BAB 2

1437 Kata
Matahari pagi sudah memancarkan sinarnya. Seorang pria dengan tubuh yang hanya ditutupi selimut masih setia berada di alam mimpi. Sedangkan sang gadis, dia menangis pelan dengan posisi yang tertidur membelakangi sang pria. Gadis itu tidak berpakaian sehelai pun. Pakaiannya sudah tidak bisa lagi dikenakan karena sudah di robek oleh Fajar. Tubuhnya hanya berbungkus selimut tebal yang ditarik sampai menutupi dadanya. Rania meratapi nasibnya. Sekarang dirinya sudah tidak berharga lagi. Ia kotor. “Eungh ....” Fajar melenguh. Mendengar suara tangisan itu membuat tidurnya terusik. Membuka mata, sontak pria berumur 27 tahun itu dikagetkan dengan seorang gadis yang tidur di sampingnya. Pria itu semakin terkejut melihat dirinya yang juga bertelanjang, hanya selimut yang menutupi tubuh. “Siapa kamu? Kenapa kamu bisa berada di apartemen saya?” tanya Fajar dengan raut wajah pucat. Rania hanya diam dan menangis dengan posisi yang masih memunggungi Fajar. Fajar bangkit dari tempat tidur lalu memungut bajunya yang berceceran di lantai. Secepat kilat pria itu berlari ke kamar mandi untuk memakai pakaiannya. Selesai mengenakan pakaian, Fajar keluar dari kamar mandi. Ia melihat baju gadis yang tidur dengannya robek dan berceceran di lantai. Fajar berjalan menuju lemari, mengambil gamis lalu menaruhnya di tempat tidur. “Kamu pakai gamis itu. Saya tunggu di luar.” Pria berjakun itu keluar dari kamar dan duduk di sofa dengan hati yang gelisah. Bagaimana kalau keluarga dan tunangannya tahu ia tidur bersama perempuan lain? Mereka pasti akan marah besar. Fajar mencoba mengingat kejadian semalam. Setelah bertengkar dengan papanya kemaren Fajar pergi ke bar untuk meluapkan emosinya. Setelah dari bar, Fajar tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke apartemen. Sontak Fajar memukul kepalanya sendiri. Ia dapat mengingat kalau ia sendiri yang telah membawa gadis itu ke apartemennya. Namun, Fajar tidak bisa mengingat wajah gadis itu. Seketika Fajar menyesali perbuatannya. Seharusnya semalam ia tidak minum alkohol hingga hilang kesadaran. Mungkin ia tidak akan melakukan hal yang di luar batas. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Pandangan Fajar beralih menatap gadis yang baru saja keluar dari kamarnya dengan memakai gamis dan rambut yang sedikit acak-acakan. Memang sedikit aneh, memakai gamis tetapi tidak memakai hijab. Fajar dibuat terkejut melihat wajah gadis itu. Pria itu lantas berdiri, matanya membola, mulutnya terbuka. Ia merasa tidak percaya jika gadis yang ia tiduri adalah anak magang di perusahaannya sendiri. Rania berjalan menghampiri Fajar dengan tatapan kosong. Air mata gadis itu masih menganak sungai. "Dengar, saya tidak ingin siapa pun tahu tentang kejadian ini. Kamu lupakan apa yang telah terjadi semalam. Anggap tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita," suruh Fajar. PLAK! Rania langsung melayangkan tamparan ke wajah Fajar. "b******k lo! Setelah lo lecehin gue sekarang lo nyuruh gue buat lupain kejadian semalam! Gue bukan perempuan murahan yang bisa lo mainin seenaknya. Dimana tanggung jawab lo sebagai cowok?!" bentak Rania. Ia tidak percaya sikap Fajar sebejat ini. Selama ini ia telah salah menilai Fajar. Ia hanya menilai Fajar dari tampilan luarnya, tetapi tidak tahu bagaimana sebenarnya sikap asli pria itu. Kekaguman Rania selama ini pada Fajar, seketika berubah menjadi benci setelah pria itu merenggut kehormatannya. Ia menyesal kenapa pernah mengagumi Fajar dan berharap pria itu menjadi miliknya. Andai waktu bisa diputar, ia ingin menarik kembali perkataannya dan tidak akan mengagumi pria itu lagi. "Fajar!" teriak seseorang geram dengan raut wajah yang merah padam. Dia sudah mendengar percakapan antara Rania dan Fajar. Orang itu langsung melayangkan pukulan tepat di wajah Fajar. "Papa malu! Papa merasa gagal mendidik kamu. Papa nggak nyangka kamu sebajat ini. Sebentar lagi kamu akan menikah, tetapi kamu malah berbuat tidak senonoh dengan perempuan lain!" bentak Pak Zein---papa Fajar. Pagi-pagi sekali pria itu sudah keluar dari rumahnya untuk mencari putranya. Semalam ia mendapat telepon dari seseorang kalau Fajar pergi ke bar. Pak Zein merasa sangat marah. Semalam ia begadang, menunggu putranya pulang, tetapi putranya itu tidak juga pulang ke ruamah. Makanya pagi ini Pak Zein memutuskan untuk mencari Fajar ke apartemennya. Untuk saja ia tahu pin apartemen putranya itu, sehingga ia bisa bebas masuk. Saat sampai di apartement ia dikagetkan mendengar apa yang telah dilakukan anak sulungnya. "Rencana pernikahan kamu dan Anisa batal. Kamu harus tanggung jawab dengan menikahi perempuan ini!" tegas Pak Zein sambil menunjuk ke arah Rania. "Gak! Pernikahan Fajar dan Anisa tidak boleh batal. Fajar cinta sama Anisa, Pah," sanggah Fajar. Plak! Pak Zein kembali menampar Fajar. Emosi pria paruh baya itu menggebu-gebu. "Lalu bagaimana nasib perempuan yang sudah kamu tiduri? Papa gak pernah ngajarin kamu untuk jadi laki-laki pengecut. Kamu harus tanggung jawab atau saya tidak akan menganggap kamu sebagai anak saya lagi," tekan Pak Zein. Tubuh Fajar terdiam membeku mendengar penuturan papanya. Rania yang sudah tidak kuat lagi berada di tempat itu, memilih untuk pergi dengan keadaan yang masih menangis. Gadis berumur 23 tahun itu berlari menuju mobil dan segera pulang. Meninggalkan Fajar yang masih dimarahi papanya. *** Rania memarkirkan mobil di garasi rumahnya. Buru-buru gadis itu memasuki rumah. "Dari mana kamu?" tanya seseorang sedikit berteriak. Rania berhenti melangkah dan melihat papa serta mama tirinya duduk di sofa. Ia baru menyadari jika mereka ada di sana. Akan tetapi, di mana kakak tirinya? Rania tidak melihat keberadaan perempuan yang dua tahun lebih tua darinya itu. Rania hanya diam, tak berani menjawab pertanyaan sang papa. Ia takut papanya marah besar jika tahu kejadian yang telah menimpanya semalam. Di lain sisi ia juga malas berbicara dengan papa, apalagi ibu tirinya. Rania benci mereka. Selama ini papa Rania tinggal di Perancis bersama istri dan kakak tirinya. Walau begitu, mereka juga sering pulang ke Indonesia. Papa Rania memang punya usaha di sana. Dia membuka restoran kuliner khas Indonesia. Sebenarnya restoran papa Rania juga membuka cabang di Indonesia, tetapi restoran itu dihandle oleh manegernya. Semanjak mama Rania meninggal, Pak Heru jadi sering bolak-balik keluar negeri. Pria itu selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaan agar ia tidak teringat dengan almarhum istri pertamanya. Karena sibuk bekerja pria itu jadi lupa kalau ada putri yang sangat membutuhkan kasih sayangnya. Selama tidak dirumah, putrinya ditinggal bersama Bi Aci---pembantu yang sudah bertahun-tahun bekerja dirumahnya. Rania kesepian. Dirinya ditinggal oleh sang mama saat masih kelas enam SD. Sang Papa yang ia harapkan untuk menghibur dirinya, justru selalu sibuk dengan pekerjaannya. Hidup Rania semakin menderita ketika papanya memutuskan untuk menikah lagi, saat itu Rania masih duduk di bangku 3 SMA. Mama dan kakak tirinya tidak menyukai Rania, mereka selalu mencari kesalahan Rania di depan sang papa. Itulah sebabnya mengapa Rania tidak mau tinggal di Perancis bersama papanya karena ia tidak kuat jika serumah dengan mama dan kakak tirinya. Rania lebih baik tinggal bersama Bi Aci di Indonesia. "Papa gak perlu tahu Rania dari mana. Lagian sejak kapan Papa peduli sama Rania?" "Jaga bicara kamu! Jangan bikin Papa tambah marah. Semalam Papa pulang, tetapi kamu gak ada di rumah. Anak macam apa kamu? Seharusnya orang tua pulang itu kamu sambut, bukan malah kabur dari rumah!" "Leher kamu kenapa?" Bu Erika mulai bersuara ketika melihat ada banyak tanda merah di leher putri tirinya itu. Penampilannya juga acak-acakan. Bukannya menjawab, Rania malah berlari ke lantai atas, menuju ke kamarnya. Wajahnya seketika pucat ketika mama tirinya melihat tanda merah di lehernya. "Rania, Papa belum selesai bicara!" teriak Pak Heru lalu mengejar Rania menuju kamar dan diikuti oleh Bu Erika. Rania mengunci pintu kamar agar papanya tidak bisa masuk. Gadis bernama lengkap Rania Kazella itu duduk di lantai sambil memeluk lutut. Punggungnya bersandar ke tempat tidur. Air matanya mengalir deras dari pelupuk mata "Rania, buka pintunya!" teriak Pak Heru sambil menggedor pintu kamar. Jantung pria berumur 49 tahun itu kini berdegup kencang, takut kalau semalam putrinya melakukan hal yang tidak-tidak. Rania tidak menghiraukan teriakan papanya yang berteriak-teriak di depan kamarnya. Gadis itu duduk setia di tempatnya. "Bi Aci!" Pak Heru memanggil pembantunya. Tak lama kemudian Bi Aca pun datang. "Mana kunci kamar Rania?" pinta Pak Heru. "Sebentar, Tuan. Bibi ambil dulu." Bi Aci segera mengambil kunci serep kamar Rania. Tak lama kemudian, wanita itu kembali lagi dan menyerahkan kunci tersebut pada Pak Heru. Pak Heru dan Bu Erika langsung masuk ke kamar Rania. Sedangkan Bi Aci, kembali lagi ke lantai bawah untuk menyelesaikan pekerjaannya. Melihat papa dan mama tirinyanya datang, Rania lalu berdiri. "Jawab pertanyaan Papa. Semalam kamu ke mana?" tanya Pak Heru tegas. Rania hanya diam dengan kepala yang menunduk. Pundak gadis itu bergetar karena menangis. "Kenapa kamu diam? Ayo jawab. Atau jangan-jangan ka---" "Tante, cukup!" teriak Rania yang membuat perkataan Bu Erika terpotong. Rania tahu ke mana arah pembicaraan ibu tirinya itu. "Rania, jujur sama Papa. Apa yang terjadi?" Kali ini suara Pak Heru terdengan pelan. Rania menangis tersedu-sedu sambil menatap papanya sendu. Mulutnya tak berani untuk menjawab pertanyaan sang papa. Entah bagaimana nanti reaksi papanya saat tahu ia diperk*sa oleh bosnya. "Rania, jawab!" "Rania diperkosa, Pah." Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN