''Hobi kakak itu apa?'' Tanya Anna, dia ingin berusaha mengenal Maria lebih dekat. Perlahan tapi pasti.
Maria sempat berpikir sejenak, ''Aku itu suka banget ngoleksi anak ayam yang warna biru.''
Anna reflek tertawa mendengar jawaban Maria. ''Yang bener aja, masa kakak suka ngoleksi anak ayam,''
Maria mengerucutkan bibirnya, ''Beneran lho. Waktu itu aku ngoleksi sampai lebih dari sepuluh, tapi karena mereka suka berantem rebutan makanan, jadinya mereka mati semua deh. Mungkin mereka bosan hidup,'' Anna sedikit tertegun mendengat jawaban polos Maria. Setidaknya Anna senang, Maria sudah mau berbicara panjang dengannya.
Pates aja di mainin sama cowok, anaknya polos gitu, hatinya berbatin.
''Kalau kamu hobinya apa?'' Tanya Maria balik.
''Makan tahu bulet,''
''Astaga. Kamu mah, aneh-aneh aja,''
''Kak, tau ngak?'' Tanya Anna skeptis.
Maria menggeleng, ''Ngak lah Ann, orang belum kamu kasih tau,''
Anna menepuk keningnya, ''Kan aku lagi basa-basi kak,'' katanya, ''kakak tau, kalau dunia luar itu ngak sejahat yang kakak pikirkan,''
Maria mendadak terdiam bisu, ia kehabisan kata-kata kalau sudah membahas dunia luar. Semenjak saat itu, dia tidak pernah sama sekali keluar rumah. Ngak tau kenapa setelah kejadian itu, ia jadi takut yang namanya dunia luar.
''Kadang, apa yang kakak pikirkan ngak selalu sama dengan keadaannya,'' lanjut Anna. Matanya melirik Maria yang membisu, ia langsung mengelus pundak Maria.
''Contohnya aku nih, kakak berpikir ngak kalau aku jahat?''
Maria menggeleng ragu.
''Nah, berarti dunia luar itu ngak sejahat yang kakak pikirkan. Manusia itu butuh bersosialisasi, ngak selamanya dia bisa hidup sendiri. Misalnya, kalau sewaktu waktu kakak kenapa-napa. Ngak selamanya Juna yang bakalan nolongin kakak, terkadang juga bisa aku atau kakak aku, bisa juga orang-orang di luar sana,'' Maria tertegun mendengar ucapan Anna. Benar, selama ini dia selalu menyendiri, menganggap kalau tidak ada orang baik kecuali Elang. Dia terlalu tertutup, dan tak pernah mau berbagi beban kepada orang lain. Padahal pada hakikatnya manusia itu di ciptakan untuk saling berbagi dan melengkapi, walau banyak kepribadian manusia yang bertolak belakang.
''Kakak harus belajar terbuka, berbagilah beban dengan orang lain, karena tugas manusia itu untuk saling membantu. Kakak bisa kok, berbagi beban dengan aku, begitu pun sebaliknya, aku juga bisa berbagi beban dengan kakak.'' Ucapnya sabar, ''kakak ngak perlu merasa sendiri dunia ini. Masih banyak banget orang-orang yang perduli sama kakak, jadi belajarlah bersosialisasi kak,''
Maria terenyuh. Prediksinya selama ini salah. Dia hidup tidak hanya sendiri, masih banyak orang lain yang ingin membantunya. Ingin ikut merasakan beban yang ia pikul. Dan sekarang ia telah menemukan, orang yang tepat untuk saling berbagi.
''Ann, boleh kakak berbagi beban sama kamu?'' Tanya Maria. Anna tersenyum lebar, dia berhasil membuka hati Maria.
''Dengan senang hati aku akan membantu kakak, 24 jam aku siap membantu,'' Anna mengangkat tangannya, memberinya salah hormat.
Maria merentangkan tangannya, merengkuh Anna ke dalam pelukannya. Merasakan kedamaian di hatinya. Anna membalas pelukan Maria, mengelus punggungnya, memberikan ketenangan dan kedamaian. Anna yang ceria bertolak belakang dengan Maria. Tetapi keduanya bisa saling melengkapi dan menyayangi.
***
''Iih, lo ngapain sih, ngikutin gue mulu!'' Kata Anna kepada Andi yang dari tadi berjalan di sampingnya. Padahal Anna dari tadi udah sengaja muter-muter, tapi tetap aja Andi mengikutinya.
Andi mengangkat bahunya acuh tak acuh. ''Memangnya kenapa? Kaki-kaki gue kok,''
Anna memandangnya sinis, lalu matanya menangkap toilet wanita di ujung sana. Dengan gerakan cepat kakinya berlari masuk ke dalam toilet wanita. Napasnya ngos-ngosan, Anna bertumpu pada lututnya. Tetapi, setidaknya posisinya sudah aman di sini.
''Woy, lo ngapain masuk ke toilet cowok! Mah ngintip ya lo!'' Suara teguran itu membuat mata Anna melebar. Dia membalikan badannya. Matanya tambah melebar lagi ketika melihat banyak lelaki di toilet ini.
''Loh, ini kan toilet cewek. Kalian aja tuh yang masuknya salah, eh, jangan buka-buka dulu dong. Gue masih ada di sini, lo ngak malu!'' Kata Anna. Terpaksa deh, dia keluar berjalan dari toilet.
''Dasar, Anna m***m!''
Anna memutar kedua bola matanya, berdecak kesal sambil berjalan.
''Gimana, enak ngak masuk toilet cewek?'' Andi mucul lagi di sebelahnya sambil bersedekap d**a.
''Enak gimana. Untung ngak ada yang lagi buang air!''
Andi terkekeh, ''Makanya, jangan jauh-jauh dari gue. Nanti lo apes,''
Anna melirik Andi sinis, ''Yang ada deket-deket sama lo gue apes!''
''Adawww...'' Anna tersungkur, bokongnya menyentuh lantai.
''Eh, sory, beneran gue ngak liat,'' ucap orang itu.
Andi mengulurkan tangannya membantu Anna. Dan di terima dengan sepenuh hati oleh Anna, lagi pula, kondisi ia jatuh tidak memungkinkan. Jadi aji mumpung kan?
Anna membersihkan rok sekolahnya, lalu menatap orang itu. Tetapi ada yang mengganjal di hatinya, ia seperti mengingat orang itu.
''Nama lo?'' Tanya orang itu.
''Anna,'' orang itu terkejut.
''Lo?'' Tanya Anna.
''B-Bima,'' Anna terkejut. Keduanya sama-sama terkejut. Tubuh Anna mendadak melemas, jantungnya berdetak tak karuan. Matanya membulat sempurna.
Andi pun begitu, tetapi ia bisa mengontrol mimik wajahnya, ngak mau terlihat heboh di depan Bima.
Andi melirik Anna yang melemas. Bulir-bulir keringat menetes di dahinya, wajahnya memucat. Andi segera mengambil keputusan, ia menggenggam tangan Anna yang dingin, lalu menariknya untuk berlalu. ''Kita pergi dulu, Bim.''
Bima pun hanya mengangguk. Mungkin ia tersadar apa yang ia perbuat salah. Dia kembali di saat yang tidak tepat.
*
''Ann, lo ngak kenapa-kenapa kan?'' Tanya Andi. Anna masih berdiam bisu. Wajahnya di tekuk. Ingin sekali Anna menangis, tetapi ia tak ingin terlihat lemah di mata lelaki.
''Ann, ke kantin aja ya? Gue beliin teh hangat?'' Ajak Andi. Anna mengangguk.
Setelah sampai di kantin, Anna duduk di salah satu kursi. Wajah itu masih terngiang jelas di kepalanya.
''Nih minum,'' Andi kembali, membawa secangkir teh hangat lalu ia serahkan kepada Anna.
Anna mengambil cangkir itu, lalu menghirupnya perlahan. Mengalir di tenggorokannya, setidaknya hatinya sedikit tenang sekarang.
''Ann, jangan terlalu di pikirin,'' kata Andi. Anna mengangguk lagi, mulutnya terlalu kaku untuk berbicara. Dia juga ngak tau kenapa dirinya menurut sama Andi.
''Ann, lain kali, kalau mau jatuh jangan di lantai atau di tanah, kasian lantainya. Kalau mau jatuh mending di hati gue aja,'' kata Andi spontan membuat Anna melemparkan tatapan sinisnya.
Lebih baik ngeliat lo sinis sama gue, dari pada ngeliat lo diam bisu gitu. Andi membatin. Senyum tipisnya mengembang melihat Anna kembali sinis seperti biasa. Ia berniat untuk merubah segalanya, tak mau memperdulikan permainannya dengan Juna, yang ia pentingkan hanya, bagaimana mengejar Anna lebih keras dan membuat Anna melupakan masa lalunya.
***
''Ann, di panggil sama anak baru di taman,'' kata Weldan, teman sekelas Anna.
Anna mengernyit, ''Anak baru?''
Weldan mengangguk.
''Alah, Weldan bilang aja mau pedekate sama Anna, ngak usah basa-basi ngapa Dan,'' celetuk Tara, salah satu anggota gengnya Weldan.
Weldan menghampiri Tara, ''Enak aja lo. Gue selepet nih,'' Weldan mengambil ancang-ancang. Dasi laki-laki sudah ada di tangannya. Siap untuk main selepet-selepetan.
Tara menarik dasi dari kerah bajunya, ''Nantangin lo!''
Farah sang ketua kelas pun berdiri. Menghampiri Weldan dan Tara. Menjewer telinga mereka, ''Elo anak berdua. Pake dasinya ngak! Atau gue hukum jalan jongkon muter lapangan 30 kali!''
''Eh, Farah yang cantik dan semok, jangan galak-galak dong sama Aa Weldan, cini aku peluk,'' Kata Weldan, berusaha menghindar dari jeweran Farah, lalu merentangkan tangannya, siap untuk memeluk Farah.
Farah memang anak yang cantik nan semok. Banyak sekali yang udah ngincer dia dari dulu, tapi sifatnya itu yang bikin cowok ngak nahan, suaranya nan menggelegar, apalagi jewerannya, bisa bikin telinga copot seketika. Makanya sekarang Farah di tunjuk menjadi ketua kelas, sangkin kelasnya ngak bisa di atur, bahkan Farah pun di lawan.
''Iih, najis lo!'' Farah berjalan menjauh, lalu menonjok dahi Weldan. Yang membuat Weldan meringis.
''Dasar tenaga kuda!''
Anna sudah terbiasa melihat hal-hal aneh seperti itu di kelasnya. Dan ia hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh. Lalu berjalan meninggalkan kelasnya.
*
Anna menelusuri taman. Mencari sosok yang mencarinya. Tak lama pandangannya menemukan sosok lelaki itu. Lelaki yang selama ini ia rindukan.
Anna berdiri di belakang lelaki itu, beberapa detik kemudian dirinya sudah di rengkuh lelaki itu. Memeluknya begitu erat.
Tak Anna sadar, satu tetes air mata itu jatuh, di ikuti dengan tetes-tetes yang lainnya. Dia merindukan ini. Merindukan sosok yang sudah beranjak dewasa. Anna membalas pelukan itu. Seakan tak mau kehilangannya lagi.
''Sorry, Ann,'' bisiknya. Anna mengangguk. Entah mengapa hatinya terlalu mudah untuk memaafkan.
Bima merenggangkan pelukannya. Menatap Anna dengan sendu. Bima menangkup wajah Anna, menghapus air mata Anna yang masih saja turun.
''Kita mulai semuanya dari awal, Ann, lo mau kan?'' Tanya Bima.
Anna lagi-lagi mengangguk.
''Semudah itu lo pergi, dan semudah itu juga lo minta maaf, dan semudah itu juga lo minta mengulang semuanya dari awal. Sedangkan Anna bersusah payah untuk melupakan lo, tapi lo balik dengan mudahnya,''
***