Gylea dan Alicka belum beranjak dari tempatnya. Masih mengobrol dengan akrabnya, sampai tidak merasakan terpaan angin petang di taman itu.
"Kamu butuh teman untuk berbagi, sehingga beban batinmu terasa ringan. Mulai sekarang...." Gylea memegang wajah Alicka dengan kedua tangan dan menatapnya.
"Kamu harus melupakan semua rasa sakit itu. Kamu harus sadar sepenuhnya bahwa orang tuamu sudah benar-benar tidak ada, tidak bisa lagi menolongmu. Kamu tidak bisa juga mengharapkan kakakmu untuk mengasihanimu. Harus punya tekad yang kuat bahwa hidupmu sekarang adalah milikmu sendiri, tanpa harus tergantung atau berharap pada siapapun. Jadikan pengalaman pahit itu sebagai peringatan, supaya kamu tidak akan jatuh lagi ke lubang yang sama. Kamu tidak bodoh, Alicka. Wajahmu juga sangat cantik, jadi jangan sia-siakan anugerah dari Tuhan ini." Gylea terus menyemangatinya.
Karena inilah tujuannya melakukan terapi bicara, agar Alicka termotivasi untuk kembali bangkit, mau menata hidupnya dengan penuh semangat.
"Tapi aku sudah menjadi gadis yang tidak ada harganya lagi, Lea. Aku sudah rusak di mata laki-laki manapun." ujarnya, kembali dengan raut mukanya yang sedih.
"Jangan menjadikan dirimu rendah diri Alick. Suatu saat kamu akan menemukan seorang laki-laki yang akan benar-benar mencintaimu. Tanpa memandang wajahmu yang cantik juga masa lalumu yang kelam. Tetapi karena melihatmu secara pribadi. Seorang Alicka yang bisa menghadapi hidup ini dengan penuh semangat!"
"Ya! Aku suka semangatmu itu, Lea!" teriaknya keras-keras membuat Gylea tertawa.
"Ya, kamu pun harus punya semangat itu Alick!" dan mereka tertawa bersama-sama lagi..
"Ngomong-ngomong, kenapa kak Bas belum juga datang ke sini, apakah kakak memberi kabar padamu?" tanya Alicka.
Gylea agak bingung menjawabnya, karena sudah dua minggu ini, Bastian tidak datang. Setidaknya bisa menghubunginya lewat telepon rumah atau telepon seluler. Apakah hanya kepada bi Lies saja, laki-laki itu mau bicara?
Gylea jadi merasa marah. Tetapi tidak mungkin mengatakannya secara terus terang pada gadis yang baru pulih ingatannya itu. Pasti Alicka akan merasa sangat kecewa dan merasa seolah dibuang di tempat yang walaupun sangat indah dan megah, tetapi sangat terpencil dari dunia luar.
"Biasanya kakakmu datang di setiap akhir pekan untuk menjengukmu, dan melihat bagaimana perkembangan kesehatanmu. Hanya akhir-akhir ini kakakmu sedang sangat sibuk dengan pekerjaannya." katanya berbohong.
"Tapi kamu sudah memberi tahu keadaanku yang sekarang, kan?" tanya Alicka.
Gylea berpikir sejenak, untuk mendapatkan ide agar jawaban tidak terlalu mengada-ngada.
"Belum. Sengaja aku tidak memberitahu kakakmu, sekedar ingin memberi kejutan padanya." terangnya, lebih masuk akal.
"Oh, ya?"
"Ya! apa kamu setuju dengan tindakanku, ini? Memang agak susah juga sih, kalau melihat sikapnya yang dingin itu." Gylea tersenyum masam. "Kakakmu tidak mudah untuk bisa dikejutkan, tapi setidaknya kita telah mencobanya." tambahnya lagi dengan tawa yang tidak sepenuhnya lepas.
"Kamu ternyata suka jahil juga." Alicka jadi ikut tertawa.
Gylea hanya tersenyum ganjil. menanggapi ucapan Alicka. Ia sendiri tidak begitu yakin, apa Bastian akan merasa senang atau biasa-biasa saja. Ketika melihat kesembuhan adiknya.
"Untuk sekarang ini, lebih baik kita fokus dulu pada kakimu itu, Alick. Siapa tahu saat kakakmu datang, kamu sudah bisa berjalan."
"Aku tidak tahu, apakah kak Bas akan merasa senang dengan kesembuhanku, ini?" tanya gadis itu, agak pesimis.
"Alicka, kamu sudah lupa ya? Apa yang telah aku katakan, bahwa kamu tidak boleh merasa sedih lagi. Apapun yang terjadi dalam hidupmu, kamu harus tetap punya semangat. Dan aku yakin, dibalik sikap kakakmu itu, sebenarnya ada kasih sayang yang mungkin tersembunyi di dalam hatinya. Mengenai alasan kenapa ia tak bisa menunjukannya? suatu saat kita akan mengetahuinya juga."
"Kamu benar, bila kak Bas tak peduli padaku, mungkin dia tidak akan memintamu untuk merawatku." Alicka jadi merasa tergugu dengan jalan pikirannya sendiri.
"Aku senang dengan pikiran positifmu itu." Gylea mencolek hidung mancung Alicka, membuat gadis itu kembali tertawa.
"Uh, dinginnya. Gak kerasa matahari sudah tenggelam, sudah saatnya kita masuk ke rumah, Alick." Gylea bangkit lalu mulai mendorong kursi rodanya.
"Mengobrol denganmu terasa menyenangkan, hingga tidak terasa waktu sudah berlalu." komentar Alicka.
---------------------
"Bagus, Alicka ...! Kakimu sudah mulai kuat. Kamu akan bisa berjalan lagi!” Seru Gylea menyemangati, membantu Alicka berjalan agak jauh dengan bertompang pada kayu yang memanjang itu.
Dengan bercucuran keringat, Alicka tertawa. ”Kalau sudah bisa berjalan yang pertama-tama akan kulakukan adalah menantangmu berenang.”
“Hah! Aku tidak tahu lagi apa aku masih bisa berenang atau tidaknya, Alick. Aku hanya belajar saat masih sekolah di SD dan SMP. Selanjutnya aku tidak pernah lagi masuk ke kolam renang.” katanya sambil membantu Alicka untuk naik ke kursi rodanya, kemudian mendorongnya menuju kehalaman samping sebelah kiri istana, di mana ada kolam renangnya.
"Kalau begitu kamu harus mencobanya. Kolam renang ini sepertinya tidak pernah ada yang mau menggunakannya, sayang sekali bukan?”
"Oh, tidak! Alick ….” seru Gylea, tidak menyetujuinya.
“Memangnya kenapa? Kalau kamu merasa malu, tidak ada siapa-siapa disini. Apalagi kak Bastian.” kata Alicka sedikit menertawainya.
Seperti diingatkan kembali pada laki-laki itu, membuat Gylea jadi geram. Sudah dua minggu ini Bastian tidak menengok keadaan adiknya. Besok adalah hari Sabtu, apa laki-laki itu tidak akan datang juga?
“Kolam renang ini, sepertinya cukup dalam.” gumam Gylea, berusaha mengalihkan ingatannya dari Bastian yang membuat perasaannya tidak terasa nyaman.
“Lah! Tidak begitu dalam Lea, coba saja!” Alicka mendesaknya.
“Aku tak punya baju renang.” elaknya beralasan.
“Kamu bisa meminjam yang punyaku.”
“Punyamu?” Gylea memandang tubuh Alicka yang kurus.
“Jangan lihat tubuhku yang sekarang, beberapa bulan yang lalu tubuhku agak berisi." ucapnya dalam tawa.
“Tidak, baju renangmu pasti terbuka semua.” Alicka tersenyum, membayangkan kalau baju renangnya memang tepat seperti dugaan Gylea.
“Baiklah, aku akan terima tantanganmu. Makanya cepat bisa jalan, agar kita tahu apa aku masih bisa berenang atau tidaknya” Gylea menyerah pada akhirnya.
“Kamu memang paling bisa membuat orang jadi penasaran.” kata Alicka.
tertawa, diikuti oleh Gylea.
Namun, tiba-tiba tawa mereka tertahan dengan kehadiran sesosok tubuh tinggi. Berjalan dari arah berlawanan. Mengenakan kaos berkerah warna putih dan celana pendek berbahan denim. Bastian! Ada angin apa, yang membawa laki-laki itu datang di hari yang tidak biasanya?
“Menakjubkan! Rupanya matahari telah bersinar lagi di dunia ini.” katanya datar, sambil berjalan mendekati ke arah mereka.
Kedua tangannya berada di saku celananya, nampak santai. Akan tetapi, tidak dengan tatapannya yang masih kelihatan sinis. Membuat Gylea merasa heran. Seharusnya Bastian terlihat gembira, melihat adiknya telah pulih kembali. Setidaknya memberi kata selamat pada Alicka, sebagai bentuk perhatiannya. Tetapi ini? Wajahnya tetap saja menyebalkan. Benar-benar laki-laki yang tidak punya hati.
"Setahuku matahari tidak pernah padam. Anda saja yang menutup mata dari segala hal." ketusnya, tidak berusaha menyembunyikan rasa tidak sukanya.
Terlihat Bastian agak memicingkan matanya, mendengar ucapan Gylea dengan nada ketusnya itu.
"Anda yang lupa, kalau matahari bersinar untuk kita semua." katanya masih dengan nada datar.
Dengan kilatan matanya yang tajam, penuh kemarahan, Gylea segera mendorong kursi rodanya.
Begitu melewati Bastian, Gylea berkata keras-keras. “Kita pergi dari sini, Alick. Sebab matahari hanya bersinar untuk dirinya sendiri. Kita cari sinar matahari di tempat lain saja, daripada kita harus mengucurkan keringat karena kepanasan. Kamu perlu kesejukan bukan panasnya api neraka.”
Sungguh, Gylea sudah tidak dapat lagi menahan rasa kesalnya. Laki-laki ini telah benar-benar memacu emosinya.
Akan tetapi, kenapa ia jadi sangat marah? Gylea sendiri tidak mengerti.
Langkah Bastian terhenti ketika mendengar kata-kata Gylea. Ia tertegun tak mengerti, mengapa gadis itu bersikap marah padanya?
Dia merasa bersikap biasa saja, tetapi gadis jutek itu selalu saja ingin menguji kesabarannya.
Padahal tadi dia ingin mengucapkan selamat atas keberhasilan gadis itu, yang telah membuat adiknya tersadar kembali.