My Girlfriend

1889 Kata
Mobil sedan berwarna hitam melesat dengan kecepatan sedang di jalanan aspal perumahan elit, lalu melambatkan lajunya memasuki sebuah rumah yang dikelilingi dengan pagar yang tingginya lima meter. Mobil pabrikan Jepang yang harganya mencapai sepuluh digit itu terhenti di garasi yang di dalamnya juga terdapat beberapa jenis mobil mewah lainnya.  Dua pasang kaki dari dua wanita cantik turun dari mobil lalu melangkah panjang memasuki pintu utama dari rumah mewah model klasik yang memiliki dua lantai. Tiba di dalam, seorang pria yang usianya sudah tak muda lagi menyambut mereka dengan kedua tangan terentang. “Welcome home, Sayang,” sapanya ramah dengan senyum lebar dan tatapan penuh suka cita pada mereka yang salah satunya berlari kecil ke arahnya. "Papa." Tania setengah berlari mendekati pria yang rambutnya sudah memutih itu lalu mendekapnya erat. “I miss you, Pa.” Wajahnya mendarat lembut di d**a pria yang tidak lain adalah ayah kandungnya. “I miss you too, My Angel.” Pria itu membalas pelukan Tania dan juga mencium dahinya penuh kasih. Setelah itu, Eva bergantian memeluknya erat. “Bagaimana perjalanan kalian? Melelahkan bukan?” Melihat mereka bergantian, tangannya merangkul Tania membawanya menuju ruang keluarga. Sebelah tangan Tania berada di pinggang Jimmy Ellison. “Ya, karena demi Papa, aku…,” Melirik Eva yang berjalan di sisi berlawanan, mengangguk kecil. “Aku kangen Papa.” Langkahnya terhenti di sofa lalu duduk di samping Jimmy. “Empat tahun kamu sekolah di sana, tapi kamu tetap manja.” Jimmy mencubit pipi Tania. Anak gadisnya yang paling bungsu itu memang berbeda dengan kedua anaknya dari istri pertamanya, Deva dan Mayang. Mungkin karena mereka sudah dewasa dan bekerja, tidak semanja Tania yang masih duduk di kelas dua SMA. “Apa kamu sedih harus pisah dari pacar bule kamu itu?”  “Chase?" Tania memastikan cowok bule yang pernah ia kenalkan pada Jimmy melalui video call beberapa bulan yang lalu, cowok yang memiliki bola mata biru cerah seperti langit di musim panas yang selalu bersikap lembut. "Maksud Papa Chase White 'kan?" Tangan Jimmy menyelipkan rambut Tania yang menjuntai di pipi ke balik telinga lalu mengangguk. "Iya. Memangnya kamu punya pacar yang lain?" godanya yang tak lama tertawa kecil. Memaklumi masa remaja memang sedang mencari jati diri, terlebih lagi menjalin hubungan dengan lawan jenis. Seperti yang sedang Tania lalui sekarang. Sebelum menjawab Tania menghela nafas kecewa dan ia tunjukkan juga dari raut wajahnya. "He's momy boy, Pa." Mulutnya melengkung ke bawah menandakan ketidak sukaannya pada cowok yang menjadi pacarnya selama enam bulan. "Ibunya selalu mengganggu kencan kami. Entah itu menelepon menanyakan kunci ruang bawah tanah, PR adiknya yang selalu ia bantu atau si Messy kucing peliharaannya yang tidak kembali ke rumah dalam waktu satu jam sesudah makan siang. Dia benar-benar payah, Pa," keluhnya sekaligus kesal mengingat masa-masa beberapa minggu yang lalu. Pengalaman pertama menjalin hubungan dengan momy boy, cowok yang tidak lebih menjadi tawanan ibunya yang protektif. “Good.” Jimmy mengangguk dan tersenyum lebar.  Melihat respon Jimmy, mengundang rasa heran Tania. “Kok kayaknya Papa senang aku putus sama dia? Orang tua dia kerja di perusahaan software ternama, dan mereka bukan orang sembarangan, Pa. Bukannya Papa senang punya calon menantu orang kaya?” Meminta penjelasan Jimmy yang ia tahu sedikit selektif untuk menerima orang asing untuk menjadi bagian dari keluarga besarnya. Hal biasa yang terjadi di circle kehidupan orang kaya. Secara perlahan senyum Jimmy memudar, tatapannya berubah menjadi serius sambil mengatakan ini, “Karena Papa sudah siapin laki-laki tepat buat kamu, Sayang. Laki-laki yang cocok buat jadi pacar kamu.” ❤️❤️❤️ “Kamu mau apa?” Yuri memundurkan tubuhnya ketika Zacky merangkak naik ke atas ranjang dan berhasil membuatnya tersudut. Ia terbaring dan membulatkan mata melihat Zacky mengapit dan berada di atas tubuhnya sambil tersenyum puas. Melihat wajah Yuri memucat, Zacky menjatuhkan tubuh di sampingnya lalu tertawa terbahak-bahak.  “Sialan!” Yuri bangkit, mengambil bantal dan dengan cekatan memukul Zacky berkali-kali dengan itu. “Keluar dari kamarku sekarang. Keluar.”  “No.” Zacky berusaha menghindar, ia merebut bantal Yuri, mendorongnya,  membuat Yuri terbaring dan berada di bawah tubuhnya. “Kenapa? Kamu pikir aku mau cium kamu? Atau lebih dari itu?” Rok Yuri terangkat dan celana dalamnya hampir terlihat. Sementara kedua mata Zacky reflek melihat mulusnya paha Yuri meski hanya beberapa detik. Untuk sejenak mereka saling terdiam, memandang dan menelan ludah. Merasakan sebuah rasa aneh menyelimuti batin mereka. Sebuah rasa ingin terus saling menatap berdekatan seperti ini. Tidak untuk hari ini, tapi sampai nanti. “Yuri.”  Suara Anna terdengar dari balik pintu yang dilanjuti dengan ketukan pintu yang berhasil mengejutkan dan memutuskan pandangan mereka. “Ya.” Yuri menjawab setengah berteriak dan memaksa Zacky menghindar, mengayunkan tubuhnya ke samping dan membuatnya terbaring. Ia bergegas bangkit dan setengah berlari menuju pintu lalu membukanya. “Ada apa, Mi?”  Ujung mata Anna menyusuri isi kamar Yuri dari celah pintu yang terbuka setengah. Ia melihat Zacky berdiri sambil mengenakan jas. “Apa sudah kamu kasih jaketnya?” “Jaket?” Dahi Yuri berkerut. Sebelum menjelaskan, Anna menghela nafas pelan. “Zacky bilang dia ke sini mau jemput jaketnya, makanya Mami suruh ke kamar kamu. Mami sudah cuci bersih jaket itu dan taruh di lemari kamu. Kalau sudah kasih ke dia, Mami tunggu di meja makan. Mami sudah siapin makanan buat kalian. Ok?” Melihat anggukan Yuri lalu beranjak menuju meja makan yang berada di dekat dapur. “Ok, Mi.” Setengah berteriak, menoleh ke belakang melirik Zacky berjalan mendekat. “Kenapa kamu enggak bilang dari tadi kalau kamu …,” Ia berjalan menuju lemari pakaian, mengambil jaket kulit yang sudah terlipat rapi. “Mau jemput ini.” Memperlihatkan jaket Zacky. “Taruh di sini dulu,” sahut Zacky cepat. “Aku lapar.” Meninggalkan Yuri keluar kamar dan berjalan menuju ke arah dapur dengan langkah panjang. Mulut Yuri ternganga. “Apa? Lapar?” Yuri terdiam sejenak, sangat jelas dalam ingatannya bahwa tidak ada satu jam yang lalu mereka baru saja makan siang di restoran siap saji. Ia ingat benar makanan yang mereka santap adalah paket ukuran combo. Potongan ayam ukuran besar yang dilengkapi dengan nasi, cream soup yang terpisah dan segelas minuman soda. Namun, aroma ikan asin masakan Anna berhasil menggugah selera dan langkah Yuri untuk menyusul Zacky ke dapur. Tiba di dapur, alangkah terkejutnya Yuri melihat Zaki sudah menyantap piring yang sudah teriisi dengan nasi, ikan asin, sambal terasi dan tak jauh terdapat semangkuk sayur asem. Zacky menyantapnya dengan lahap tidak seperti saat berada di restoran saji. Ia terlihat seperti orang yang tidak makan selama berhari-hari. Entah karena masakan Anna yang terasa lezat atau ini pertama kalinya menyantap menu makanan sederhana yang biasa Yuri santap. Namun, melihat Zacky yang makan tergesa-gesa mengunggah Yuri untuk makan dengan menu yang sama. “Tempenya juga dimakan, Zack.” Anna menyodorkan sepiring tempe goreng. “Makan yang banyak ya. Tante, tinggal dulu nih mau ke rumah bu RT.” Hanya sebuah alasan agar Zacky tidak canggung menghabiskan makanan yang sudah ia hidangkan. “Baik, Tante.” Tanpa ragu Zacky mengambil satu potong tempe lalu makan bersamaan dengan nasi dan lauk yang lain. Keringatnya mengalir dari dahi merasakan pedasnya sambal terasi, tapi tidak mengurangi nafsu makan Zacky yang terus menyuap mulutnya tanpa henti. Anna pergi meninggalkan mereka, ia cukup senang bisa mengetahui dan memberi makan Zacky. Ia tahu Yuri anak yang periang dan pintar bergaul, tapi Yuri tidak pernah memiliki kawan akrab anak laki-laki apalagi Zacky terlihat berbeda. Anak laki-laki itu sopan dan bersikap apa adanya. Dan, meninggalkan mereka adalah solusi terbaik. Bagi Yuri, Zacky tidak berbeda dan memicu kepalanya menggeleng dan berdecak. “Apa kamu belum kenyang makan di restoran tadi?” Tangannya menuang nasi ke atas piring begitu juga dengan berbagai jenis lauk yang ada di atas meja, meski hanya sayur asem, ikan asin, sambal terasi, tempe goreng, kerupuk dan beberapa potongan buah yang berada di dalam dua mangkuk sebagai desert. Ia melirik Zacky yang sudah menghabiskan nasinya dalam hitungan beberapa menit saja. Zacky menyudahi makannya, melirik Yuri yang mengunyah dan menatapnya sejak tadi. “Junk Food enggak pernah buat aku kenyang, tapi masakan ibu kamu memang enak.” Ia memuji dengan kilau matanya yang tulus. “Belum pernah aku makan nasi selahap ini.” Dan antusias menceritakan apa yang sudah ia rasa. Makanan lezat dan pelayanan baik dari Anna sebagai tamu. “Oh ya?” Dahi Yuri berkerut, setengah tidak percaya. “Apa masakan ibu kamu enggak enak?” Tertawa kecil melirik Zacky yang reflek terdiam. Apa aku sudah salah bicara? Apa ibunya enggak pintar masak? Melihat raut wajah dan kilau mata Zacky yang tadinya terlihat bahagia kini berganti menjadi muram. Merasa sudah menyinggung Zacky, Yuri berdehem. “Cobain ini.” Menyodori semangkuk sop buah. “Biar kamu enggak sembelit.” Mencoba mengalihkan pembicaraan, tapi Zacky menggeleng. Ia memilih bangkit dan berjalan menuju pintu halaman samping yang terdapat dua kursi rotan  di sana. “Sepertinya aku sudah buat dia marah.” Yuri menyudahi makannya dan masih menyisakan nasi dan lauk di atas piring. Ia bangkit dan merapikan meja makan seperti yang biasa ia lakukan bersama Anna setiap kali selesai makan. Aroma rokok Zacky menyebar hingga ke dapur, Yuri tahu Zacky duduk di sana sambil menikmati kebiasaan buruknya sebagai pelajar. “Ini.” Yuri menaruh jaket kulit yang berwarna hitam dan sudah terlipat rapi dan wangi itu di dalam paper bag yang ia taruh di atas meja. “Aku sudah kerjain apa yang kamu mau. Ini terakhir kalinya kamu nyuruh-nyuruh aku.” Menggeser kursi di samping meja lalu duduk menatap Zacky membuat gelembung dari asap rokok. “Siapa bilang?” Zacky menoleh dan menatapnya serius. Bola matanya yang berwarna coklat terkena bias matahari, begitu juga rambutnya yang kecoklatan. Ia terlihat tampan dan sempurna. Tapi tidak dengan ucapannya yang membuat kedua mata Yuri membulat. “Kamu pikir hanya itu yang harus kamu kerjain?” Kaget? Tentu saja. Pikir Yuri itulah pertama dan terakhir kalinya Zacky memberinya perintah sebagai babu, tapi ternyata ia salah. “Maksud kamu?” Kali ini Yuri meminta penjelasan dan kepastian tentang ‘hubungan’ mereka. “Kamu menyuruh aku ngerjain yang lain.” Anggukkan kepala Zacky menjadi awal jawaban Yuri. “Yup. Kamu harus kerjain semua perintah aku karena kamu …,” Senyumnya mengembang bersamaan dengan tatapannya yang tajam. “Milikku.” Tawa Yuri pecah mendengar kalimat yang sering Zacky lontarkan padanya hanya untuk memastikan hubungan mereka. Ia tidak menerima hubungan itu sekarang. Ia sudah muak harus berurusan dengan Zacky yang hanya mengundang cewek-cewek di sekolahnya memusuhi dengan alasan dirinya dekat dengan Zacky. Ia ingin memiliki kawan dekat seperti cewek lainnya, seperti saat SMP dulu. “Oh ya?” Yuri bangkit yang tak lama Zacky melangkah mendekat dan berdiri tepat di depannya, memaksa Yuri menengadahkan kepala untuk melihat bola mata coklat Zacky. “Bagaimana dengan pacar kamu? Apa itu tetap berlaku? Bagaimana kalau dia marah? Lagi pula aku juga sudah punya pacar.”  “Yoga? Cowok lembek itu?” Sebelah sudut bibirnya terangkat ke atas lalu mendengus dan tertawa kecil. “Aku kasih tahu ke kamu, kalau saat ini aku enggak punya pacar dan aku …,” Lagi-lagi Zacky menatap tajam Yuri seakan ingin melumatnya hidup-hidup. Ia pun melanjutkan ucapannya lagi tanpa senyum. “Tidak percaya kamu pacaran sama Yoga. Jadi mulai detik ini …,” Ia mendekatkan wajahnya dan Yuri bisa mencium jelas aroma rokok itu dari embusan nafas dan mulutnya. “Kamu jadi pacar aku.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN