3. Pisah Rumah

1342 Kata
"Sesuai perjanjian kita di awal, Renata, kamu tinggal bersama Liesya di rumah yang di jalan Banyuwangi. Tugasmu menjaga dan merawat Aliesya baik-baik. Aku tidak akan menyentuhmu, kamu tahu itu." Suara Mas Rendra terdengar ketus di telingaku. Walau batinku menjerit, bahkan di hari pertama pernikahan kami, Mas Rendra sudah memberikan ultimatum seperti itu. Aku berikan senyum palsu padanya dan mengangguk tanda mengerti. Jika kalian pikir ada bulan madu layaknya pasangan pengantin baru yang lain, enyahkan itu dari pikiran kalian. Tidak ada bulan madu kami. Aah boro-boro bulan madu, malam pertama saja tidak ada kok. Mas Rendra memutuskan untuk tidur di hotel yang berjarak dua kilometer dari rumah bunda. Dia tidak mengajakku, lagipula aku memang tidak berniat ikut dia ke hotel. Lebih baik aku membereskan perlengkapan yang akan aku bawa karena keesokan harinya, aku akan ikut Mas Rendra kembali ke Jakarta dengan status sebagai istri kedua seorang Rendra Wirawan, ralat, tepatnya adalah istri ketiga! "Oiya, untuk pekerjaanmu sebagai guru di sekolah Aliesya, benarkah kamu tidak bisa mengundurkan diri? Jadi kamu bisa lebih fokus pada Liesya kan?" Tanya Mas Rendra sambil menatapku tajam. Aku menggeleng, menolak ide itu. "Sedari awal, dengan tetap menjadi guru di sekolah Liesya adalah untuk self actualization yang ingin kucapai. Aku ingin punya penghasilan sendiri, berasal dari keringatku sendiri, bukan karena diberi walau oleh suami." Aku menjeda saat berkata suami, kudungakan kepalaku mencegah air mata turun. Suami? Suami macam apa yang kamu punya Nata? Apakah kamu akan dianggap sebagai seorang istri oleh Rendra? Batinku berkecamuk, tapi menyesal tidak ada guna. "Lagipula bukankah dengan aku tetap menjadi guru di sekolah Liesya, malah aku bisa bersamanya full day? Kami bisa berangkat dan pulang sekolah bersama. Daripada aku hanya tinggal di rumah saja dan menunggu Liesya pulang, aku malah tidak bisa mengamatinya di sekolah." Dengan teguh aku memberi alasan kenapa aku tidak mau mengundurkan diri dari pekerjaanku. "Aku juga bisa menyisihkan sebagian dari uang gajiku untuk ditransfer ke bunda dan bapak. Walau tidak seberapa, karena sesuai kemampuanku dan itu hasil keringatku sendiri." Aku menutup alasanku, demi melihat wajah Mas Rendra yang sudah kecut layaknya sayur opor yang tidak dihangatkan dan menjadi basi keesokan hari. "Aku juga akan memberimu uang bulanan, tidak perlu khawatir! Kamu bisa gunakan itu untuk keperluan harian, kebutuhanmu dan Liesya juga mentransfer untuk ibu dan bapak di kampung. Ini atm dan kartu kredit yang sengaja aku buat untukmu. Kamu boleh gunakan untuk belanja apapun yang kamu mau, asal tidak mengangguku lagi." Kata Mas Rendra. "Mengganggu? Apa maksudnya itu? Maaf aku tidak paham." Keningku berkerut mendengar hal itu. "Maksudku, kamu merengek padaku untuk dibelikan ini itu padahal nominal yang tertera di dua kartu itu sangat besar untuk ukuranmu. Kamu manfaatkan saja baik-baik." "Ooh itu, jangan khawatir, Insya Allah aku tidak akan meminta lagi. Aku cukup tahu diri kok. Maka dari itu, aku tetap butuh pekerjaan ini walau aku sudah menikah." "Terserah kamu saja, maksudku baik, aku tidak ingin kamu terganggu dengan omongan orang lain tentang status pernikahan kita. Asalkan kamu komitmen, go ahead, lakukan saja." Mas Rendra mengakhiri percakapan kami. Status pernikahan kita??  Aah ya, pastinya status baruku ini akan menjadi gosip panas di sekolah Aliesya. Apalagi hanya dua rekan guru yang aku undang di hari pernikahanku karena hanya mereka orang yang dekat denganku di sekolah. Hmm, sudah pasti itu, gosip panas!  Seorang guru baru tiba-tiba menikahi seorang pengusaha muda kaya raya, bahkan rela menjadi istri ketiga!  Sudah terbayang headline gosip di kepalaku. Tapi apa peduliku? Toh kebahagiaanku jadi nomer sekian sejak ibu meninggalkanku untuk selama-lamanya. Mereka tidak tahu betapa aku juga menderita dengan pernikahan siri ini. Tapi yaa, sudahlah. Aku hanya bisa memasrahkan diri dan mengadu pada Maha Pemberi Hidup.  *** "Liesya sayang, mulai hari ini Liesya tinggal sama ibu di rumah ini ya. Liesya harus janji akan jadi anak pintar, anak baik dan menurut pada ibu. Ibu akan menemani Liesya di sekolah dan di rumah. Tapi nanti kalau akhir pekan, papa akan jemput Liesya ya. Hari Jum'at sore sampai Minggu siang, Liesya akan bersama papa dan Mama Feli." Mas Rendra berkata dengan nada super lembut kepada Liesya.  Sudah resmi aku dan Liesya pindah ke rumah nan asri di tengah Menteng ini. Rumah dengan halaman luas dan taman yang hijau, rumput yang asri dan rapih, membuatku betah bahkan saat baru menjejakkan kaki pertama kali di sini. Aku berdiri di belakang Aliesya. Mas Rendra berjongkok agar bisa menyesuaikan tinggi dengan putrinya itu. Aku tahu Mas Rendra sangat menyayangi Aliesya. Mungkin karena Liesya mengingatkannya pada Mbak Keyna. Wajah Liesya memang mirip Mbak Keyna tapi tubuhnya yang bongsor mungkin dari Mas Rendra. Kata orang-orang, wajahku sekilas mirip Mbak Keyna. Mungkin iya karena kami sepupu, kedua ibu kami kakak adik dengan wajah yang mirip.  "Tidak mau! Liesya mau ibu, sama ibu aja!" Tiba-tiba Aliesya histeris, saat mendengar bahwa tiap akhir pekan dia akan diajak bersama sang papa dan mama sambungnya yang satu lagi. Keningku bertaut, baru kali ini sejak aku bersama Aliesya - menjadi gurunya di sekolah khusus - aku melihat gadis kecil ini histeris dan ketakutan. "Kenapa sayang? Papa kan kangen Liesya, ingin bersama Liesya juga. Mama Feli juga loh." Mas Rendra pantang menyerah membujuk. "Tidak! Mama Felicia jahat! Dia pukul Liesya, marahi Liesya! Dia jahat! Aku mau ibu aja." Tiba-tiba Aliesya bersembunyi di balik tubuhku, memeluk pinggangku dengan sangat erat.  "Liesya... Terus kapan papa bisa sama Liesya?" Tanya Mas Rendra bingung. "Papa ke sini! Liesya sama ibu. Mama Felicia jahat! Jahat!" Aliesya kembali berteriak histeris. Aku takut dia tantrum. "Liesya! Jangan tuduh Mama Feli seperti itu." Kali ini Mas Rendra sudah gusar, tidak percaya pada apa yang dikatakan putrinya. Mungkin saja Mas Rendra lupa kalau Aliesya punya kesulitan komunikasi, sulit untuk mengekspresikan apa yang dia rasakan. Aliesya tidak mungkin berbohong. Bagaimana mau membuat skenario kebohongan, jika untuk komunikasi saja dia kesulitan. Untuk berbohong, seseorang harus pandai merangkai kata, merangkai kalimat, mempengaruhi orang-orang agar percaya pada kebohongannya. Mereka, anak-anak ini, tidak mungkin melakukan itu. Mereka lebih memilih diam jika tidak setuju. Dari apa yang Aliesya katakan, aku mengambil kesimpulan bahwa Kak Feli bersikap tidak baik pada putri sambungku ini. Mungkin Liesya melihatku yang mirip Mbak Keyna adalah pelindungnya, hingga akhirnya dia berani bicara.  "Biar aku bicara dulu pada Liesya, tolong Mas Rendra jangan bentak dia." Kataku pada Mas Rendra yang masih saja tidak percaya pada apa yang didengarnya. Aku membalikkan tubuhku, kupegang erat tangan kanan dan kiri Liesya, kuberikan senyum terbaikku agar dia menjadi tenang. Tubuhnya sudah gemetar karena ketakutan. Wajahnya menunduk tapi dia tidak menangis. Hanya gemetar ketakutan. Aku yang tidak tega melihatnya seperti itu, langsung saja membawanya ke pelukanku. Kuusap rambut hitamnya perlahan. Sampai dia tenang.  "Liesya sayang sama papa?" Tanyaku. Dijawab dengan anggukan. "Liesya sayang ibu?" Tanyaku lagi. Dia tidak menjawab, tapi langsung memelukku.  "Liesya sayang Mama Felicia?" Tiba-tiba saja dia langsung menggeleng dan kembali gelisah. Baiklah, berarti memang ada sesuatu hal tidak baik yang pernah dilakukan Kak Feli pada Liesya.  "Liesya sama ibu, Liesya sayang ibu. Mama Feli jahat! Liesya sama ibu." Dia mulai mengulang-ulang kalimat, tanda dia sedang gelisah.  "Iya sayang, Liesya sama ibu ya. Sekarang Liesya gosok gigi, sholat terus tidur siang. Nanti ibu nyusul ke kamarmu ya nak." Kataku dengan lembut. Aku tahu bahwa Mas Rendra melihat interaksiku dengan putrinya ini. Sekarang dia baru tahu bahwa ada kedekatan emosional antara putrinya dan aku. Usai Aliesya ke kamar, aku mendekati Mas Rendra. Ada hal yang harus kusampaikan padanya, terserah dia suka atau tidak, aku tidak peduli. Toh sesuai perjanjian, tugasku adalah melindungi Aliesya. "Ada apa Nata? Kenapa dia tidak mau aku ajak ke rumahku? Setahuku Feli bersikap baik padanya." Tanya Mas Rendra, wajahnya sedih. "Mas, sepertinya ada trauma pada Liesya terhadap Kak Feli, tapi entah apa itu. Kalau Mas Rendra kangen Liesya, Mas bisa datang ke sini saja." Kataku pelan. Mata kami bersirobok. Aku menyumpahi mulutku, takut jika Mas Rendra berpikiran yang aneh-aneh dan menganggapku ingin sentuhannya. "Kita lihat saja nanti. Aku pergi dulu. Tolong jaga dan rawat Liesya." Akhirnya Mas Rendra yang memutus kontak mata kami. Dia berbalik badan dan pergi. Aku hanya bisa melihat punggung tegapnya yang perlahan menjauh.  Akankah aku nantinya bisa menyandarkan tubuh lelahku di punggung tegap itu? Akankah punggung itu bisa menopang kesedihanku? 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN