Enam

1185 Kata
Anne duduk di sebelah Darrel. Niatnya memilih duduk di barisan belakang saja gagal. Mulut licik Darrel mudah sekali menghasut kakaknya-Lucy-. Mau tidak mau Anne mendaratkan dirinya di sebelah Darrel dengan firasat buruk yang menghantuinya. Tiga puluh menit film sudah diputar. Anne bersyukur dalam hati, tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Tapi rasa lega dalam hatinya hilang seketika saat sebuah tangan mengelus punggungnya pelan searah dan sesekali membentuk lingkaran. Nafas Anne terengah, ia menggigit bibirnya. Menghalau suara mengerikan miliknya terdengar. Patah-patah, ia menolehkan kepalanya kesamping. Darrel menyeringai. Dan seringai itu, menakutkan bagi Anne. Pinggiran kursi menjadi lampiasan Anne selain menggigit bibir bawahnya agar tidak mengeluarkan suara apapun. Sayangnya, cara yang digunakan salah. Tangan besar itu begitu lihai bermain di belakang tubuhnya. Merambat pelan menuju sisi lain, tepat di sisi kanan tubuhnya, membelai dengan sangat perlahan dan menangkup secara tiba-tiba. Tak hanya itu, Darrel pun membuatnya menempel lebih dekat di sisi pria itu. "Kau pria terkejam yang pernah aku temui," desis Anne. Ingin sekali ia mengumpat, mengumpat sekeras-kerasnya di hadapan suami kakaknya ini. Apa daya dirinya, wanita lemah. "Rasanya aku ingin mencium bibir tajam mu saat ini juga," bisik Darrel balik tepat di telingaku yang posisinya berada dekat dari mulutnya. "Sayangnya, kali ini aku lebih tertarik dengan telingamu." "K-kau--" "Kau berbicara sesuatu, Darrel?" Deg.. Mendengar suara kakaknya, semakin kuat Anne menggigit bibirnya. Sama sekali tidak berani menolehkan kepala ke arah sang kakak. Apalagi tangan Darrel masih di tempatnya. Menekannya agar tak bisa bergerak dan bermain di sana, tepat di puncaknya. Hal lebih tak nyaman lagi dari telinga yang tadi menjadi sasaran. Sungguh. "Tidak, kau salah dengar," jawab Darrel dengan suara beratnya. Anne tahu Darrel sedang menahan gairah. Ia harus menghentikan ini sebelum semua terlalu jauh. Anne meletakkan tangannya di atas tangan Darrel. Mencoba menghentikan gerakkan pria itu di dadanya. Namun, tidak bisa. "Kumohon jangan." Anne mendongak dan berbisik ditelinga Darrel. Dihiraukan. Pandangan Darrel malah tertuju pada ke depan seolah fokus menonton film yang tengah diputar, yang entah apa itu. Anne tidak tahu. Tidak terlalu memperhatikan. Anne kembali berusaha melepaskan tangan lancang Darrel. Hasilnya percuma. Darrel membalas lebih dengan meremas kasar plus kuat hal yang seharusnya tak boleh pria itu sentuh. Bahkan kini satu tangannya mampu menangkup keduanya sekaligus. Anne tidak bisa menahannya lagi. "Shhhh," desis Anne lirih sambil bergerak gelisah. Berusaha untuk mengontrol atau sofa ini akan berderit lalu mengundang kecurigaan pada sang kakak. "Lucy, bisa kau perbesar volumenya. Aku tak bisa mendengar jelas suara mereka," perintah Darrel pada Lucy. Lucy menurut, ia mengambil remote di depannya. Kemudian memperbesar volumenya. Kemudian kembali menekuk kedua kakinya di atas kursi, menikmati film kesukaannya dengan santai. Tanpa tahu maksud b***t suaminya sendiri. Tubuh bawah Anne terasa lebam. Darrel seakan tak puas dengan meremas d**a Anne. Ia terus melakukannya. Sementara Anne sendiri, menggesek-gesekkan kedua pahanya. Pangkalnya terasa basah, berkedut tak nyaman. Darrel melepas sentuhannya pada Anne. Membuat lega sang empunya. Kelegaan itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Gerakan cepat, Darrel menelusup kan tangannya di sana, di bagian bawah tubuh Anne. Membuat Anne yang shock tidak bisa berbuat apa-apa selain merintih kecil. "Ku mohon ja...ngan," desah Anne pelan, ia berusaha menarik tangan Darrel dari intinya yang cukup menyiksa dirinya. Darrel tidak perduli. Ia terus menggerakkan jarinya bermain di inti Anne. Agak susah memang. Mengingat Anne memakai celana berbahan jins yang ketat. Bukan Darrel namanya jika langsung menyerah, hanya karena hal kecil yang menyulitkan kesenangannya ini. "Angkat dirimu, dan jatuhkan celana sialan mu itu, lalu buang sejauh mungkin," bisik Darrel ditelinga Anne. Tak takut Lucy sang istri mendengar, volume suara dan film kesukaan Lucy sedikit memberi rasa aman pada Darrel meski resiko tetap ada. Anne menatap Darrel yang menatapnya juga. "Ti-dak." Rahang Darrel mengeras, matanya menajam seolah memperingati Anne akan satu hal. "Ba-baik," pasrah Anne. Ia tidak bisa menolak takut jika sang kakak mengetahuinya. Ia belum siap. Perlahan Anne mengangkat sedikit tubuhnya, tangannya bergetar menarik turun celananya seraya melirik sang kakak yang fokus menonton film. Sedikit harapan dalam hati Anne, Lucy merasa mengantuk lalu membawa Darrel ke kamar mereka sehingga Anne terbebas dari siksaan ini. "Akkhh," tubuh Anne langsung jatuh tepat di sofa, seseorang menariknya dan membuatnya terkejut. "Kau baik-baik saja, Anne?" Lucy yang merasa pergerakan sofa dan teriakan Anne, mempertanyakan hal itu pada sang adik. Wajah Anne memucat, ia gugup ditatap khawatir Lucy. Apalagi tangan Kakak iparnya berada tepat pada pusat tubuhnya. "Dia baik-baik saja, Lucy. Mungkin terlalu menikmati jalan cerita film," jawab Darrel. "Benarkah?" "I-iya kakak." Lucy membulatkan bibirnya kemudian kembali ke posisinya semula tanpa curiga sedikit pun. Darrel bersikap tenang, seakan tidak takut ketahuan. Apa yang harus ditakutkan, jika ia menyukai resiko? "Kau tidak ingin minum, Lucy." Darrel mengambil minum, menyerahkan pada Lucy yang diterima dengan senang hati. "Terima kasih." ucap Lucy. "Kau terlalu fokus, hingga tidak melihat sekitarmu." "Maafkan aku. Film ini, aku sangat menyukainya. Aku akan lupa waktu jika menontonnya." Lucy tertawa, menertawai dirinya sendiri. "Hmm, aku tahu." Darrel beralih pada Anne, yang menyandar pada sofa seraya menutup mata. Sesekali desisan nikmat keluar dari bibirnya bervolume kecil. Tangan Darrel terus menggesek titik sensitifnya itu dengan frekuensi kadang pelan, kadang cepat. "Ini untukmu,Anne," tekan Darrel. "Hmm." Anne mengambil minum itu tanpa pikir panjang. Tenggorokannya yang terasa kering pun lega setelah minum. Darrel menyeringai, rencananya berjalan baik. Tanpa harus ia bersusah payah. Ia kembali mengarahkan tangannya bermain di tubuh wanita yang telah ia klaim menjadi miliknya. Hanya miliknya. Rasa sesak pangkal pahanya pun tak Darrel pedulikan. Ia harus bersabar. Menahan diri, untuk melihat wajah wanitanya, desisan kecil dan dahi berkerut lucu. Menggemaskan. "Kau kepanasan?" Anne menatap nanar Darrel. "Lebih baik kau buka bajumu." Anne menggeleng. "Terserah, kau akan terus seperti itu. Kau mau?" Anne terdiam."Jika kau tidak membukanya sekarang, aku bisa membukanya untukmu." Tentu Anne menolak, ia mundur menjauhkan dirinya dari hawa panas Darrel. Itu ia rasakan, saat napas Darrel terasa di tengkuknya ketika berbicara berbisik padanya. Tak kuat menahan rasa panas apalagi ditambah tatapan Darrel yang seperti memberi sengatan listrik pada tubuhnya. Anne dengan gerakan cepat melepas bajunya. Otaknya seakan kosong dan tak berfungsi. Dikalahkan panas yang menjalar sampai ke inti. Seringai Darrel melebar melihat itu. Sebagai hadiah atas rasa senangnya, Darrel menambah permainannya hingga bunyi benturan terdengar, ia bahkan tidak peduli dengan sosok Lucy di sampingnya. Mata Anne berkaca, ia tak kuat menahan kenikmatan ini. Rasanya ia ingin menjerit. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mencengkram pinggiran sofa dan entah sejak kapan pula sebelah kakinya menekuk ke atas sofa. Ia butuh kepuasan lebih, ia menginginkan puncak. Ia butuh Darrel untuk itu. Saat ini, Anne tidak mengenali dirinya sendiri. Ia seperti haus kepuasan yang sedang mencari kepuasan. Darrel melirik Lucy yang entah sejak kapan terkulai di sandaran sofa. Secepat kilat, ia bangkit menindih tubuh Anne, menawan bibir. "A-ap yang kau laku..mpphtt." Darrel tidak memberi kesempatan Anne berbicara panjang, ia hanya memberi kesempatan untuk mengambil nafas karena ciuman panas yang berlangsung tadi. Tidak yang lain. *** Kegilaan yang tak terelakkan. Tolong tunjukkan, di mana letak hati sesungguhnya? *** Jangan menerima ruang dan memberi ruang untuk orang lain masuk ke dalam rumah tanggamu. Jika tidak mampu membahagiakan satu wanita, jangan berpikir menambah satu wanita lagi. Sikapmu hanya menyengsarakan. Bukan tentang menjaga dan dijaga, tapi bagaimana caranya kamu mempertahankan janjimu pada Tuhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN