7

1311 Kata
''Iih, Ann, cepetan ngapa jalannya, jangan lelet gitu!'' Resa menarik tangan Anna. Menariknya menuju lapangan olahraga. Katanya sih lagi ada pertandingan basket antar kelas. Kebetulan pertandingan itu antar kelas Anna dan kelas Resa. ''Siapa sih yang main, kayaknya bikin lo greget gitu,'' keluh Anna ketika tangannya tetus di tarik secara pasrah ke arah lapangan basket. ''Itu, kan ada si Andi, gue mau liat aja se cemen apa sih dia main basket, ayok Ann, lama nih!'' Gerutu Naftali sebal. Memang Anna sengaja melambatkan langkahnya. Hatinya sangat tak iklas ketika tangannya di tarik paksa oleh Resa dan Naftali. Padahal mood-nya untuk berada di kelas lagi oke banget. Eh, malah di suruh nonton pertandingan ngak penting gitu. Apalagk Andi yang jadi pemain basketnya. Koor teriakan dukungan terdengar memenuhi lapangan basket. Ada cewek-cewek centil yang memenuhi lapangan dengan teriakan ciwi-ciwi mereka, ada juga yang teriak-teriak ngak jelas, ada juga yang mengeluarkan maki-makian tidak jelas, dan intinya, Anna benci keributan. ''Kalian mah, udah tau gue ngak suka yang ribut-ribut, malah di suruh datang ke sini,'' Anna mengerucutkan bibirnya, perkataanya barusan tak di hiraukan oleh temannya, tangannya terus saja di tarik menuju kursi tengah yang tak terlalu padat di tempati. ''Tuh, si Andi, Ann,'' Resa menunjuk Andi dengan telunjuknya dengan histeris. Padahal menurut Anna, itu sangat biasa. Anna mengikuti arah telunjuk Resa. Menatapnya seksama. Apalagi ketika matanya itu bertubrukan dengan mata hitam Andi, yang membuat wajah Anna memerah seperti tomat. Satu jam berlalu, permainan itu masij belum berhenti. Skor pemain selalu sama, palingan kalau beda juga cuman beda satu, begitu terus sampai saat ini. Anna menopang dagunya dengan tangannya. Rasa kantuk datang menemani dirinya. ''Ann, lo bete ya?'' Tanya Naftali yang memang dari tadi memperhatikan Anna diam saja. Anna mengangguk. ''Yaudah, kalau lo mau di sini gapapa, tapi gue sama Naftali masih di sini ya?'' Anna mengangguk semangat. Tawaran itu yang ia tunggu dari tadi. Lebih baik ia menghabiskan waktunya di kelas dari pada ia harus menahan rasa kantuknya di sini. ''Hati-hati ya, Ann,'' Anna mengangguk lagi. Tetapi, baru saja ia berdiri, tangan seseorang telah menahan pergelangan tangannya, ''Biar gue yang temenin lo ke luar,'' Anna mengernyit, ''Loh, kok lo di sini sih? Bukannya lo harusnya di lapangan itu,'' Anna memandang Andi seksama. Lalu Andi berjalan mendahului Anna, tangannya masih menarik pergelangan tangan Anna. Setelah keluar dari arena lapangan itu, Andi melepaskan tangannya. Menatap Anna lekat-lekat, tetapi beberapa detik kemudian tatapan itu berganti menjadi senyum iblisnya, ''Lo merhatiin gue dari tadi ya?'' Anna terkejut, matanya melebar, ''E-enak aja, ngak kok. Lo nya aja yang ke geeran!'' Ucap Anna gugup. Andi menaikan satu alisnya, sambil melebarkan senyum iblisnya, ''Masa?'' Anna mengangguk gugup. ''Lo itu memang titisan iblis ya? Bete gue sama lo!'' Anna mengdengus pasrah, matanya masih menatap Andi sinis. Ingin sekali rasanya sumpel mulut iblis Andi pake sikat wc. ''Lo perlu tau,'' ucapnya, ''gue jadi semangat main basket, karena senyum lo yang bikin gue semangat. Lain kali, senyum terus ya, biar gue makin semangat.'' Anna mematung di tempatnya. Matanya terus memperhatikan Andi yang perlahan mulai menjauh. Tak ia sadar pipinya memanas, rasanya ia ingin terbang saja ke langit. Sial! Masa gue ngefly gara-gara dia, ngak lucu. *** Andi berbaring di kasurnya, matanya menatap langit-langit kamarnya. Beberapa kali ia tersenyum mengingat Anna. Tetapi lagi-lagi ia teringat dengan ucapan adiknya. Menyusun perkataan itu satu per satu di otaknya. Dirinya merasa sangat b******k sekarang. Mempermainkan perempuan yang ia suka. Ia mengambil sebuah foto, melihat tiga orang anak kecil yang sedang tersenyum bahagia. Ia jadi mengingat masa-masa dulu. Di mana mereka ber tiga selalu bersama dalam keadaan suka dan duka. Kalau saja waktu itu pikirannya sedang sehat, ia tak akan melakukan itu semua. Tetapi hatinya berkata lain, hatinya sangat menolak gadis yang ia suka berpacaran dengan sahabatnya. Apalagi saat ini, di saat dirinya sendiri, tak ada lagi yang mengerti dirinya, tak ada lagi bahan ledekannya, tak ada lagi teman berotak pintar kalau sedang ulangan. Sudahlah, ia sudah tak mau mengingatnya lagi, itu hanya bagian dari masa lalu. Yang harus ia lakukan sekarang adalah menghentikan permainan ini, sebelum hari itu datang. *** ''Kak Elang, mau ikuttt,'' rengek Anna kepada sang kakak. Baru saja ia bangun dari tidurnya, ia sudah melihat kakaknya berpakaian rapih. ''Lo mah, nyebelin ah, gue mau ke rumah cewek gue nih!'' Decak Elang, wajahnya sudah di tekuk berlipat-lipat ketika adiknya merengek meminta ikut. Anna bergelayut manja di lengan sang kakak, ''Please,'' Elang pun mengangguk, siapa tahu adiknya yang supel ini bisa membuat hati Maria tertegun. Anna bergelonjak kaget. ''Thankyou kakaku,'' ''Yaudah sana, lo mandi kek, bau badan lo tau!'' Kata Elang dengan nada menyindir. Anna melirik Elang sinis lalu berlalu mandi, lebih baik tak di teruskan. Bisa-bisa sampai monyet bertelur pun tak akan selesai. *** Anna menatap rumah di hadapannya, merasa familier dengan rumah itu. ''Lo malah bengong, masuk sini!'' Anna tersadar dari lamunannya. Ia berlari kecil mengejar kakaknya masuk ke dalam. Lalu berdiri di samping Elang. ''Tok! Tok! Tok!'' Selang beberapa detik, pintu itu terbuka. Menampilkan sosok wajah yang begitu familier di kalangan Anna. Ah, Anna ingat, dia itu Juna, teman yang sedikit dekat dengan Andi. Ngomong-ngomong soal Andi, Anna jadi mengingat ucapan itu. Ucapan Andi kepada Juan. ''Eh, ada lo kak, masuk,'' Juna memundurkan badannya, membiarkan Elang masuk ke dalam. Tetapi Elang segera berbalik, ''Ann, lo malah di situ. Oh ya, kenalin itu Juna, adiknya Maria,'' ucap Elang memperkenalkan. Juna menatapnya dingin, tak berucap sama sekali. Anna tahu sebabnya, mungkin karena Juna mengangap Anna itu siapa-siapanya Elang. ''Dia siapa kak?'' Tanya Juna kepada Elang. Elang tersenyum. ''Dia Anna, adik gue,'' Wajah Juna terlihat terkejut, namun wajah datarnya itu terlihat kembali selang beberapa detik. Lalu ia mempersilahkan Anna untuk masuk. ''Masuk Ann,'' ucapnya. Ia berlalu masuk ke dalam menyusul Elang. Anna mengangguk, lalu berjalan kikuk. Ngak tahu kenapa pas berhadapan dengan Juna, hatinya gelisah tak karuan. Anna memandangi sekelilingnya, dia rasa rumah ini cukup luas. Tetapi keberadaan mahkluk hidup di rumah ini patut di pertanyakan. Sepi sekali seperti tak ada penghuninya, langkah derap kaki mereka saja terdengar menggema di ruangan. Ingin sekali Anna menanyakan hal tersebut, tetapi dengan segera ia mengurungkan niatnya. Tak mau berurusan jauh dengan Juna. ''Lo mau duduk di sini, apa mau nyusul kakak lo?'' Ucapnya dingin. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celananya. ''Eh, gue mau nyusul kak Elang aja,'' jawab Anna gugup. Setelah mendengar persetujuan dari Juna, Anna menaiki anak tangga satu per satu. Lalu pandangannya terhenti ke satu kamar, yang pintunya sedikit terbuka. Anna mendorong pintu itu, melihat keadaan di sekelilingnya. Ketika sudah aman, dia melangkahkan kakinya masuk. Lalu menghampiri kakaknya yang sedang menyuapi Maria. ''D-dia siapa?'' Tanya Maria gugup. Dia malah memeluk lututnya, wajahnya pucat pasi. Anna sendiri sampai kebinggungan. Sepertinya, depresi yang cukup berat. Elang mengelus pundak Maria, ''Dia adik aku Mar, dia anak baik-baik kok. Aku bakalan senang banget, kalau kamu bisa berteman baik sama dia,'' kata Elang lembut, matanya menatap Maria teduh. Anna mengangguk, lalu berjalan mendekat ke arah Maria. Di ulurkan tangannya, ''Aku Anna, semoga aku bisa berteman baik sama kakak ya?'' Maria membalas uluran tangan Anna. Lalu tersenyum manis, yang membuat wajah Maria berlipat kali lebih cantik. Pantas saja kakaknya kesem-sem sama Maria. Wajahnya itu lho, aduhai. ''Kak, cantik ya? Pantesan aja kak Elang kesem-sem sama kakak,'' ucap Anna antusias. Apalagi di lihatnya Maria tersipu malu atas ucapannya. Elang menyikut perut Anna dengan sikunya, ''Lo mah. Sok sksd banget sih,'' desisnya. Anna mengerucutkan bibirnya, ''Lo mah. Bukannya bantuin adiknya sksd, malah ngelarang adiknya sksd,'' ''Serah dah serah,'' ''Kak, mau curhat nih... tapi bagusnya sih ngak ada kak Elang di sini,'' kata Anna sambil melirik Elang dari ujung matanya. Maria mengangguk. ''Yaudah, kamu habisin makanannya dulu yah, abis itu kamu ngobrol-ngobrol aja sama Anna, biar kalian lebih dekat,'' Elang menyuapi kembali bubur ke dalam mulut Maria. Anna yang melihat kondisi Maria jadi tertantang, dirinya ingin sekali merubah Maria, bagaimana pun caranya, ia harus berhasil membuat Maria sadar, kalau dunia luar tak sejahat yang ia pikirkan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN