Episode 13 | Gincu merah bata

1877 Kata
“Aku nggak tahu. Mungkin itu gincu punya kamu, Lun?” “Punya aku?” “Mungkin.” Bima berujar antara bingung dan takut. Aluna menautkan sepasang alisnya skeptis. Apa ini benar-benar punya gue? Mungkin iya, walau dirinya sendiri kebingungan. Sejak kapan ia mempunyai gincu mahal merk huda beauty? Bima kalut dalam pikirannya. Melirik sang kekasih dari balik ekor mata. Mobil terus melaju membelah jalanan kota sementara kedua mahluk di dalamnya membaur dalam keheningan. Kenapa lipstik itu bisa berada dalam mobil gue? Satu-satunya perempuan yang memasuki mobilnya selain Aluna yaitu; Kalista dan Mamanya. Tak ada lagi. Bima yakin lipstik ini milik salah satu di antaranya. “Milik Mama kamu kali, ya?” tanya Aluna. Menetralkan pikirannya sendiri. Gadis itu memandang Bima lekat-lekat, berharap jawaban yang keluar dari mulut kekasihnya sesuai dengan apa yang ia harapkan. “Ah. Heeh mungkin. Kemarin Mamaku minta dianter ke acara kondangan temannya. Kayaknya lipstiknya jatuh.” Bima sendiri ragu dengan ucapannya. Walau begitu, batinnya terus merapalkan berbagai macam doa. Mudah-mudahan lipstik itu benar-benar milik ibunya. *** “Heeh, Bim. Lipstik Mama hilang.” Bima nyengir di tempatnya. Doa anak soleh selalu dikabulkan. Dewa batinnya berujar sombong. Lantas Bima duduk di sofa, tepat di pinggir sang ibu dan memeluknya dari samping. Kakinya ia hentak-hentakan ke lantai. Girang sendiri. “Makasih Mama sayang.” “Lipstik gue ilang kok malah bilang makasih. Lu ngetawain gue, ya?” Rosmala melepaskan pelukan sang anak dengan risih. Matanya memandang Bima penuh selidik. Ini anak mendem atau bagaimana? “Kalau lipstik Mama nggak hilang. Tamat sudah riwayatku,” ucap Bima masih dengan air muka berseri-seri. Kembali memeluk Rosmala dan menciumi pipinya beberapa kali. “Ah. Apa sih, lu! Mending cuci piring sana. Kagak ada ngebantunya lu jadi anak!” Bima mendengkus di tempatnya. Kalau sudah berada di dekat sang ibu memang begini. Ada saja resiko untuk di suruh-suruh. “Ma. Sekali aja nggak nyuruh-nyuruh bisa nggak, sih?” “Ya lu-nya aja nggak pernah inisiatif sendiri.” Rosmala berujar tak terima. “Lipstik Mama kujual, ya? Buat bayar kerja rodi aku! Aku tadi googling ternyata harganya lumayan mahal. Dah gitu kelihatannya masih baru, lagi. Dua ratus ribu kayaknya masih laku!” ancam Bima. Menyeringai bagai antagonis di sinetron ikan terbang. Rosmala mengerjap di tempatnya beberapa kali. “Siapa yang mau beli, Bim? Lipstik Mama harga barunya juga paling cuma limapuluh ribu!” “Ah. Mama beli kw-nya pasti 'kan?” Bima mengejek. Ia mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajah sang ibu. Durhaka memang. Rosmala menepis jari sang anak lalu menjitak kasar kepalanya. “Enak aja. Biar murah tapi asli. Produk lokal, merk-nya Faxy. Itu juga Ayut yang beliin.” Ayut—Yudistira. Begitu Rosmala dan beberapa orang lainnya memanggil Yudi. Kali ini giliran Bima yang mengerjap di tempatnya. Mengusap kepalanya yang sedikit nyeri akibat jitakan sang ibu yang baru saja dilayangkan. “Ini merek huda, Ma. Harganya mahal.” Rosmala mengibaskan tangannya di udara. “Ah, Mama nggak punya lipstik merk kuda.” “HUDA, Ma! H-U-D-A.” “Heeh pokoknya itu! Mama nggak punya lipstik begituan.” Bima menggigit bibir bawahnya lantaran kebingungan. Lantas, lipstik ini milik ... Kalista? Bima bergidik di tempatnya. Merasa ngeri sendiri. Bagaimana kalau Kalista menanyakan perihal lipstik-nya di depan Aluna. Bisa-bisa tamat riwayatnya. *** Kalista mengetuk-ngetukan kaki. Duduk santai di kursi lobby rumah sakit seraya memandang setiap jiwa yang berlalu lalang. Ia merogoh tas-nya, mengambil sebuah bedak, bercermin di baliknya sambil mengoleskan gincu hingga bibirnya merah menyala. Rambut sebahunya disibak ke belakang, di saat seorang pria dengan setelan baju ala perawat melangkah melewatinya. “Kak Bima?!” Merasa dipanggil, Bima berhenti, lantas menoleh. Menautkan sepasang alisnya, memaksakan senyum. Ia balas menyapa, “Eh, hai, Kal.” Kalista berdiri, tersenyum manis ala dirinya, membasahi bibirnya dengan lidah. Membuatnya terlihat lembab. “Kak Bima. Luka operasi Mamaku sedikit ada nanah.” “Kok bisa? Coba Mama kamu disuruh tidur miring, biar luka bekas operasinya nggak terlalu banyak tekanan.” Bima berjalan selangkah, mendekat pada Kalista seraya memasukan tangannya ke dalam saku celana. Netranya memandang kalista yang seolah mengangguk mengerti. “Sudah, Kak. Mau lihat foto lukanya, nggak?” Kalista menaikan sebelah alis. Ia merapatkan diri ke tubuh Bima. Merogoh ponselnya dari dalam tas dan membuka galeri foto. Satu per satu foto digulirnya. Bima menyondongkan badan untuk mengintip. Kesempatan itu dipakai Kalista untuk menyibakan rambutnya ke belakang telinga. Leher jenjangnya terekspos, wangi parfumnya dapat Bima cium dengan kentara. “Fotonya mana, ya? Duh banyak banget foto selfie aku di sini.” Kalista terkikik pelan. Memandang Bima sekilas dari jarak sedekat itu. Bima hanya tersenyum di tempatnya. Masih memandangi jemari Kalista yang menggulir foto. Sampai satu foto terlihat. Foto Kalista yang hanya mengenakan celana dalam dan bra. “Astaga!” Kalista tersentak di tempatnya. Mulutnya menganga memandangi pria di sampingnya. Foto itu masih terpampang di depan wajah Bima yang mendadak canggung. Bima memalingkan muka. Terbatuk pelan sementara ekor matanya melirik Kalista yang menggigit bibir lantaran malu. “Maaf, Kak. Kakak malah melihat foto ... selfie aku. Foto ... seksi aku.” Kalista melirik Bima takut-takut. Takut-takut atau sengaja? “Aku berfoto untuk pajangan pribadi, kok, Kak.” Bima mengusap bagian belakang lehernya seraya tersenyum tipis. Lantas mengibaskan tangannya di udara. “It's ok.” “Ini foto luka Mamaku. Keadaannya begini.” Kalista menyuguhkan lagi sebuah foto luka dengan puluhan jahitan. Luka pasca amputasi yang katanya tidak dalam kondisi bagus. Bima kembali menyondongkan badan badan kendati sedikit ragu. Ia mengangguk kecil, meneliti detail masalah pada luka dari salah satu pasiennya. “Ini hanya perlu rutin dibersihkan. Pakai air infusan, disemprot obat pencuci luka. Pinggiran lukanya sedikit ditekan biar nanahnya keluar semua. Bahaya kalau nanahnya menumpuk bisa infeksi.” Kalista mengangguk setuju saat Bima memberitahu langkah apa saja yang harus diambilnya. Lantas berlalu, hendak meninggalkan Bima ke arah berlawanan. Baru selangkah menggerakan tungkai, tiba-tiba high heels-nya hilang keseimbangan. Ia tersungkur jatuh ke dekapan Bima dengan posisi kepala yang terbenam di leher pemuda tersebut. Bima dengan sigap menahannya. Membawa kembali Kalista ke dalam posisi tegap berdiri. “Lain kali hati-hati, kalau kamu celaka bagaimana?” Bima menepuk bahu Kalista beberapa kali. Tersenyum dan mengacak rambut gadis itu sebelum berlalu pergi. Kalista mengangguk mengerti di tempatnya. “Terimakasih, Kak.” Baru berjalan beberapa meter, tiba-tiba Bima menghentikan langkah, memutar tubuh menghadap Kalista yang masih mematung. “Lipstik kamu ketinggalan di mobil aku, ya?” “Lipstik aku?” “Heeh. Huda beauty? Yang ini?” Bima merogoh saku. Mengacungkan sebatang lipstik di udara. “Ini, tangkap!” Kalista menangkap sebatang lipstik yang mendarat mulus di tangannya. “Ah, pantesan nggak ada. Ternyata jatuh di mobil Kakak.” Sejurus kemudian Bima tersenyum. Melambaikan tangan dan berlalu pergi. Di tempatnya, senyum antagonis Kalista kembali merebak. Entah kekacauan apa lagi yang terjadi setelah ini. *** “Yudi pindah ke apartemen mana?” Sesha mendekatkan bangkunya dengan milik Aluna. Matanya berbinar, ingin cepat-cepat menggali informasi seputar Yudistira—pangeran ganteng pujaannya— yang sampai saat ini masih sangat sulit digapai. “Dago, Sha. Lo tau 'kan apartemen si Ishaq?” “Nggak tahu, lah. Ngapain juga gue ke apartemen si Ishaq.” “Kali aja lo ngapel ke rumah dia,” sahut Aluna dengan nada mengejek. “Sekalipun iya, dia nggak bakal doyan sama gue. Dia kan suka batang.” Aluna tergelak di tempatnya. “Tapi iya juga, sih.” Mereka tertawa bersama. Sesha kembali sibuk dengan imajinasinya dengan Yudistira. “Yudi mirip banget sama Suga. Diem, cool, apa lagi, ya?” “Irit senyum.” “NAH ITU!” Sesha berdiri dari kursinya, menggebrak meja saking antusiasnya. Hampir saja kuah bakso di mejanya jatuh menimpa kaki. “Makan dulu, geblek. Nanti lagi ngehalunya.” Aluna menarik tangan Sesha agar kembali duduk di tempatnya. Sesha duduk seraya bersendang dagu. Senyum-senyum sendiri selagi jemarinya mengetuk ringan permukaan kulit pipinya. “Ajak gue main ke rumah Yudi, lah, Lun.” “Gue jarang ketemu Yudi. Gue nggak akrab-akrab banget!” Sesha mencebik. “Bagaimana bisa lo bilang nggak akrab sementara lo pernah dibeliin produk sephora?” Aluna menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal. Meringis pusing akan tingkah temannya yang amat menjengkelkan. “Ya ... itu cuma kebetulan.” “Gue nggak mau tahu. Kalau lo mau ke apartemen Yudi, lo mesti ajak-ajak gue!” Aluna menggeram di tempatnya. Mendelik sinis menatap Sesha yang malah cengengesan sambil menyeruput kuah bakso langsung dari mangkuknya. Gimana Yudi mau suka sama lo, kalau kelakuan lo bar-bar kayak gini? Dewi batin Aluna menyinyir. Temannya yang satu ini memang terlalu apa adanya. Tidak ada manis-manisnya sama sekali. “Hai ladies!” Kalista muncul secara tiba-tiba dari arah belakang, memegang pundak Sesha dan Aluna seakan-akan mereka memang berteman akrab. Aluna mengerjap beberapa kali. Selanjutnya, ia menautkan sepasang alisnya skeptis. Sementara Sesha terbatuk, tenggorokannya perih akibat tersedak kuah bakso. “Makan bakso kok nggak ngajak-ngajak, sih?” Tanpa permisi, Kalista duduk di kursi kosong yang berada di tengah-tengah Aluna dan Sesha. Sesha dan Aluna bersepandang. Sama-sama menaikan sebelah alis lantaran keheranan. Ini cewek baru mau ngapain? “Boleh gabung, kan?” tanya Kalista. Memandang kedua wanita di sampingnya secara bergantian. “Boleh. Boleh. Kakak anak HRD 'kan?” Sesha bereaksi polos. Ia tersenyum kendati masih malu-malu tai kucing. “Kakak kok cantik banget, sih?” puji Sesha. Membuat Kalista menyibakan rambutnya ke belakang. “Masa, sih?” “Iya. Kakak perawatan wajah di mana? Tirus banget. Hidung mancung banget. Beda banget sama elo, Lun. Elo pesek, muka lo bulet.” Anjing. Kurang ajar. Aluna menendang kaki Sesha agar mengurangi kadar kebodohannya. Sialan, Sesha yang tak peka malah memakinya secara terang-terangan. “Lun, sakit. Gak usah tendang-tendang gue.” Aluna menggeram di tempatnya. Memelototi Sesha yang kini mencebik kesal. Kalista tersenyum asimetris. Merasa unggul satu poin atas Aluna. Kalista menyimpan tas kecilnya di atas meja, merogoh sebuah bedak dan berkaca. Ia merapikan tatanan make up-nya mengenakan kertas minyak. Merogoh kembali tas-nya, mengambil sebuah gincu merah bata yang sempat tertinggal di mobil Bima beberapa hari yang lalu. “Itu lipstik huda 'kan, Kak? Ori kan?” Sesha memajukan kursinya mendekati Kalista, menyondongkan badan saking kepo-nya. “Jujur aja, aku nggak kebeli make-up high end macam begitu. Foundation aku aja masih drug store.” Kalista melirik Aluna yang memalingkan muka, lantas tersenyum tipis memandang Sesha yang menatapnya speechless. “Ini ori. Hadiah dari seseorang karena aku sendiri juga nggak mampu beli. Bukan nggak mampu, sih, melainkan sayang aja beli make up mahal-mahal.” Sesha mengangguk setuju. “Betul banget itu!” Kembali mengoleskan lipstik merah batanya ke permukaan bibir, Kalista tersenyum asimetris, melirik Aluna yang masih memalingkan wajah darinya. “Lipstik ini ketinggalan di mobil seseorang tempo hari,” ucapnya. Nada bicaranya sengaja ia besarkan. Apa? Aluna menoleh. Menatap Kalista yang masih memutar-mutar cangkang lipstiknya. Gincu itu ... sama persis dengan gincu huda merah bata yang sempat ia temukan tempo hari di mobil milik Bima. Apa semuanya hanya kebetulan semata? Lagi pula bukan hanya Kalista seorang yang mempunyai lisptik bermerk seperti itu. Mamanya Bima juga punya ... sepertinya. Ah ... Apa lagi ini? Kalau dipikir-pikir lagi, sejak kapan ibunya Bima mengoleksi barang-barang mahal? Yang ia tahu semua produk make up yang dikenakan Rosmala harganya sangat standar. Semuanya produk lokal. Iya, Aluna ingat itu. Apakah lipstik di mobil Bima kemarin milik gadis lain? Atau justru memang milik Kalista?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN