Derap langkah kaki seorang pria terhenti tepat di depan ruangan yang bertuliskan ‘Tata Usaha’. Pria muda yang memiliki perawakan sedang dan berwajah standar itu merogoh ponsel dari saku celana lalu bicara, “Saya akan kirim foto anak perempuan itu nanti. Mereka baru saja pergi menaiki motor dari sini.”
Tak lama, ia mendengar balasan dari lawan bicaranya yang mengharuskannya mengangguk lalu dilanjutkan dengan mengakhiri perbincangan singkat mereka.
Pria itu memasuki ruangan, ia meraih mouse lalu menggeser kursor yang berkedip-kedip di layar komputer lalu mengetik sebuah nama. Senyumnya pun mengembang, kilau matanya menunjukkan banyak makna. Terutama sebuah kebahagiaan.
Deruman motor Zacky perlahan terhenti tepat di depan tempat yang didasari warna hijau dan terdapat gambar mangkuk dan ular atau lebih dikenal dengan Apotek.
Kedatangan mereka di sana mengundang sejuta tanya dan kerutan dahi Yuri, terlebih lagi Zacky mengajaknya turun dari motor. “Untuk apa kita ke sini?” Yuri tak sanggup menahan pertanyaan yang kini bergelayut di pikirannya sejak mendengar kata ‘hotel’ terluncur dari mulut Zacky dan membuatnya berprasangka buruk.
Kedua tangan Zacky membuka helm, ia menyugar rambutnya yang sedikit basah sambil menoleh melihat Yuri yang terdiam menanti jawaban. “Katanya kamu lagi sakit?” Zacky memastikan ucapan Yoga beberapa menit yang lalu, tapi ia berkeyakinan bahwa Yuri baik-baik saja. Itu terbukti berhasil mencubit pinggangnya kuat-kuat dan menyebabkan bekas merah.
Mati aku!
Sejujurnya Yuri bingung untuk menjawab. Ia merasa sehat, hanya sedikit lemah karena tubuhnya memang belum pulih sepenuhnya. Namun, jika menjawab ‘sehat’, Zacky akan mengusiknya dengan cara lain. Ia pun terpaksa meneruskan dustanya lagi. “Ya, kepalaku sedikit pusing dan perutku sakit.” Lalu turun dari motor itu dengan hati-hati dan memasang wajah tak bersemangat.
“Ayo.” Zacky turun menarik tangan Yuri memasuki Apotek.
Tiba di dalam, Yuri menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia bingung memilih obat dan memastikan Zacky dirinya sakit, hingga akhirnya seorang Apoteker menyapanya ramah sambil tersenyum.
“Mau cari obat apa, Mbak?” Wanita itu ramah menyapa Yuri yang tersenyum kecut.
Langkah kecil Yuri mendekati si Apoteker lalu bicara sangat pelan walau sempat melirik Zacky yang sibuk berdiri di atas timbangan.
Si Apoteker memberikan dua botol ‘obat’ sesuai yang Yuri pinta. Saat Yuri akan membayarnya, Zacky menyerobot sambil mengeluarkan dompet. “Berapa, Mbak?” Berniat membayar tapi Yuri mencegah.
“Kamu apaan sih? Aku masih ada uang kok buat bayar.” Melepaskan sebelah tali ransel dan membuatnya terkulai ke sisi berlawanan lalu membuka resleting untuk mengambil dompet. Sayangnya Zacky sudah terlebih dahulu membayar sebelum ia menyodori uang pecahan sepuluh ribu sebanyak dua lembar.
“Sudah aku bayar.” Zacky menaruh lagi dompetnya di saku celana celananya cepat, ia meraih tangan Yuri lagi dan kembali melangkah menuju pintu.
“Tunggu.” Yuri memaksa Zacky menoleh kebelakang meliriknya dan menghentikan langkahnya. “Aku enggak mau punya hutang?” Membuka dompetnya lagi lalu menyodori uang lembaran tadi. “Ini--”
“Enggak usah.” Dengan lugas Zacky mendorong sodoran tangan Yuri. “Kamu enggak perlu bayar, cukup temani aku sekarang.”
“Apa?” Kaki Yuri kembali melangkah mengikuti Zacky yang membuka lebar pintu kaca itu dan membiarkannya keluar lebih dulu. “Kalau kamu bawa aku ke hotel, kamu salah orang, Mister.” Melihat Zacky bergegas menunggangi motor dan mengenakan helm. “Aku bukan cewek murahan yang bisa kamu tidurin karena punya hutang. Lagian kita masih sekolah, aku enggak mau hamil terus...”
“Sudah ngomongnya?” Zacky menyela dengan tangan menjulurkan helm. “Ikut aku sekarang, nanti kamu juga tahu.”
Untuk sejenak Yuri terdiam. Satu sisi ia enggan mengikuti Zacky dan takut apa yang ada dipikirannya menjadi kenyataan. Namun, di sisi lain ia penasaran.
“Ayo naik.” Zacky mendorong helm dari tangannya dan memaksa Yuri menerima.
Yuri mendengus, menatap sinis Zacky dan terpaksa mengenakan helm itu lagi. “Iya, iya.” Menaiki dan duduk dengan hati-hati.
“Pegangan.” Sekali lagi Zacky mengingatkan Yuri, tapi kali ini kedua tangan Yuri cekatan memegang di kedua sisi pinggang Zacky. “Good.” senyumnya mengembang lalu melajukan motornya menuju tempat yang tidak Yuri ketahui tujuannya.
Selama perjalanan, Yuri melihat baik-baik rute jalan yang mereka lintasi. Ia hafal benar Zacky membawanya berseberangan dari arah ke rumahnya. Setelah lima belas menit perjalanan dan terjebak macet, perjalanan mereka terhenti di restoran cepat saji yang menyediakan makanan aneka ayam goreng.
Setelah memarkirkan motor dan turun, Zacky melirik Yuri yang sejak tadi tidak banyak bicara. “Kenapa kaget aku bawa ke sini? Kamu lapar ‘kan?”
“Ya.” Yuri menjawab singkat sambil membuang wajah.
Melihat respon Yuri, Zacky setengah tertawa. “Kamu pikir aku mau nidurin cewek lagi haid?” Ia tertawa dengan kedua kaki melangkah menuju pintu masuk.
“Haid?” Yuri mengernyit dan teringat dua botol minuman kesehatan yang ia beli tadi. “Tunggu!”
❤️❤️❤️
“Menjengkelkan!” Keluhan itu terlontar dari mulut gadis muda yang usianya sekitar tujuh belas tahun setelah lima menit lamanya mobil mewah yang ia naiki terjebak kemacetan di kota super sibuk Jakarta. Ia mengempas kasar punggungnya di jok mobil seiring melirik wanita dewasa yang sejak tadi duduk dan tersenyum tipis mendengar keluhannya. “Mama lihat? Ini yang kubenci tinggal di sini. Macet, polusi dan mereka….” Memperlihatkan ketidak sukaannya dari wajahnya. “Norak.” Lalu memutar kedua bola matanya dan kembali memalingkan wajahnya ke samping jendela mobil.
“Tania, Mama paham kamu betah tinggal di Ontario, tapi papa membutuhkan kamu di sini.” Wanita dewasa yang berpenampilan elegan, mengenakan midi dress dari brand ternama dan memiliki wajah cantik itu mencoba menenangkan gadis yang tiada lain anaknya semata wayang. Tangannya mengusap lembut rambut Tania. “Kamu enggak mau kehilangan hak kamu bukan? Apa kamu mau Deva dan Mayang jadi penerus perusahaan papa?” Sebelah sudut alisnya naik, menanti jawaban dari gadis cantik berambut sebahu yang rambutnya diwarnai dengan warna coklat terang.
Sudut kanan bibir seksi Tania terangkat. “Enggak mau lah, Ma. Meskipun Mama cuma istri kedua, aku berhak dapat harta papa. Lagi pula cuma Eva Maria, istri yang papa cinta.” Senyumnya mengembang melirik Eva, wanita yang sudah melahirkan dan menjadi ibu yang baik selama tujuh belas tahun ini. “Tapi, bisa enggak aku homeschooling aja?” Tatapannya meminta iba dan berharap Eva mengatakan ‘baiklah’.
Sepertinya harapan Tania musnah setelah melihat gelengan kepala Eva sambil tersenyum lalu mengatakan, “Tidak, Sayang. Kamu butuh teman di sini. Seenggaknya kamu enggak bosan di rumah terus, ok?”
“‘But, Ma...” Tania tidak setuju. “Aku enggak suka sekolah di sini. Mereka pasti bully aku, bilang aku seperti ini, itu, bla bla bla.” Memberi alasan masuk akal, tapi Eva tidak setuju.
“Itu enggak benar, Sayang.” Sangat jelas Eva tidak setuju. “Kamu enggak perlu khawatir. Mama sudah masukin kamu di sekolah bagus dan isinya kumpulan orang kaya kayak kita. Dan, Mama pastiin kamu aman sekolah di sana.” Meyakini pilihannya tepat seperti yang sudah direkomendasikan seseorang.
“Are you sure?” Tania masih ragu. Terakhir sekolah di Indonesia saat masih SD, lalu melanjutkannya di Ontario, tempat adik ayahnya tinggal.
Kepala Eva mengangguk. “Yes, I’m sure.”
Helaan nafas pelan terluncur dari hidung Tania. Jika Eva mengatakan seperti itu, ia yakin semua akan baik-baik saja. Berjalan seperti harapannya. “Ok, I’ll try.” Lalu menoleh ke arah samping jendela dan melihat sebuah motor sport terhenti. Sepasang anak sekolah yang mengendarai motor itu, mengenakan seragam sekolah yang berbeda dari seragam sekolah yang sejak tadi ia lihat. Terlihat bagus dan keren. Seperti seragam sekolah di Australia. Kemeja putih dilapisi jas berwarna biru navy dengan bawahan berwarna senada, tidak jauh berbeda dengan seragam yang ia kenakan selama sekolah di Kanada. Senyumnya mengembang lalu melirik Eva. “Bagaimana kalau aku sekolah di tempat mereka? Sepertinya menarik.”
❤️❤️❤️
“Thanks.” Yuri turun dari motor tepat di depan gerbang rumahnya yang sederhana. Rumah model minimalis yang memiliki tiga kamar itu berada tepat di sudut perumahan. Di bagian samping kanan rumah terdapat jendela dari kamar Yuri, tempat pertama Yuri melihat Zacky kemarin. Ia tidak meminta Zacky mengantarkannya ke rumah, tapi Zacky sedikit memaksa dan mengancamnya dengan hukuman yang lain. Tak ingin memiliki banyak masalah, Yuri terpaksa mengikuti laju motor Zacky yang berhasil membawanya pulang.
Tangan Yuri menyodorkan helm. “Thanks sudah nganterin aku pulang, beliin obat dan...”
“Apa kamu keberatan kalau aku masuk ke rumah kamu?” sela Zacky yang tidak tertarik mendengar kata ‘terima kasih’ Yuri saat ini.
Dengan naif Yuri balik bertanya. "Ngapain?”
Zacky turun dari motor, membuka helm. "Ya mainlah. Enggak boleh?" Berharap Yuri mengerti.
Bukan Yuri tidak mengerti, ia tidak pernah membawa pulang teman cowok ke rumahnya. Ia takut Anna memarahinya karena takut menganggapnya genit seperti teman SMP nya yang sudah pernah pacaran. Ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah susah payah memasukkan dirinya di sekolah mahal hanya karena ingin senasib seperti mereka. Menjadi siswi di sekolah yang sama. Mengenai keinginan Zacky yang bersikeras ingin singgah di rumahnya membuatnya bimbang, tapi tidak setelah Anna membuka pintu utama lalu tersenyum lebar.
"Yuri, kamu sudah pulang?" Anna menyapa ramah Yuri seperti biasanya, lebih tepatnya kali ini terlalu berlebihan. Ia bergegas berjalan menuju gerbang pagar yang tingginya seleher. "Wah bawa teman ya? Kok enggak disuruh masuk sih?" Membuka grendel pagar lalu menggesernya sepanjang satu meter.
"Zacky lagi buru-buru, Mi. Dia harus pulang sekarang," balas Yuri sambil membuang wajah.
Zacky berdehem, senyumnya mengembang lalu menyalami Anna dan menundukkan kepalanya sebentar. "Siang, Tante. Saya Zacky."
Senyum Anna semakin lebar. "Oh Zacky namanya. Wah, kamu ganteng kayak papi nya Yuri." Mengatakannya sambil tertawa kecil lalu menepuk pelan bahu Zacky. "Tinggi dan kuat." Ia terkekeh melirik Yuri yang menggeleng dan bergumam.
"Mi, Please … Zacky ada urusan. Dia harus..."
"Motornya taruh di dalam aja." Anna menyela dan mengabaikan ucapan Yuri. Ia lebih fokus bicara pada Zacky. "Kebetulan Mami masak sayur asem sama ikan asin. Kamu harus cobain, dijamin ketagihan." Kembali terkekeh lalu menggeser gerbang pagar itu lagi. “Ayo masuk.”
Kedua mata Yuri berputar cepat. “Mami jengkelin.” Yuri melangkah masuk ke dalam rumah tanpa memperhatikan Zacky yang bergegas memasuki motor ke dalam teras.
Anna menepuk bahu Zacky lagi. "Enggak usah diambil hati, Yuri emang kayak gitu. Dia biasa dimanjain sama Papinya. Lagi pula, mungkin dia enggak enak sama Tante."
"Kenapa, Tante?" Zacky penasaran dan antusias mendengar cerita Anna yang nyerocos seperti ibu-ibu komplek pada umumnya.
Anna mendekati Zacky lalu menjinjit dan membisikkan ke telinga Zacky. "Karena kamu cowok pertama yang dia bawa ke rumah," bisiknya lalu tertawa. "Yuk, masuk. Mami siapin dulu makanan buat kalian."
"Ck,ck,ck." Yuri berdecak melihat mereka dari dalam. "Berani-beraninya Mami gosipin aku." Kepalanya menggeleng lalu berjalan menuju kamar sambil menggerutu. “Dasar Mami, enggak boleh lihat anaknya bawa teman cowok, langsung dikepoin!” Memasuki kamar lalu kedua tangannya melepas jas, mengempaskan tubuhnya di ranjang dengan kedua kaki terkulai ke bawah di tepinya. “Senangnya.” Kedua tangannya terentang di samping, matanya terpejam menikmati empuknya kasur setelah beberapa jam duduk menukik di motor membuat punggungnya lelah.
“Jadi ini kamar kamu?”
Kedua mata Yuri reflek terbuka, bangkit dan terduduk di tepi ranjang melihat Zacky masuk ke dalam kamar dengan sebelah sudut bibir terangkat lalu menutup pintu. “Kamu mau apa?” Memperhatikan langkah Zacky yang mendekat ke arahnya.
Zacky membuka jaket kulit di lanjuti dengan jas. “Karena kamu milik aku…,” Ia berdiri di depan Yuri, membungkukkan tubuhnya dan membuat Yuri memundurkan wajahnya ke belakang hingga membuatnya terbaring. “Kamar ini otomatis jadi kamarku juga, Yuri.”