bc

Mengoyak Ambang Kematian

book_age18+
0
IKUTI
1K
BACA
revenge
dark
family
HE
drama
lighthearted
serious
like
intro-logo
Uraian

“​Ning.” Begitulah semua orang memanggil Vina, putri pemilik pesantren besar di Jawa. Ia dihormati, disanjung, seakan dia istimewa. Namun di balik wibawa itu, tabiat buruknya menanam benih kehancuran. Sahabat mengkhianati, cinta menusuk, dan pesantren yang dibanggakan dibakar warga. Saat waktu membawanya kembali ke masa lalu, Vina dipaksa menatap luka yang pernah ia ciptakan sendiri. Apakah ia akan kembali hancur, atau menemukan jalan untuk menebus segalanya?

chap-preview
Pratinjau gratis
KEMATIAN
"Beneran kita mau kabur, Ning?" "Benerlah. Ngapain ngaji terus, bosen!" "Setuju! Ngapain kita di pondok terus! Lama-lama kita bisa kolot kayak mereka!" "Lagian siapa juga yang berani hukum kita? Selama ada Ning Vina, semua aman!" " Selama ada aku, kalian semua aman! Bahkan Gus sialan itu gak akan bisa ganggu kita!" "Yuk, kita party!" "Ning, kita jadi party di klub malam ini, kan?" "Ada cowok yang mau kenal sama kamu, Ning." "Siapa? " "Zayn." "Dia cowok terganteng di kampung sebelah, terus penguasa di sana juga. Semua orang gak ada yang berani sama dia." "Cocok banget sama kamu, Ning." "Ning Vina, sebaiknya kamu jangan deketin cowok itu. Dia brandalan." "Sialan! Siapa kamu yang berani ngatur hidup saya!" "Ning, saya ini tunanganmu." "Cih! Saya ga sudih punya tunangan kayak kamu. Kamu kalau dibandingin sama Zayn ga ada seujung kukunya dia." "Tapi dia bukan cowok baik-baik, Nak. Kamu harus jauhin dia!" "Abi, Vina cinta sama Zayn. Ga peduli abi mau mikir dia apa, Vina bakal tetap sama dia!" "Zayn minta putus. Aku harus apa?" "Seharusnya kamu turutin semua yang Zayn minta." "Semuanya?" "Iya, Ning. Kamu harus turutin semua yang Zayn minta, biar dia gak ninggalin kamu." "Tapi...." "Ning, Zayn itu cowok terganteng di sini, pasti banyak cewek yang ngejer dia, makanya kamu harus extra pertahanin Zayn." "Zayn ... kenapa kita ke hotel?" "Vina... kamu cinta aku, kan?" "Iya.Kenapa kamu tanya itu? Aku udah berulang kali bilang, kalau aku cinta banget sama kamu...." "Kalau gitu, kamu harus buktiin." "Caranya?" "Sayang, kita bolehkan ngadain party di pesantren kamu, kan?" "Tapi, gimana caranya? Abi pasti ga ngizinin." "Kamu cari caranya. Masa hal sepele gini, kamu ga bisa kabulin permintaanku..." "Sayang, bukan gitu, tapi..." "Ning Vina, kamu seharusnya ga buat Zayn marah. Apa salahnya sih kamu turutin permintaan Zayn." "Iya, Ning. Toh, inikan pesantren punya abimu juga, kenapa mesti bingung." "Iya, Ning. Kamu ga takut bikin Zayn marah? Kamu ga takut ditinggalin Zayn?" "Ning, kamu hebat banget bisa buat semua orang di pondok pergi." "Pasti Zayn senang banget bisa party di tempat yang selalu orang lebeli penjara suci." "Zayn, selama sejam, pesantren kosong. Kamu bisa adain party di sini." "Sayang, kamu memang terbaik... malam ini temenin aku minum ya?" "Minum? Alkohol?" "Iya sayang, party tanpa alkohol mah gak seru." "Tapi, biasanya cuma—" "Ning Vina, alkohol di party mah biasa. Kita aja yang belum terbiasa. Hari ini kita harus cobain." "Tapi—" "Sayang, kamu harus tunjukin kalau kamu sayang aku. Kamu seharusnya nurut apa yang aku omongin." "Iya, Ning Vina. Lagian selesai mabok, kita juga bisa langsung tidur. Ga ada yang tahu." "Kamu yakin?" "Iya..." "Zayn, kenapa banyak orang yang datang?" "Mereka semua temenku." "Malam ini kita ga hanya party, tapi juga..." "Zayn..." "Ning Vina, ga perlu sok suci, party ini buat ngerayain hubungan kita." "Bakar pondok ini!" "Pondok gak bener!" "BAKAR!" Semua ingatan itu datang bertubi-tubi memenuhi kepalaku. Tubuhku remuk. Aku nyaris mati di ruangan sempit tak berpenghuni. Teriakku, tangisku, derai air mata tak lagi cukup untuk memuaskan semua kepedihan yang ada. Aku... "Tak kusangka akan melihat sorot lemah itu dari mata seorang Ning Vina. Mata yang dulu selalu penuh kesombongan..." suara tawa terdengar mengema di ruangan sempit berukuran 4×5 meter. Itu suara Karin. Orang yang kupikir akan selamanya menjadi bayang-bayangku. Dulu, Karin bagai anjing yang setia. Dia selalu setuju, selalu patuh atas apa yang aku katakan. Di matanya seolah hanya aku kebenaran mutlak. Jika aku salah, dia akan tetap menganggapku benar, bahkan jika kebenaran itu melukainya. "Iya, mana nih Ning sombong kita yang dulu? Apa sekarang sudah mati?" Fafa tersenyum dengan senyum ginsulnya muncul. Senyum ginsul yang dulu sering aku ejek. Senyum ginsul itu mengingatkanku pada seorang wanita di foto album lama. Wanita yang sangat aku benci. "Ning.. Ning... aku muak menyebut itu, gelar itu terlalu berlebihan untuk wanita yang bahkan tak pantas disebut manusia." Fafa menarik keras daguku. Mata kami bertemu. Ia menyeringai. Senyum ginsulnya kembali terlihat, sengaja mengejekku. "Kamu dulu benci gigiku, kan? Aku ingat betul, bagimu hari belum dimulai tanpa menghinaku...." "Jadi itulah yang selama ini kalian pikirkan tentangku?" Aku berusaha membuka suara, susah payah, tubuhku terasa amat sangat nyeri, pukulan kayu sudah membekas di mana-mana. "Menurut Ning gimana?" Karin ikut maju, menatapku dengan tatapan penuh kebencian. "Setiap hari bersamamu bagai hukuman mematikan untuk kami. Apa kau tak sadar? Apa kekuasaan membuatmu sebuta itu?" "Kau harus tahu, kami semua membencimu!" "Cih..." Dengan sisa tenagaku, kutampar keras wajah Karin. Anjing setia itu butuh diberi peringatan. "Kalian berdua lupa, kalian hanya seogok sampah yang saya pungut!" "Sekarang tidak lagi!" Fafa menarik keras lenganku membuatku terseok kesakitan. "Liat di kaca pecah itu. Kau sekarang bukan apa-apa. Kau bukan lagi Ning, bukan lagi anak kyia besar, bukan lagi tuan putri, kau bahkan tak pantas disebut manusia. Kau lebih buruk dari sampah!" "Tidak...." gumamku cepat. Fafa menghempas tubuhku ke lantai. Tak mungkin hidupku jadi begini, aku ini seorang Ning, anak dari pemilik pesantren terbesar di Jawa, semua orang takzim padaku, bahkan tak berani menatap mataku. Semua orang menghormatiku. "Kapan Hesti datang?" ujar Karin tiba-tiba. "Aku muak harus berlama-lama dengan seogok sampah busuk ini." "Sabar..." Fafa kembali berjalan mendekatiku. Tatapannya penuh kebencian, baru kusadari wajah asli mereka. Dari dulu tatapan mereka tidak pernah berubah, akulah yang buta mengira tatapan itu tatapan penuh kesetiaan. Ingin rasanya kucongkel mata itu! "Dia sebentar lagi akan datang bersama Zayn. Katanya mereka punya kejutan besar untuk Ning kita ini..." "Kejutan apa?" sergahku. "Ning... siapkan tenagamu, jangan terlalu banyak menghabiskan tenaga." Karin menampar pelan pipiku. "Katakan padaku kebusukan apa lagi yang mereka berdua rencanakan!" Aku muak mengingat pengkhiantan Hesti dan Zayn. Kemarahanku memuncak, tubuh ringkihku bangkit, tak peduli seberapa sakit, tanganku berhasil menampar keras Fafa hingga dia tersungkur kaget. "Sialan!" Fafa berteriak, ia menggila. Dibantu Karin, keduanya kembali menyiksaku menggunakan dua balok kayu. Pukulan bertubi-tubi menyapa tubuhku, mereka tak meninggalkan sejengkal pun untukku bernafas. Di setiap jengkal ada memar dan darah. Aku bahkan tak lagi sanggup untuk sekedar menangis. Sebenci itukan mereka padaku? "Sudah cukup!" Pukulan itu terjeda. Suara derit pintu reyok terdengar. Tanpa melihat siapa yang datang, aku sudah tahu siapa yang datang. "Kalian benar-benar gila! Bagaimana bisa kalian memukul Vina sampai seperti ini!" Itu suara Zayn, laki-laki yang sangat amat aku cintai. Dia membelaku. Apa kini dia telah iba padaku? Apa kini, dia telah menyadari betapa besarnya cintaku padanya? "Zayn.... tolong aku... aku—" "Cih, menjauh dari kakiku! Darahmu membuat sepatuku kotor!" Zayn berbalik, menarik seseorang yang berjalan dibelakangannya. Sekarang keduanya berdiri di hadapanku. Hesti. Ia menatapku. Tersenyum mengejek. "Karena dua sahabat bodohmu ini, aku jadi tidak bisa menjual gadis murahan ini ke tempat p*****r. Seluruh tubuhnya sudah babak belur, mereka pasti jijik untuk sekedar melihatnya." Tak kusangka kata-kata itu akan keluar dari mulut pria yang dulu berkata, ingin sangat mencintaiku. "Tak apalah sayang ... toh, dia memang tak lagi pantas untuk hidup." "Sayang?" Aku harap ini bukan kejutan yang mereka maksud. Tidakkah cukup mereka menghancurkan hidupku. TIDAK.... ITU TIDAK MUNGKIN... "Oh ya, hampir saja aku lupa mengatakan hal penting padamu, Ning... sebenarnya aku dan Zayn, kita saling mencintai. Kita sebentar lagi akan menikah, semua terjadi berkat bantuanmu." "Berkat kebodohanmu, kau membantu aku dan Zayn menghancurkan citra besar abimu. Dan juga menghancurkan pesantren miliki abimu, tak tersisa bahkan citranya sekali pun." "Dan sekarang, Zayn telah berhasil membuktikan pada abiku, kalau dia layak menjadi penerus di pesantren milik keluargaku. Pesantren Darul Tauhid." Pesantern Darul Tauhid? Aku tertegun. Ternyata bukan hanya wajah topengnya yang tak kukenali, tapi... "Ya... aku juga Ning, sama sepertimu. Tapi, untungnya aku tak sebodoh dirimu! Aku tak memelihara ular berbisa di dalam rumah." "Jadi selama ini..." Aku kehilangan kata-kata, tak kusangka, aku telah menghancurkan diriku sendiri. Aku menghancurkan abi dan menghancurkan semuanya. "Padahal Gus Hamzah pernah mengingatkanmu soal aku, tapi kau memang terlalu bodoh untuk mengetahui siapa yang sedang bertopeng. Kau malah membuat pria bodoh itu, ikut terjerumus dalam kebodohanmu!" "Apa yang kalian lakukan ke dia?" "Akan aku lenyapkan? Dia terlalu bodoh karena bersikeras memilih wanita sepertimu!" "TIDAK!" Spontan kutarik lengan Hesti. Hesti tersentak dengan cepat menepis lengan ringkuhku. Aku terjerembab, tersungkur di dekat kaki mereka. "Jauh-jauh dariku! Semua yang dekat denganmu sangat sial. Hidup mereka sial karena kau!" teriak Hesti. "Jangan sampai anakku juga ikut sial!" Anak? Kejutan apa lagi ini? "Sayang, sebaiknya kita selesaikan sampah ini. Aku muak berlama-lama di sini." Hesti menarik pelan lengan Zayn, sebelum pergi Zayn menatapku jijik. "Bakar tempat ini! Biarkan wanita sampah itu mati mengering di dalam sini." Karin dan Fafa mengangguk semangat. Keduanya bahkan tertawa puas sebelum mendorongku ke sudut ruangan, menginjak keras kakiku hingga aku bahkan tak mampu untuk sekedar merangkak. "Selamat tinggal, Ning..." Karin tertawa keras, tangannya melempar korek api tepat di depanku. "Matilah kau dalam penyesalan!" kutuknya. Mereka semua pergi. Aku sendiri bersama api yang jatuh tepat di bawah kakiku, kian membesar dalam hitungan detik, membakar semua yang ia lewati. Hawa panasnya langsung membekapku, tak menyisakan udara nyaman untukku bernafas, tak ada jeda, hanya ada kabut asap. Apakah aku akan mati sekarang? Tidakah semesta iba padaku? Bisakah aku mengulang semuanya? Ya Allah... Telah lama rasanya aku tak memanggil nama-Mu... bolehkah aku meminta belas asihmu sekarang? Izinkan aku bertobat.... "Dasar gadis gak berguna! Masa ngerjain tugas gini aja gak bisa!" Suara teriakan itu mengema di telingaku, belum sempat aku menoleh, seseorang tiba-tiba menarik pelan lenganku. "Kak Vina, tolong jangan pukul aku lagi...."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.1K
bc

TERNODA

read
198.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.6K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.4K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
53.4K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook