"Bar, ponsel kamu ketinggalan lagi nih di dapur. Kebiasaan banget sih!!" omel Sherin sengaja menaikkan suara karena sebal dengan kebiasaan Barra yang sering lupa dengan barang-barang miliknya. Kadang dompet, kunci mobil, rokok, korek api dan kali ini … ponsel.
"Iya, tolong sekalian bawain ke depan ya, Sayang." Barra sedang berada di garasi untuk memanasi mobil, jadi yang ia lakukan hanya menjawab dengan teriakan lantang pada Sherin.
"Dasar pikun ah, ka—" gerutuan Sherin terhenti saat bola matanya kembali ditimpa kesialan karena tanpa sengaja membaca pop up pesan di ponsel yang ia genggam. Tentu saja ponsel. Barra.
Sayang, thx buat gelangnya, lucu banget.
Nanti malam aku tunggu di tempat biasa ya..
Love you banyak-banyak.😘
Sherin kembali merutuki nasibnya pagi ini. Entah Barra yang tak lihai berselingkuh atau memang sengaja ingin Sherin memergoki perbuatannya begitu saja.
Perempuan itu terpaku seketika. Jari-jarinya yang hendak mengoles lipstik berwarna nude seketika membeku, demikian pula napasnya. Jelas itu pesan yang sama dari si pelakor laknat Belinda yang kemarin juga tak sengaja ia baca.
Ternyata sebelum semalam ia mendapatkan cincin berlian mahal dari Barra, kekasihnya itu sudah lebih dahulu memberikan hadiah ‘gelang lucu’ pada selir sialannya. Lelucon macam apa ini?
“Sayang malah bengong, ayo berangkat, kamu mulai praktik jam sembilan kan?” ujar Barra yang menyusulnya ke dalam rumah lantas mengambil ponsel dari tangan Sherin untuk ia masukkan ke dalam saku celana. Masih dengan senyum semanis manis madu, tanpa rasa bersalah karena telah mendua.
“Ayo..” ulang Barra kini mengulurkan tangan kanan.
“Ah, hmm … aku nggak bengong kok, ini tadi baru dikabari Cecil kalau ada pasien lama Dokter Yuni yang masuk UGD, aku diminta ke sana dulu sebelum ke poli.” Sherin tersenyum hambar sembari menahan panas yang mulai menjalar ke pelupuk mata.
Jangan menangis, jangan menangis, Sherin … Perempuan itu menggigit bibir dan mulai mensugesti dirinya sendiri.
Tukang selingkuh seperti Barra tak layak untuk mendapatkan air mata kesedihan darinya. Yang perlu Sherin lakukan sekarang justru menyusun strategi balas dendam agar pria yang berprofesi sebagai pengacara itu menyesal setengah mati sudah mekhianatinya.
“Nanti sore kamu beneran nggak bisa jemput?”
Hari senin dan kamis, Sherin mendapatkan dua shift praktik pagi dan sore karena ada salah satu dokter kandungan yang baru saja pindah ke luar kota. Dan sebagai pendatang baru, dengan senang hati Sherin menawarkan diri, anggap saja sebagai rasa terima kasih karena akhirnya ia bisa masuk ke rumah sakit ternama ini tanpa halangan berarti.
“Nanti malam aku lembur, Sayang…”
Lembur dengan selingkuhan?
Sherin mengunci bibir, namun matanya melirik tajam ke arah Barra yang mulai melajukan mobil membelah padatnya jalanan.
“Ada kasus penggelapan donasi yang aku baru pegang. Terus diminta papa juga buat dampingi pengacara junior yang baru gabung. Besok subuh aku juga harus terbang ke Medan dua hari buat ngecek lokasi yang jadi sengketa.”
“Ternyata lebih sibuk jadi pengacara ya? kirain jadi dokter udah yang paling sibuk,” ujar Sherin tersenyum miring.
“Kamu kan palingan sekali praktik tiga atau empat jam, terus keliling ke kamar pasien. Terus udah, bisa pulang dan leha-leha sambil nonton channel youtube favoritmu. Kalau aku… ?” Barra menunjuk dirinya sendiri. “Kelar satu kasus, datang lagi kasus lain. Dari satu sidang ke sidang lain, belum lagi kalau kliennya ribet.”
Biasanya, Sherin menganggap kalimat Barra yang sejenis itu hanya kelakaran semata. Tapi kali ini, setelah mengetahui tabiat belangnya, Sherin baru sadar kalau kekasihnya itu benar-benar merendahkan profesinya.
“Sabar yaa… nanti pulang dari Medan kita kencan romantis lagi.” Barra mengulurkan tangan kiri untuk mengusap-usap jemari sang pujaan hati.
“It’s okay, nggak masalah. Nanti sore aku nongkrong ke tempat Lila aja dulu kalau kamu sibuk. Udah beberapa hari nggak ketemu Lila, jadi kangen.” Sherin mengulas senyum palsu saat membalas tatapan Barra.
***
Barra memandangi dengan tatapan sayu sosok molek dan rupawan yang kini tengah melenguh di bawah naungan tubuhnya. Keningnya mengkilat karena keringat, rambut panjangnya berantakan di atas bantal, bibir merahnya sedikit bengkak karena keduanya saling memagut mesra.
“Sayang, ah … pelan-pelan,” pinta Belinda dengan suara manja.
Iya, perempuan cantik yang tengah membakar hasrat Barra bukanlah sang kekasih yang ia akui paling cantik sedunia. Melainkan Belinda, gadis mungil dan manis yang setahun terakhir ini menjadi rekan kerjanya di firma hukum milik sang ayah.
Barra sadar betul perselingkuhannya ini adalah perbuatan yang salah, namun di saat yang sama ia juga merasa benar karena begitu menikmati debaran yang menggila. Debar hasrat yang disuguhkan Belinda sungguh berbeda dengan apa yang ia terima dari Sherin. Apalagi pria itu tak mampu melakukan perbuatan yang kini lakukan pada Sherin.
Bertahun lalu, Barra pikir perasaan cintanya pada Sherin sangat kuat dan tak tergoyahkan oleh apapun. Namun lihatnya saat ini, saat ia bergumul liar dengan Belinda, Barra sama sekali tidak memikirkan kekasihnya itu. Miris, namun sepuas itu ia menikmatinya.
Ketika pertempuran melelahkan penuh keringat itu usai, Barra duduk mematung di sisi tempat tidur, memandang hampa langit-langit kamar hotel yang temaram. Tubuhnya bersimbah peluh dan rambutnya juga berantakan, satu lengan ramping bergelanyut manja dari arah belakang tubuh telanjangnya, lalu perlahan-lahan memeluk perutnya.
“Kamu kenapa kelihatan suntuk gitu sih, Sayang? Padahal baru aja aku kasih yang enak-enak. Kurang ya?” Belinda sudah duduk tepat di sebelah Barra tanpa repot-repot menutupi bagian atas tubuhnya yang polos tak tertutup apa-apa.
Barra tersenyum miring, lantas memiringkan tubuh untuk mengambil bathrobe dan memakainya. “Bel,” panggilnya lantas memegang telapak tangan Belinda.
Belinda sontak tersenyum, ini bukan pertama kalinya Barra membuatnya tersipu dan berdebar setiap kali memanggilnya begitu lembut. Apalagi setelah satu sesi percintaan yang baru saja mereka selesaikan. Apa itu artinya Barra akan meminta sesi lanjutan?
“Hmm?” Belinda meletakkan dagunya di atas bahu Barra.
“Kita break ya?” lirih Barra tanpa repot menoleh pada sang wanita.
Belinda menautkan alis masih mencoba mencerna kalimat singkat pria tampan di sebelahnya. “Hah gimana?”
“Putus. Kita putus ya?”
Belinda tak langsung menjawab. Perempuan ramping itu memundurkan tubuhnya sesaat lalu meraih wajah Barra agar pria itu menatapnya lekat. “Coba ngomong sekali lagi, yang jelas!” tantangnya.
“Aku mau kita putus, Belinda.” Barra menunjukkan wajah serius.
“Serius? Setelah hubungan kita selama ini? setelah kamu jelas-jelas bilang ‘I love you’ berkali-kali? Really, Bar?”
“Dengerin dulu penjelasanku—” Barra merangkum kedua telapak tangan Belinda dengan jemarinya.
“Kenapa? kamu mulai bosen sama aku, kayak kamu bosen sama Mbak Lani?”
Barra menelan ludah susah payah. Lani adalah pemilik kafe yang ada di sebelah kantornya, mereka memang pernah menjalin kasih sebelumnya— di belakang Sherin tentu saja. Namun hubungan itu hanya berlangsung beberapa bulan karena Lani menikah dengan pria yang dijodohkan dengannya.
“Nggak ada hubungannya sama Lani, dan jangan bawa-bawa nama dia.”
“Atau karena … kamu udah dapet service yang lebih oke dari pacar kamu yang suci itu? lebih enak sama dia yang masih perawan ting-ting ya?” Belinda mulai tak terima dan meninggikan suara. Jangan abaikan juga kedua netra yang mulai berkaca-kaca memainkan perannya.
"Kami nggak pernah melakukan itu, Bel, jangan ngaco." Barra bangkit berdiri mulai kesal dengan cecaran Belinda.
"Seriusan? Kamu dan pacar kamu si Sherin-Sherin empat tahun pacaran ngapain aja? ngaji bareng?!"
"Enggak semua orang yang pacaran harus melakukan hubungan badan, Belinda."
“Oh, s**t!! Ngomong sama diri kamu sendiri sepuluh menit yang lalu waktu kamu klimaks nyebut namaku!!” Belinda tersenyum getir saat menatap tajam pada Barra dihiasi dengan luruh air mata.
“Bel, please! Kita ngomong dengan kepala dingin ya?” Barra mencoba membujuk saat menyentuh lengan Belinda.
“Karena kamu nggak bisa nyentuh si dokter suci itu, jadi nyalurin nafsunya ke aku? atau … kamu nggak mau ngerusak pacar kamu yang sempurna dan kaya raya itu, tapi malah ngerusak perempuan lain? Aku nggak nyangka, Pak Barra yang banyak dipuji-puji orang kantor ini ternyata munafik!” cecar Belinda kembali menyindir.
Barra menoleh sesaat. “Beli, dengerin dulu!”
“Apa!!” Belinda mendongak sambil mengusap tetesan air mata.
“Semalam aku udah lamar Sherin, jadi kita nggak bisa nerusin hubungan ini.” Barra menjelaskan secara singkat.
“Manisnyaaaa, ternyata gelang mahal yang kamu kasih beberapa waktu lalu itu buat sogokan ya? karena kamu mau ngelamar si dokter perawan itu dan mau mutusin selingkuhan kamu ini?” Belinda menunjuk dirinya sendiri.
“Nggak gitu, aku tulus ngasih gelang itu karena sayang sama kamu.”
“Kalau sayang, ngapain minta putus! Lagi pula, selingkuh itu penyakit, Barra! Sekali kamu melakukannya, di lain waktu kamu pasti akan mengulanginya.” Belinda mengangkat telunjuk di depan wajah Barra. “Pokoknya, aku nggak mau putus. Titik!”
“Bel…” Barra mendesah pelan.
“Sekali lagi kamu minta putus, aku hancurin Sherin-Sherin si perawan tua itu!!”
***