8. Partisipan

1695 Kata
“BANGUN, SHERIIIIINNN!!! lo nggak sekarat kan? astaga nagaaaa … jangan bikin kita panik ya!!!” “Astaga belum juga ditinggal dua puluh empat jam udah bonyok semua muka Bu Dokter!” Suara Wita dan Lila sontak membuat Sherin membelalakkan kedua mata. Begitu duduk tegak, kepalanya langsung terasa pening bak menghantam batu besar, karena memang ia baru tertidur beberapa jam setelah kembali dari rumah sakit. “Kenapa, kenapa? ada pasien darurat? Mana ponsel gue, mana?” masih linglung setengah sadar, Sherin mengulurkan tangan untuk mencari gawainya. Sebagai seorang dokter ia memang dituntut untuk selalu sigap dalam situasi apapun, apalagi jika berkaitan dengan pasien gawat darurat. "Jangan bercanda, lo aja masih sakit gini, masa mau handle orang sakit," omel Wita menepuk pundak sahabatnya agar segera sadar. Sherin mengusap wajahnya berkali-kali untuk menghalau kantuk. Dilihatnya jam digital di atas nakas sudah menunjukkan pukul delapan pagi. "Gue ada praktek jam sembilan, Wit," serunya pelan. "Gue udah bilang kalau lo cuti karena sakit. Diare parah dan muntah-muntah, jadi nggak mungkin nerima pasien," sahut Wita kemudian duduk tepat di sebelah kanan Sherin. "Wita sama suaminya jago bener kalau buat alasan yang masuk akal. Bagus mereka nggak bilang kalau lo habis dihajar preman." Lila yang duduk di sebelah kiri Sherin ikut menimpali. "Ya Tuhan.." Sherin mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan. "Terus pasien gue gimana? ada yang mau SC loh, Wit!" "Udah ada Dokter Lula yang siap gantiin. Gue bilang diare lo parah banget!” jawabnya tersenyum lebar. “Ngaca dulu deh, muka bonyok kayak gitu malah bikin pasien lo takut kali, Sher." Lila sigap mengambilkan cermin dan menyodorkannya pada Sherin. Meski mengamati wajahnya dalam diam, dalam hatinya Sherin setuju dengan kalimat Wita. Tak mungkin ia menemui dan memwriksa pasien dengan wajah setengah bengkak dan ditempeli plester seperti ini. "Oke kalau gitu gue balik tidur aja, kalian berdua sana minggat dulu deh!" Sherin mengibaskan satu tangan lalu kembali memeluk guling. "By the way, kita berdua ke sini bukan buat lihat lo tidur lagi ya!" Lila mengacungkan telunjuk ke ke depan wajah Sherin. "Mas Erik udah cerita semua, katanya lo mendadak ke UGD sama tetangga ganteng lo setelah dihajar sama preman suruhan Belindanya Barra?! Udah bikin laporan polisi?" Wita menggenggam telapak tangan Sherin kuat-kuat. Seolah tengah menyalurkan emosi. “Tetangganya Sherin ganteng ya?” Lila menyahut polos keluar dari topik. Wita berdecak sebal. “Astaga, Lila, bukan itu poinnya! Belinda tuh yang b*****t banget sampe ngirim orang buat gebukin Sherin! Dasar pelakor nggak ada otak! Harus dipenjara sampe mati tuh cewek!” Tiba-tiba saja ada amukan besar yang mengobrak-abrik batin Sherin saat ini. Ia menyetujui semua umpatan kasar yang dikatakan Wita. Bahkan ia sangat ingin membayar semua polisi untuk memenjarakan para preman itu dan juga Belinda sekaligus. Sherin mendadak meradang menyebut nama itu dalam hati. Ternyata belum cukup bagi perempuan itu mengambil kekasihnya, sekarang ia juga menyewa preman bayaran untuk menghajarnya tanpa ampun seperti semalam. Beruntung ada Danesh, tetangga depan rumah yang masih terjaga dan menolongnya. Astaga… Danesh, bagaimana keadaan pria itu? Sherin memejam begitu ingat kalau obat anti nyeri yang diresepkan Erik untuk Danesh terbawa olehnya. “Lo udah bikin laporan polisi?” tegas Wita sekali lagi. Sherin menggeleng pelan. “Bego! Gue aja yang nelpon polisi kalau lo nggak sanggup angkat ponsel.” Sherin menggeleng lagi dan menahan tangan Wita yang akan menempelkan ponsel ke telinga. Mencegah sahabatnya bertindak gegabah dengan melibatkan pihak kepolisian. “Lo serius, Sher?” “Opa bisa tahu kalau gue lapor polisi.” “Ya bagus dong!!” “Bukannya bagus, tapi opa bakalan tahu juga masalah gue yang diselingkuhi Barra.” “Terus?” “Gue semalam hampir bikin laporan ke polsek, tapi gue urungkan…” Kalimat Sherin menggantung begitu ia ingat ketika beberapa jam lalu Danesh membelokkan mobil ke kantor polisi dan mengajaknya membuat laporan kejahatan. Namun Sherin mendadak membatalkan niatan tersebut ketika mengingat sosok kakek yang begitu sayangi. “KENAPA?!” sahut Lila dan Wita kompak mendelik keheranan. “Opa udah tahu kalau Barra ngelamar gue, dan gue mengiyakannya. Barra juga sosok calon cucu menantu yang selalu dibangga-banggakan sama opa. Opa bakalan shock dan terpukul banget kalau tahu gue dihajar sama suruhan selingkuhannya Barra.” “Belibet deh ahh!!” decak Lila ikut gemas mendengar penjelasan Sherin. “Pokoknya opa nggak boleh denger tentang masalah ini dulu, biar gue sendiri yang jelasin pelan-pelan. Jadi jangan asal lapor lo.” “Terus elo mau diemin aja si kuntilakor Belinda itu setelah bikin kekacauan ini? Heh, gue nggak ikhlas dunia akhirat ya!! Minimal dia harus dijambak sampe botak dulu deh baru gue bisa kalem!!” desak Wita berapi-api. “Kalian berdua jangan cerewet dulu, nanti gue pikirin cara buat balas dendam ke cewek itu dan juga Barra! Gue udah dapetin alamatnya Belinda kok,” ujar Sherin memegangi lengan kanannya yang masih terasa nyeri akibat terbanting dengan posisi miring semalam. “Tunggu … tunggu… gue punya ide!” tiba-tiba Lila menyela dengan seringai lebar. Sherin yang melihat senyum sinis Lila mendadak merinding karena sangat mengenal bagaimana watak sahabatnya itu sejak remaja. Lila bisa sangat tenang dan lemah lembut pada orang yang memperlakukannya dengan baik. Namun ia juga bisa melakukan hal yang sebaliknya pada orang yang menindas dirinya atau orang-orang yang ia sayangangi. *** “Non Sherin, ada yang nyariin di bawah,” panggil Bik Nuning menyela pembicaraan tiga sahabat yang terlihat serius di ruang makan. Alis Sherin bertaut karena merasa tak memiliki janji temu dengan siapapun hari ini. Bik Nuning juga tak akan repot-repot memanggilnya seperti ini jika yang datang adalah Barra, karena pria itu selalu saja langsung menemuinya di kamar lantai dua tanpa meminta ijin pada asisten rumah tangganya tersebut. Terlebih lagi, saat ini Barra sedang ada pekerjaan di Batam, jadi tak mungkin pria itu repot-repot datang sepagi ini. “Siapa, Bik?” “Mas Danesh yang di depan rumah itu, Non. Saya suruh tunggu di ruang tamu.” “Ahh, pasti dia nanyain obat yang kebawa semalam,” gumam Sherin bangkit dari kursinya. “Makasih ya, Bik, bentar lagi aku temuin dia.” “Siapa, Sher?” Wita menoleh menatap sahabatnya. “Tetangga baru depan rumah, yang semalem ikut digebukin sama preman itu gara-gara nolongin gue. Dan … obat yang diresepin suami lo kebawa gue,” jawab Sherin tanpa menoleh karena ia sedang mendekati lemari kecil di sebelah dapur tempat ia menyimpan berbagai macam obat. “Yang katanya ganteng itu?” potong Lila mendadak berbinar. “Astaga Lila … bukan masalah gantengnya, tapi gue berhutang budi sama dia karena udah nolongin gue. Kalau nggak ada Mas Danesh mungkin temen lo ini udah kritis atau kehilangan nyawa.” Mulai saat ini Sherin menambahkan sebutan ‘Mas’ saat memanggil Danesh, sejak menganggap pria itu jauh lebih dewasa dan lebih tenang darinya. “Iya gue paham, tapi maksud gue … kalau emang dia seganteng itu, bisa tuh sekalian kita mintai tolong buat menyempurnakan pembalasan dendam lo ke Barra dan pereknya.” Sherin menyipitkan mata memperhatikan Lila. “Lo lagi baca novel apa sih? Jangan-jangan ide lo dapet dari naskah novel yang lagi lo baca. Ngeri!” Lila terkikik lalu berdiri menghampiri Sherin yang tengah berjalan menuju ruang utama, diikuti Wita juga yang akhirnya penasaran dengan ide di kepala sahabatnya yang lain. “Pokoknya gue jamin, lo suka sama cara pembalasan kali ini. Makin perfect kalau tetangga lo mau ikut berpartisipasi di dalamnya.” “Jangan bawa-bawa tetangga gue deh, dia nggak tahu apa-apa!” sergah Sherin mengingatkan Lila. “Itu yang namanya Mas Danesh?” Wita menghentikan langkah saat mengendik ke ruang tamu, dia mana Danesh sedang duduk seorang diri, dan kini sedang tersenyum ke arah mereka bertiga. “Astaga sumpah, ganteng banget, Sheriiin!! Muka Barra kayak keset gembel kalau dibanding dia,” lirih Lila terdengar berlebihan. Sherin memutar bola mata malas, lantas meninggalkan kedua sahabatnya yang masih berdiri di tempat melihat si tetangga baru depan rumah. “Mas, pasti mau ambil ini ya? sorry semalem kebawa, dan aku langsung ketiduran.” “It’s okay, udah mendingan banget kok ini.” Danesh tersenyum manis saat menunjuk dagunya yang dipasangi plester karena luka sayatnya lumayan panjang meski tak sampai mendapat jahitan. Sherin mengangguk paham. “Sekali lagi, makasih banyak, Mas. Aku nggak tahu gimana nasibku kalau nggak ada Mas semalam,” seru Sherin setelah meletakkan plastik berisi obat di depan Danesh. Pria itu mengangguk singkat. “Aku ke sini sekalian mastiin kamu, siapa tahu berubah pikiran.” “Berubah pikiran?” tanya Sherin tak mengerti. “Bikin laporan kepolisian. Kamu udah punya hasil visum, tinggal bikin lapo—” Sherin menggeleng cepat. “Aku nggak berubah pikiran soal itu, Mas. Aku nggak akan bikin laporan dan membuat masalah ini jadi panjang lebar. Aku bisa selesaikan sendiri.” “Kalau bikin laporan malah rumit, Mas. Opa Sherin di Jakarta bisa tahu, kesehatan Beliau terlalu rentan mendengar kejadian semalam.” Wita yang berdiri di belakang sofa yang diduduki Sherin mendadak ikut menimpali. “Apalagi datangnya preman itu masih berkaitan dengan pacarnya Sherin yang seling—” “Wita! too much information!” Sherin mendelik mengingatkan. “Saya cukup paham situasi semalam dari Dokter Erik,” ujar Danesh ikut menyela. Tanpa dijelaskan detail pun ia bisa menarik kesimpulan dari percakapan Sherin dan rekan sejawatnya semalam. Sherin berdecak sebal karena bertambah lagi orang yang akan mengasihani nasibnya perkara menjadi korban perselingkuhan sekaligus penganiayaan. “Astaga, sinetron banget hidup gue ya,” keluh Sherin mengusap wajahnya. “Oke kalau kamu nggak mau lapor polisi, saya juga nggak berhak memaksa.” Danesh tersenyum saat mengambil obatnya. “Tapi kalau kamu butuh bantuan, entah itu terkait kesaksian atau apa saja, saya siap bantuin. Jangan sungkan,” sambungnya lantas bangkit berdiri hendak berpamitan. Sherin balas tersenyum. “Terima kasih banyak, Mas Dan—” “Kalau gitu, Mas Danesh mau nggak bantuin Sherin balas perbuatan pacar dan selingkuhannya? Setidaknya … perbuatan jahat mereka harus dibalas impas kan?” potong Lila memasang senyum lebar dan mengabaikan tatapan tajam Sherin dan Wita. “Lilaaaa!!!” Bukannya menolak, Danesh justru terkekeh pelan menanggapi tawaran Lila untuk menjadi partisipan dari rencananya. Menarik. “Kalian … butuh bantuan apa?” tanya Danesh memasukkan satu tangan ke saku celana. “Astaga, Mas Danesh jangan ditanggepin!!!” Sherin menggeleng cepat lalu meraup wajahnya menahan malu akan tingkah laku sahabatnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN