick dengan raut wajah serius. "Kau kurang romantis, aku yakin itu."
Nick menjauhkan kepalanya dari sandaran sofa, menegakkan punggungnya. "Sialan, aku tidak tahu bagaimana caranya romantis."
"Ya, karena sejauh ini kau hanya tahu bagaimana caranya berkencan dengan gadis langsung di atas tempat tidur." Charlotte meninju lengan Nick. "Coba kau bawa bunga, nyatakan cintamu padanya. Aku yakin gadis itu akan meleleh seperti coklat panas."
"Aku sudah mengatakan padanya ingin menjadikannya milikku, menjadikan kekasihku, bahkan aku ingin menikahinya jika ia bersedia."
Charlotte tertawa sumbang. Ia kembali mengamati Nick, mereka saling mengenal sejak masih balita karena orang tua mereka banyak terlibat dalam kerja sama bisnis. Mereka juga sama-sama terjebak dalam hubungan pertemanan dengan keuntungan yang tidak bisa dikatakan sebentar. Ia telah berpuluh-puluh kali menyaksikan Nick berganti-ganti gadis, begitu pula Nick. Pria itu telah berulang kali menjadi tempatnya menangis setiap kali ia merasakan patah hati.
Namun, baru kali ini ia melihat Nick bertingkah konyol. Pria itu mengatakan telah ditolak oleh seorang gadis, seharusnya penolakan itu masuk ke dalam catatan Giuiness Book of Record karena hal itu seharusnya nyaris mustahil terjadi mengingat Nick adalah pria idaman gadis-gadis di Barcelona dan mungkin di seluruh Spanyol.
Sudut bibir Charlotte sedikit terangkat, ia ingin melihat seperti apa gadis yang berani menolak Nick. Apakah gadis itu secantik dirinya? Sekaya dirinya, atau mungkin bentuk tubuhnya lebih seksi dari dirinya.
"Bodoh, kau pikir seorang gadis luluh dengan ajakan seperti itu tanpa kata cinta?"
"Persetan dengan gagasanmu itu," ujar Nick. "Aku menyukainya. Ya, aku menyukainya sejak...."
Entah sejak kapan, dulu ketika remaja ia sering diam-diam ingin merayu Vanilla. Tetapi, karena gadis itu di jaga ketat oleh Beck, ia memilih untuk tidak melakukan apa pun dibandingkan harus berselisih dengan Beck karena ia tahu bagaimana Beck jika menyangkut Vanilla.
Charlotte meraih tabloid yang tergeletak di atas meja. "Suka dan cinta itu hal yang berbeda."
"Jadi, aku harus bagaimana?"
"Aku tidak pernah mendapati kau menjadi begitu bodoh hanya karena seorang gadis," ujar Charlotte sinis.
"Sialan!" Nick bangkit dari duduknya. "Aku akan menyusulnya."
"Dia akan mengabaikanmu, aku berani bertaruh," ujar Charlotte, nadanya terdengar meyakinkan.
"Kali ini dia tidak akan bisa menolakku." Nick memperbaiki posisi kerah jaketnya.
"Kau yakin sekali." Charlotte terkekeh. "Jangan terlalu percaya diri."
"Aku seorang Knight, dia harus menyesal karena telah menolakku."
"Baiklah, aku tidak sabar mendengar kabar kau patah hati," ejek Charlotte.
"Kita lihat saja nanti."
"Jangan lupa besok," ujar Charlotte. Besok ia akan menjadi peserta pacuan kuda, ia ingin teman-temannya menyaksikan penampilannya, termasuk Nick tentunya.
"Iya, aku mengingatnya." Nick menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja lalu bergegas melangkah keluar dari tempat itu sementara Charlotte yang hanya mampu menatap punggung sahabatnya, gadis itu mengedikkan bahunya.
Nick itu tahu di mana bisa menemukan Vanilla karena gadis itu mengatakan memiliki jadwal belajar balet.
***
"Kau sama sekali tidak berkonsentrasi, Vanilla," ujar Cassandra yang berdiri di samping Vanilla.
Vanilla menyeringai. "Aku hanya sedikit kaku," ujarnya. Mereka berada di ruang ganti sebuah sanggar setelah menyelesaikan latihan balet meski rasanya memang benar-benar aneh bagi Vanilla karena bertahun-tahun ia tidak menyentuh sepatu baletnya.
"Tidak, kau tidak kaku. Tapi, pikiranmu tidak di sini." Jovanca yang berdiri di antara Vanilla dan Cassandra menyahut.
"Aku serius. Aku hanya sedikit gugup," ucap Vanilla mencoba meyakinkan teman-temannya bahwa ia hanya gugup. Faktanya yang diucapkan oleh Jovanca benar, pikirannya tertinggal di rumahnya atau mungkin terbawa oleh Nick saat ia mengusir pria itu keluar dari rumahnya.
"Kau memikirkan bodyguard-mu?" goda Cassandra.
Vanilla justru terkekeh, ia sendiri tidak lagi memikirkan Beck. Sedikit pun tidak, justru rongga kepalanya penuh terisi oleh Nick. "Omong kosong," ucapnya.
"Aku tahu bagaimana dirimu," ucap Cassandra. Ia menatap Vanilla melalui bayangan yang terpantul di dalam cermin yang ada di depan mereka.
Vanilla mendengus pelan. "Aku baru saja menolak Nick."
"Apa?" sahut Jovanca dan Cassandra bersamaan.
"Beberapa jam yang lalu," jawab Vanilla, gadis itu mengedikkan kedua bahunya.
"Kau kehilangan akalmu," ucap Cassandra.
"Aku yakin otakmu sedikit terganggu," timpal Jovanca.
"Nick mengatakan ingin meniduriku setelah aku menerimanya," ucap Vanilla dengan nada jengkel.
Vanilla mengerti, Vanilla sadar wajar saja jika Nick ingin menidurinya karena mereka adalah pasangan. Tetapi, tidak bisakah pria itu menyampaikan nanti setelah hubungan mereka berjalan. Bukan mengatakan dengan terburu-buru hingga membuat dirinya ketakutan dan beranggapan jika Nick hanya ingin menidurinya
"Astaga! Kau seperti anak sekolah dasar," ejek Cassandra. "Jadi, kau ingin berpacaran seperti apa jika kekasihmu tidak kau perbolehkan menidurimu?"
"Kurasa... bergandengan tangan dan menonton di bioskop cukup," sahut Jovanca sinis.
"Ya, lalu Nick mencari gadis lain yang bersedia memenuhi gairahnya," ucap Cassandra.
"Aku berani bertaruh," kata Jovanca yang diangguki oleh Cassandra.
Vanilla menatap kedua sahabatnya bergantian. "Ya Tuhan," erangnya.
Kedua sahabatnya itu pasti sedang menganggap ia adalah gadis culun yang berpikiran kuno sekarang.
"Bukan begitu maksudku. Tapi, aku ingin mengenalnya dulu beberapa waktu sebelum kami... tidur... maksudku bercinta." Vanilla merasakan jika kedua pipinya merona, ia tidak bisa membayangkan betapa bergairahnya ia kepada Nick. Bahkan hanya dengan berciuman dengan Nick saja bisa membuat ia melupakan segalanya apa lagi jika bercinta, ia tidak yakin jika ia bisa berhenti.
Cassandra memutar bola matanya lalu berucap, "Kau sudah mengenalnya, dia idolamu...."
"Idola kita semua," pungkas Vanilla tidak terima jika sahabatnya mengatakan jika Nick adalah idolanya karena faktanya hampir semua gadis di sekolah menengah atas mereka menyukai Nick.
"Jika Nick yang menyatakan cinta padaku, aku tidak akan berpikir dua kali," ucap Cassandra.
"Bagaimana jika setelah berhasil meniduriku lalu meninggalkan aku?" tanya Vanilla cepat-cepat. Akhirnya ia berhasil menyuarakan apa yang menjadi ketakutannya.
Jovanca tertawa mendengar pertanyaan Vanilla yang dilontarkan dengan nada sangat polos. Ia menghela napasnya lalu mengembuskannya, matanya melirik ke arah pintu lalu berucap, "Sepertinya kita harus mengajari beberapa trik agar ia tidak terlalu polos dan pastinya bisa menjerat pria hingga sang pria tidak mampu berkutik."
"Itu bagianmu," ujar Cassandra. "Bagaimana jika nanti malam kita pergi bersenang-senang?"
"Hah?" Vanilla mengerjapkan matanya.
"Tidak, aku besok akan bertanding di pacuan kuda, aku tidak bisa ikut," ujar Jovanca. "Aku harap kalian menonton besok dan doakan aku agar bisa menang."
Vanilla mengerjapkan matanya kembali, seharusnya ia dan Nick menonton acara itu besok. Tetapi, ia justru tidak tahu jika sahabatnya menjadi salah satu peserta acara itu. "Aku akan menonton besok," ujarnya secepat mungkin mengambil keputusan.
Ia yakin, Nick tidak akan datang atau meski pria itu datang mereka juga tidak akan bertemu mengingat luasnya area pacuan kuda. Tetapi, jika bertemu juga tidak masalah. Apa urusannya? Masalah di antara mereka telah selesai.
"Bagus, kalian bisa datang bersama," ucap Jovanca. "Bagaimana jika kita mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol?"