BAB 3

1057 Kata
Pak Heru dan Bu Erika langsung terkejut mendengar penuturan Rania. Badan Pak Heru terasa lemas, tidak menyangka dengan apa yang terjadi pada putrinya itu. Plak! Tamparan mendarat di pipi mulus Rania. Pak Heru sangat marah sehingga tega menampar putri semata wayangnya. Ia tidak tahu siapa yang harus disalahkan, dirinya yang tidak bisa menjaga anak? Atau anaknya yang tidak bisa menjaga kehormatannya? "Kamu sudah bikin Papa malu! Ini akibatnya jika kamu sering membantah perkataan Papa. Dari awal Papa gak setuju kamu tinggal di Indonesia, Papa gak yakin Bi Aci sanggup menjaga kamu. Andai saja kamu ikut Papa ke Prancis, Papa pasti bisa menjaga kamu dan ini semua tidak akan terjadi. Namun, kamu ngebantah dan kekeuh ingin tinggal di Indonesia. Sekarang lihat akibatnya! Harga diri kamu sudah tidak. Papa Malu, Rania!" bentak Pak Heru. Setelah apa yang ia dengar dari mulut putrinya, rasanya ia sulit untuk bernapas. Rania hanya diam mendengar bentakan papanya sambil menangis dengan kepala tertunduk. "Kita salah apa, Rania? Karena sikap pembangkang kamu sekarang lihat akibatnya!" Bu Erika menghembuskan napas kasar. Bagaimana jika orang-orang tahu Rania dinodai oleh laki-laki lain? Bu Erika dan suaminya pasti dianggap tidak becus menjaga anak. "Lihat Papa kamu!" teriak Bu Erika sambil menunjuk suaminya. "Kamu gak tahu bagaimana perjuangannya selama ini cari uang untuk membesarkan kamu, tetapi sekarang apa balasan yang kamu berikan. Kamu cuma bisa bikin malu keluarga!" "Cukup!" teriak Rania. Ia tidak kuat lagi mendengar perkataan ibu tirinya. Setiap papa dan ibu tirinya marah, Rania selalu dibilang anak yang membuat malu keluarga. "Iya. Rania cuma bikin malu keluarga. Rania pembangkang. Rania gak tahu balas budi. Rania cuma bisa nyusahin Papa!" teriak Rania frustasi. "Kata-kata itu yang selalu kalian lontarkan ketika Rania melakukan kesalahan. Walaupun masalahnya kecil. Kalian cuma bisa nyalahin Rania, tetapi kalian gak tahu gimana penderitaan Rania selama ini." "Rania menderita, Pah!" adu Rania pada papanya. "Semenjak Mama meninggal Papa gak pernah peduli atau perhatiin Rania. Papa hanya sibuk sama pekerjaan dan jarang ada waktu untuk Rania. Apalagi semenjak Papa nikah sama Tante Erika, Rania merasa gak akan pernah punya kebahagian lagi. Papa selalu dengerin apa yang Tante Erika katakan, dia bohong pun Papa percaya. Padahal dia sengaja ngomong yang buruk-buruk tentang Rania supaya Papa benci sama Rania." "Heh, kamu jangan fitnah saya, ya," sanggah Bu Erika. "Sudah!" teriak Pak Heru, merasa muak mendengar keributan antara anak dan istrinya. Pak Heru memegang kedua pundak Rania dan menatap putrinya itu lekat. "Jujur sama Papa. Siapa yang sudah m*****i kamu?" Dengan bibir bergetar, Rania menjawab pertanyaan papanya, "Di--diektur di perusahaan Rania magang." "Di mana alamat pria itu?" tanya Pak Heru dengan tangan mengepal kuat. Matanya sedikit melotot. Rania menyebutkan alamat rumah Fajar. Setelah itu, Pak Heru berjalan keluar dari rumah dengan langkah terburu-buru. Pria itu memasuki mobil dan melajukannya dengan kecepatan penuh. *** Di kediaman Dirganata, Fajar kini sudah berkumpul di ruang keluarga bersama kedua orang tuanya. Bu Astrid---mama Fajar---sampai sekarang masih bingung apa yang terjadi? Sejak pulang dari apartemen, suaminya hanya menampilkan ekspresi marah. Sedangkan putranya, hanya diam ketika Bu Astrid bertanya. Semalam suami dan putranya itu memang bertengkar sehingga Fajar memilih pergi dari rumah. Semalam Fajar sangat kesal. Hanya karena ia tidak sengaja menghilangkan dokumen papanya yang tidak terlalu penting, papanya marah-marah dan mengatakan ia tidak becus bekerja. Bukan sampai di situ saja, papanya juga membanding-bandingkan dirinya dengan supupunya yang saat ini kuliah kedokteran di luar negeri. Anak mana yang tidak marah jika dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain. Selama ini Fajar sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk papanya, ia selalu menuruti perkataan papanya. Bahkan, ia rela mengubur impiannya menjadi jaksa demi menurutu keinginan papanya yang ingin ia fokus bekerja di kantor. Sejak kecil hidupnya sudah diatur-atur oleh sang papa. Kadang Fajar berpikir, kapan dirinya bisa bebas? "Pah, sebenarnya ada apa?" tanya Bu Astrid yang semakin penasaran. Sejak tadi tidak ada yang menjawab pertanyaannya. "Kamu tanya sendiri sama dia!" ketus pria berumur 56 tahun itu sambil mengedikkan dagu ke arah Fajar yang duduk di hadapannya. "Jar, jawab Mama. Apa yang telah terjadi?" Fajar hanya diam, tak sanggup menjawab pertanyaan sang mama. "Keputusan Papa sudah bulat. Kamu harus membatalkan rencana pernikahan kamu dengan Anisa dan nikahi gadis yang telah kamu nodai," tekan Pak Zein. Mata Bu Astrid langsung terbelalak, kaget mendengar perkataan suaminya barusan. Tidak mungkin putranya m*****i gadis lain. "Tapi, Pah---" "Jangan ngebantah. Semua ini terjadi karena kesalahan kamu sendiri. Apa kamu mau keluarga gadis itu melaporkan kamu ke polisi? Jangan bikin keluarga kita malu!" bentak Pak Zein. "Fajar! Keluar kamu!" Terdengar suara seseorang yang berteriak di ruang depan. Pak Zein dan keluarganya pun langsung menuju ke ruang depan, melihat siapa yang telah berani berteriak-teriak di rumah mereka. "Anda siapa? Kenapa teriak-teriak di rumah saya?" tanya Pak Zein pada orang yang telah membuat keributan di rumahnya. Pak Zein lalu menatap ke arah satpam yang berdiri di samping orang itu. "Kenapa kamu biarin orang masuk ke dalam rumah sembarangan?" "Maaf, Pak. Tadi saya sudah melarang bapak ini untuk masuk, tetapi dia tetap kekeuh dan menerobos masuk ke dalam rumah," jawab satpam tersebut. "Kamu yang bernama Fajar?" tanya orang itu yang tak lain adalah Heru---Papa Rania. "Iya, saya sendiri," balas Fajar. Bugh! Pak Heru langsung membogem Fajar, meluapkan amarahnya sehingga direktur utama Dirganata Company itu tersungkur ke lantai. "Dasar b******n! Beraninya kamu m*****i putri saya!" Pak Heru menarik kerah baju Fajar, membuat pria muda itu berdiri. Dengan emosi yang menggebu-gebu Pak Heru menghajar Fajar habis-habisan hingga pria itu babak belur. "Abang!" teriak Putri---adik Fajar---gadis 13 tahun itu berlari menuruni tangga dengan baju tidur yang masih melekat di tubuhnya. Dia menangis, takut melihat abangnya dipukuli. Bu Astrid segera memeluk Putri, berusaha menenangkan anaknya itu. Ia tahu kalau putrinya itu takut melihat perkelahian. Pak Zein dan satpamnya segera menghentikan perkelahian itu. Satpam menarik Pak Heru menjauh dari Fajar. "Minggir! Saya harus beri pelajaran sama si brengs**k ini!" maki Pak Heru. Matanya tak pernah lepas dari Fajar, memandangnya dengan penuh emosi. "Tenang, Pak. Kita bisa bicara baik-baik," ucap Pak Zein. Dia lalu mengajak Pak Heru ke ruang tamu. Sedangkan Bu Astrid menyuruh Putri untuk kembali ke kamarnya. "Kamu harus tangung jawab. Nikahi putri saya, atau saya akan mejebloskan kamu ke penjara!" tekan Pak Heru. Baru saja Fajar akan membuka suara dan menolak keinginan Pak Heru, Pak Zein langsung melototi putranya, menyuruhnya untuk diam. "Saya benar-benar minta maaf atas kelakuan putra saya. Fajar pasti akan bertanggung jawab dan menikahi putri anda," sahut Pak Zein. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN