2

875 Kata
"Ra, aku dapet voucher makan gratis buat dua orang di kafe Bless, lho! Makan bareng, yuk!" ajak Edgar untuk kedua kalinya. Acara menonton di boskop yang kemarin gagal. Maka ada cara lain, makan malam romantis adalah jalan ninjanya Edgar. Pokoknya dia harus berhasil kencan sama Ara kali ini. Nggak boleh gagal! "Wah, itu kan kafenya terkenal banget, Gar!" Gadis itu syukurlah selalu antusias kalau diajak Edgar. Kemungkinan Edgar ada peluang ini mah. "Yang penting, hayuk! Meluncurrr!" "Oke, ntar malem aku jemput ya, Ra." "Sip, Gar!" Semoga rencana jalan kali ini berhasil. Semoga ya, Gar! - Tok tok! Edgar berharap-harap cemas agar bisa jalan bareng Ara tanpa kakaknya yang galak itu. Cukup ke bioskop itu jadi yang pertama dan terakhirnya mereka jalan bertiga, jangan sampai terulang lagi. Bikin trauma aja. "APA!?" sentak Andrew waktu ngebuka pintu malah liat Edgar yang stay di sana, ngetok rumahnya. Edgar menggerutui nasib apesnya yang lagi-lagi dibukakan pintu sama Andrew, yang mana bukannya diberi sambutan yang manis—contohnya senyuman Ara kek—malah dapet bentakan maut dari maung kayak Andrew. Ngeri. "Eh? Ngh ... Ara-nya ada, Kak?" "Gak ada!" ujar Andrew ketus, Edgar sampai gemetaran di tempat ngedenger nada bicara Andrew yang judes. "T-tapi ...." "Gue bilang gak ada, ya nggak ada! Ngeyel banget, sih!" "Eh? Y-yaudah, Kak. A-aku pulang dulu, ya," pamit Edgar sambil berjalan menuruni tangga menuju garasi rumah Ara dengan langkah gontainya. "Tunggu!" panggil Andrew saat Edgar telah beranjak beberapa langkah darinya. Dan dengan kaki gemetaran, Edgar menoleh dengan gerakan slow motion-nya. "Iya, Kak?" "Lo mau ke mana?" "Pulang, Kak." "Temenin gue makan di kafe Bless! Mumpung gue ada voucher, nih!" Suatu mukjizat! Andrew yang galak malah nawarin ngajak Edgar makan bareng! Suatu keajaiban dari Tuhan! "T-tapi—" "MAU, NGGAK?!" "IYA, KAK!" - Gagal lagi. Sekarang, bukannya Edgar makan malem romantis berduaan sama Ara, ia malah makan berduaan dengan suasana mencekam dengan kakaknya Ara. Andrew. "Lo pesen apa?" tanya Andrew santai. Suatu keajaiban lagi! Andrew sudah ngomong dengan nada yang manusiawi, dia udah nggak ngebentak Edgar lagi. Edgar langsung pengen sujud syukur ngeliat Andrew yang sekarang. "Apa aja deh, Kak." "Nggak usah kayak cewek deh yang semuanya minta dipesenin! Lo mau makan apaan? Ntar kalo nggak cocok malah nggak dimakan!" Edgar langsung pengen mewek begitu ngeliat Kak Andrew kembali ke asal. Ternyata jinaknya cuma sebentar. "Eh—anu—" "Di sini nggak ngejual anu lo!" Ambigu lagi. Sangat ambigu. "Eh?" "Kalo gitu samain aja, Mas," pesan Andrew sama pelayan cowok yang nyatet pesanan mereka. Setelah pelayan nyebutin ulang pesenan mereka, pelayan itu pun izin buat ninggalin mereka berdua. "Udah berapa lama lo kenal Ara?" "Dari SMP, Kak," bales Edgar kalem. "Lo suka sama Ara?" "Eh?" "Nggak usah ah-eh-ah-eh, gue nanya, lo suka sama Ara?" Masih mending ah-eh-ah-eh. Daripada ah ah ah ah? Skip. "I-iya, Kak." "Lo tau? Ara punya mantan yang masih dia sayang banget. Mereka putus bukan karena nggak cinta, apalagi selingkuh. Mereka putus karena mereka nggak kuat LDR. Mantannya ganteng," papar Andrew sekalian memanas-manasi Edgar. "Lo nggak bakalan ada harapan." "KOK GITU, SIH?!" Edgar berteriak protes sampai seluruh mata pengunjung melihat ke arah meja mereka. Andrew melotot ganas waktu sadar kalo suara Edgar mengundang perhatian banyak orang. "Jangan kenceng-kenceng, bego!" "Maaf," balas Edgar sambil menunduk. Bibirnya mengerucut lucu dengan kacamata bulatnya yang melorot hingga hampir ke ujung hidung bangirnya. Ngeliat hal tersebut, Andrew mulai sadar akan betapa imutnya wajah Edgar kali ini. "Tapi ... um ... Ara belom bisa move on sampe sekarang, Kak?" "Nggak tau deh," sahut Andrew sambil mengangkat kedua bahunya. Edgar hendak melanjutkan obrolan seputar Ara dan mantannya ini, "Tapi, Kak—" "Maaf, ini pesanannya." Namun, percakapan mereka harus terpotong saat pelayan wanita membawakan pesanan mereka dan mereka pun memulai menyantap hidangan mereka di dalam keheningan. - "Uhuk!" Edgar batuk-batuk. Parah. "Lo nggak pa-pa?" tanya Andrew saat melirik cemas ke arah Edgar yang batuk-batuk sepulang dari kafe tadi. "N-nggak tau nih—uhuk!—aku ngerasa tenggorokan aku—uhuk!—panas." "Pinggirin mobilnya," pinta Andrew. Tanpa menunggu komando lagi, Edgar segera menepikan mobilnya. Andrew langsung turun dan secara tiba-tiba ngebuka pintu mobil yang diduduki Edgar. "Minggir." "Eh?" Edgar heran dan langsung memekik layaknya perempuan saat Andrew malah menggendong tubuhnya ala bridal dan memindahkannya ke tempat duduk penumpang di samping tempat duduk kemudi. Tanpa menunggu waktu lama, Andrew langsung duduk dan mulai melajukan mobil Edgar dengan kecepatan sedang. "Uhuk! P-panashh ...," desis Edgar saat merasakan tenggorokannya serasa terbakar. "Apanya yang panas?" "Tenggorokan—" "Muka lo juga merah. Lo alergi?" "N-nggak ta—uhuk!" "Lo alergi ayam? Telur?" Edgar menggeleng. Andrew lega seketika. "Seafood." Andrew langsung mengumpat saat ia tahu sumber batuk-batuknya Edgar sedari tadi. Ia salah memesankan makanan berarti. "Kenapa lo nggak bilang!?" "Ma—uhuk!—af ... ah, sesak ...." Kak Andrew langsung menepikan mobil Edgar lagi. "Lo ada obat?" "Nggak ada ...." Karena pikiran Andrew sudah buntu dan panik sudah menderanya saat melihat Edgar megap-megap kehabisan napas .... ... Andrew pun langsung memajukan wajahnya, menekan rahang Edgar agar mulutnya terbuka. Menyatukan kedua belah bibir keduanya, berusaha menyalurkan napasnya. Membagi embusan napas dengan Edgar Ananda. Edgar langsung melotot saat merasakan udara dingin ditiupkan ke dalam bibirnya, memasuki tenggorokannya yang panas dan langsung berubah menjadi hangat-hangat sejuk. Seolah dia baru saja memakan sebuah permen mint. Tunggu, kok jadi bahas dingin di tenggorokannya?! Harusnya kan tentang ciuman— —Oh, tidak! Ciuman pertamanya! • • • • • —Bersambung—
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN