"Astaga Sherin, lo tuh batu banget ya ternyata. Udah deh gue aja yang turun buat jambak tuh pelakor nista!!" Lila yang tersulut emosi hendak melepas sabuk pengaman.
"Jangan!" Sherin cepat-cepat menahan lengan sahabatnya agar tak kalap di tempat umum seperti ini. "Gue mau ngumpulin bukti sebanyak mungkin, sebelum bongkar semuanya. Jangan bikin keributan!"
"Tapi itu mereka berdua udah jelas banget selingkuhnya. Lo mau nunggu ceweknya bunting dulu baru mau nangis darah?"
Sherin memejam sejenak, mulut sahabatnya ini terlalu frontal dalam berbicara. Malam ini ia mengajak Lila membuntuti Barra untuk menjawab firasatnya saja. Bukan berniat melabrak bar-bar sepasang manusia yang kini tengah berangkulan mesra menuju lobby hotel itu.
"Gue lagi nunggu waktu yang tepat."
"Kapan? nunggu onta bisa nari kayang?" Lila menghempaskan punggung ke sandaran kurai sambil memaki-maki Barra.
"Nanti. Gue pengen tikam balik Barra dan Belinda sampai mereka ngerasain gimana sakit hatinya gue sekarang," jawab Sherin denga netra berkabut. Tak kuasa menahan sesak setiap kali mengingat bagaimana perasaan tulusnya pada Barra justru dibalas pengkhianatan seperti ini.
"Gue bagian nikam si kunti itu, rasanya pengen gue kulitin aja tuh kepalanya sampai botak." Lila kembali mengepalkan tangan dan membuat gerakan meremas-remas. "Gue yakin ini bukan yang pertama, Sher. Gue kan pernah bilang dulu, gue lihat Barra sama cewek bogel di Ibis apart, tapi elo nggak percaya."
Sherin masih mengingatnya. Beberapa bulan silam Lila memang pernah mengatakan hal tersebut. Namun dengan polosnya Sherin menepis dan tak percaya karena terlalu cinta dengan kekasih yang ia anggap pria setia. Namun nyatanya...
"Sekarang terbukti kan, cewek bogel itu ternyata ya si Belinda kuntilakor itu!!" sambung Lila masih mengumpat pedas.
Sherin menipiskan bibir. Tak terlalu peduli dengan omelan Lila karena matanya masih terpaku dengan kemesraan Barra yang memeluk pinggang Belinda, sementara perempuan itu bergelayut manja sambil sesekali tersenyum lebar. Nampak bahagia sekali bukan? Padahal baru dua puluh empat jam lalu Barra melamarnya lengkap dengan cincin berlian. Tapi malam ini, yang katanya ia sedang lembur karena perkerjaan menumpuk, justru 'lembur' check in hotel dengan selingkuhannya.
"Sher!! Malah bengong!" bentak Lila mulai gemas dengan sahabatnya.
Sherin menggeleng pelan tanpa repot-repot menoleh. Dengan satu tangan ia mengusap ujung mata yang ternyata mulai basah. "Gue bingung, Lil. Kepala gue buntu, sumpah!"
"Empat tahun ini gue dianggep apa coba?" suara Sherin hampir terisak. "Padahal gue udah tulus banget sayang ke Barra. Opa juga udah anggap Barra sebagai cucu sendiri saking sayangnya. Beliau berhaap banyak pada hubungan kami selama ini."
"Elo terlalu polos sih, makanya dibohongin terang-terangan gini malah baru nyadar."
Sherin menggeleng lagi. "Itu karena gue beneran percaya dan sayang dia, Lila. Gue nggak pernah curiga sama Barra, apalagi dia selalu tenang dan sopan banget ke gue."
"Justru yang tenang dan sopan gitu ... biasanya aslinya liar dan munafik," cibir Lila sekali lagi. "Atau jangan-jangan ... elo terlalu lurus selama pacaran sama si buaya itu, makanya dia nyari pelampiasan ke cewek lain." Lila langsung menoleh dan memperhatikann raut wajah Sherin.
"Maksud lo, gue terlalu lurus karena belum having s*x sama Barra?"
“Ya iyalah… hari gini, Sherin … mana ada pacaran yang betah cuma peluk atau cipokan doang!?”
Ada. Dan itulah yang Sherin jalani selama empat tahun ke belakang dengan Barra. Bukannya Sherin enggan atau menolak hubungan yang lebih intim, namun Barra selalu beralasan ingin menjaga Sherin seutuhnya sampai mereka terikat dalam pernikahan. Bayangkan saja, bagaimana Sherin tak makin luluh pada Barra jika pria itu selalu tampil bak malaikat di depannya.
“Tapi Barra … dia yang,..” Sherin tercekat sendiri dengan kalimatnya.
“Barra yang nggak mau? Bullshit!! cuma cowok jadi-jadian atau munafik yang bakalan nolak tidur sama cewek cantik dengan body menggiurkan kayak elo, Sherin!” Lila menggeleng tak percaya.
“Dia bilang mau jaga gue sampai kami menika—”
Gelak tawa Lila memotong kalimat Sherin. “Omongan buaya jangan ada yang elo percaya ya, Sher. Apalagi buktinya udah di depan mata kayak gini,” pungkas Lila mengusap lengan sahabatnya.
“Udah deh, sekarang lo geser sini, gue aja yang nyetir. Elo nggak bakalan bisa fokus nyetir kalau hampir nangis gitu.” Lila melepas sabuk pengaman lantas keluar untuk memutari mobil. Menggantikan posisi Sherin yang tadinya memegang kemudi. Ia tak ingin mati konyol jika Sherin tetap menyetir dengan keadaan galau seperti ini.
***
Sherin menghentikan mobil di depan gerbang rumahnya tepat pukul tiga dini hari. Ia menolak keras ketika Lila menawarkan diri mengantarnya pulang, karena Sherin sudah hapal jadwal kegiatan Lila yang harus berjibaku dengan pekerjaannya di restoran sebelum subuh. Ia tak ingin urusan asmaranya yang rumit ini ikut mempersulit kehidupan orang lain.
Cukup lama Sherin berdiam diri di dalam mobil untuk meredakan tangis. Tangisan sia-sia yang tak seharusnya ia tumpahkan untuk kekasih pengkhianatnya. Setelah memastikan wajahnya bersih dari air mata, barulah gadis itu turun dari mobil dengan membawa kunci cadangan untuk membuka pagar.
“Pagar sialan!! lo mau ngeledek gue juga ya?!” omel Sherin karena sudah beberapa menit tetap gagal membuka gembok yang ada di genggamannya.
Tak mungkin ia meminta bantuan petugas keamanan perumahan karena jarak pos security terlalu jauh dari rumahnya. Melampiaskan kekesalannya yang semakin menjadi Sherin hanya bisa menendang-nendang pagar besi rumahnya sampai menimbulkan suara berisik yang mengganggu telinga.
“Gue tubruk juga lo lama-lama ya?!” sambil berkacak pinggang Sherin kembali menendang pagar besi tak berdosa di depannya. “Lo sama bangsatnya kayak Barra dan Belinda ya ternyata!!” geram Sherin makin menjadi.
“Kunci sial—”
“Kamu muter kuncinya kebalik.” Suara asing seorang pria membuat Sherin berjingkat kaget hingga mundur beberapa langkah.
“Ap—” Sherin menyipitkan mata pada sosok jangkung yang baru kali ini ia temui. Bukan petugas keamanaan perumahan, bukan juga tetangga dekat yang biasanya ia kenali.
Pria tersebut berperawakan tinggi menggunakan kaos polos putih dan celana training coklat terang yang sesekali memegangi sebelah telinga. Sepertinya cukup terusik dengan keributan yang ditimbulkan oleh Sherin yang tengah ‘memarahi’ pagar rumahnya sendiri.
“Pagarnya nggak akan kebuka kalau kamu tendang-tendang gitu. Yang ada malah bikin berisik satu kompleks!” Suara pria itu kembali terdengar melayangkan protes.
Sherin memicing sekilas lantas tetap mengumpati kesialannya hari ini. “Bodoh amat!!” ujarnya lantas kembali sibuk dengan kunci dan gembok yang masih bertengger di pagar besi rumahnya.
“Astaga … kamu muter kuncinya kebalik, keharusnya ke kiri, bukan kanan!” ulang pria memutar bola matanya jengah.
Sherin kembali mundur satu langkah ketika pria itu maju mendekat. “Lo—, kamu siapa?”
“Penghuni baru di rumah depan,” jawab pria itu santai. Malah tangan kanannya kini terulur untuk meminta kunci gembok yang ada di telapak tangan Sherin.
Sherin melirik ke belakang punggung pria itu, rumah lantai dua yang berada tepat di depan tempat tinggalnya memang sebelumnya kosong. Namun saat ini, ia lihat mulai terang karena penerangan di teras dan lampu taman menyala. Jangan lupakan juga kondisi gerbang yang terbuka dan memperlihatkan dua mobil mentereng sedang terparkir di sana. Sherin jelas ketinggalan berita kalau ternyata ia punya tetangga baru yang entah sejak kapan menghuni kompleks perumahan ini.
“Sini kuncinya.” Melihat perempuan di depannya yang hanya bergeming menelisik dirinya, pria itu langsung merebut kunci gembok dari tangan Sherin.
“Heiii…” sergah Sherin namun pasrah saja ketika kunci tersebut berpindah dari tangannya. "Ngapain kam—" Kalimat Sherin kembali menggantung saat si tetangga baru melangkah mendekati pagar. Mengutak-atik kunci dan gembok di gerbang rumah Sherin, lalu dengan sekali putaran ia berhasil membuka pagar tersebut.
Taraaa...
Sherin mengernyit keheranan. Hanya dalam hitungan detik bisa terbuka, sedangkan dirinya tadi hampir setengah jam mencoba namun hasilnya nihil semata. Double sialan!!
"Kenapa nggak nelpon orang rumah?" pria dengan rambut acak-acakan itu mengendikkan dagu ke arah rumah Sherin yang nampak sepi meski beberapa lampu menyala terang.
Sherin mendongak tajam karena perbedaan tinggi mereka yang terlalu jauh. "Lagi kosong," jawabnya singkat. Rasanya tak perlu menjelaskan tentang kealpaan Bik Nuning, pekerja rumah tangganya yang sedang ijin tiga hari untuk menikahkan putri tunggalnya.
Mendengar jawaban Sherin, pria yang tersebut hanya manggut-manggut sesaat. "Nih kuncinya," ujarnya mengulurkan tangan hendak mengembalikan kunci milik Sherin.
"Thanks me later." Pria jangkung itu tersenyum miring saat mengembalikan kunci pagar milik Sherin. Kemudian berbalik hendak menyeberang ke rumah yang kini ia tinggali.
“Tunggu,” panggil Sherin membuat pria tersebut kembali menoleh.
“Hmm…”
“Sherin, dan yaa, thank you bantuannya meski aku nggak minta,” ujar Sherin dengan nada datar saat memperkenalkan diri sekaligus berterimakasih. Tak sopan saja rasanya jika ia tetap mematung padahal sudah mendapat pertolongan di pagi buta seperti ini.
Lagi-lagi pria tersebut tersenyum simpul sampai memperlihat lesung pipinya. “You’re welcome. Saya Daneshwara.”
♥♥♥