Teman Makan Teman?

994 Kata
Sedikit ragu aku menarik lingerie yang kubeli secara online seminggu yang lalu *** "Mas, sarapan udah aku siapin, ya." Aku berbicara seraya menata hati. Dia hanya mengangguk tanpa ekspresi. Apakah menikah denganku adalah satu beban yang amat berat baginya? Kenapa dia seperti tertekan begitu? "Sini, Mas! Aku pasangin dasinya." Aku meraih dasi dari tangannya, tapi buru-buru ditepis olehnya. "Aku bisa make sendiri, nggak usah sok manis. Aku muak." Mas Aryan berkata dingin saat menatapku. Dia memang pendiam, tapi sekalinya bersuara mampu menyakiti hati. Kata-katanya bagai belati yang terasah tajam dan siap mengulitiku sampai ke tulang. Sebenarnya aku sudah mengenalnya cukup lama. Bukan! Bukan sebagai kekasih, aku mengenalnya dahulu. Melainkan ... sebagai kekasih sahabatku, Mela. Tanpa berbasa-basi, Mas Aryan yang telah rapi dengan kemeja serta jasnya berlalu begitu saja dari hadapanku sebelum mengeluarkan mobilnya dari garasi dan berangkat menuju kantor. Bahkan, ia tak pernah memberiku kesempatan untuk menjabat dan mencium punggung tangannya sebelum ia pergi bekerja, mencari nafkah. Apa aku sakit hati dengan semua sikapnya? Ya, pastinya. Namun, rasa cinta ini mengalahkan segalanya. "Mas, hari ini aku ada kuliah sore, ya!" Aku setengah berteriak saat Mas Aryan sudah stand by menggunakan sabuk pengaman dan siap melesatkan mobilnya untuk bertolak menuju kantor. Lagi, Mas Aryan tak menyahut perkataanku. Namun, aku yakin dia mendengarnya. Aku menarik napas panjang, mencoba memberi kelonggaran dalam d**a. Tak pernah menyangka bakal menjalani kehidupan rumah tangga yang terasa pelik seperti sekarang ini. *** Mela memalingkan wajah saat kami berjumpa di dalam kelas sore ini. Ya … hubungan persahabatanku dengan Mela memang hancur pasca aku resmi menikah dengan lelaki yang menjadi pujaan hatinya. Aryan Aditya Wardhana. Apakah benar aku terlalu egois? Bukankah aku juga pantas memperjuangkan cinta? Apa salahnya aku mengambil kesempatan selagi itu ada? Bukankah kesempatan tak datang dua kali? Aku harus sering menutup telinga saat orang menggunjingku dengan sebutan pagar makan tanaman karena menikahi kekasih sahabat sendiri. Peduli apa, yang terpenting Mas Aryan sudah jadi milikku sekarang. Aku meletakkan kembali buku di rak perpus kampus pasca puas membaca sore ini. Semenjak resmi bergelar istri, aku memang banyak menghabiskan waktu di perpustakaan untuk menghindari gunjingan orang akan sikapku yang dinilai buruk oleh mereka, karena menikung teman sendiri. "Ck! Apa hidupmu sekarang bahagia, Sandra?" Farel—lelaki paling rese di kelas membuatku tersentak saat tiba-tiba muncul di hadapan pasca aku meletakkan kembali buku yang tadi kupinjam. "Julid!" Aku mencebik bibir pada lelaki yang selalu saja memperolokku karena menikah dengan Mas Aryan, yang ia tahu tak lain adalah kekasih Mela, sahabatku sendiri. Farel terpekik seperti mengejek saat aku bermasam muka ketika dia memberiku pertanyaan yang menurutku tak memerlukan jawaban. "Apa Aryan sudah menyentuhmu, Sandra? Aku yakin belum," ejeknya menyebalkan. Membuatku ingin menggampar mulutnya dengan buku-buku tebal yang berjajar di rak. "Kasian. Perawan rasa istri, oh sungguh kasihan." Lagi-lagi Farel mengejekku dengan julukan menjengkelkan itu. Membuat telingaku semakin panas. Meski bukan kali pertama dia mengejek seperti ini, tapi tetap saja aku sakit hati saat mendengarnya. "Dasar Lambe Turah!" makiku pada lelaki 21 tahun yang sedari dulu gemar menjahiliku dan selalu nyinyir dengan segala tindak-tandukku. Farel hanya tertawa santai mendengar makian yang kuucapkan dengan penuh kekesalan. *** Mas Aryan cuek bebek dengan wajah kaku saat aku baru pulang dari kampus malam ini. Kami memang seperti orang asing yang kebetulan tinggal satu atap. "Mas, udah makan malam?" tanyaku mencoba mencairkan suasana. Mas Aryan hanya diam tak menanggapi pertanyaanku yang sebenarnya aku usahakan untuk sekadar membuatnya bersuara atau menganggukkan kepala. Aku hanya bisa menghela napas berat menanggapi sikap orang-orang yang sangat tak adil padaku. Aku rasa mereka terlalu berlebihan dalam menghakimi diriku. Mereka seolah menganggapku seperti pelakor yang dianggap rendah dan murahan. Padahal … Mas Aryan dan Mela baru sekadar pacaran, bukan suami istri, masa iya mereka sampai sebenci itu padaku? Aku cuma merebut pacar orang! Bukan suami orang! Berlebihan sekali mereka. "Bagaimana kabarmu, Sandra? Apa suamimu sudah tersenyum padamu hari ini?" Suara Farel terdengar saat aku mengangkat telepon ketika ponselku tak berhenti berdering. "Bisa gak, sih, sekali aja kamu gak nyinyirin hidup orang?" Aku yang mulai terbakar emosi, bersuara lantang saat menanggapi ejekan Farel yang seharusnya tak perlu aku layani. Dan ... dapat kulihat Mas Aryan yang kali ini duduk di ruang tengah, membulatkan bola matanya saat mendengarku berbicara dengan penuh kekesalan saat tersambung via sambungan telepon dengan Farel malam ini. Aku tak tahu dan tak ingin ambil tahu dengan apa yang dipikirkannya saat ini. Terserah dia akan menilaiku seperti apa padaku sekarang. Bukankah aku selalu salah di matanya? Usai mandi dengan air hangat, badanku terasa lebih rileks sekarang. Malam ini, aku harus kembali mencari cara agar Mas Aryan mau menyentuhku. Akan kubuktikan pada semua orang, kalau aku memang pantas bersanding dengan Mas Aryan meski aku tak secantik Mela. Sedikit ragu, aku menarik lingerie yang sudah seminggu lalu aku beli melalui aplikasi belanja online. Dan dengan perasaan gugup, aku lantas memakainya. Lingerie merah transparan yang pasti akan sangat membuatku tak nyaman saat benda ini melekat di tubuhku nantinya. Ya ampun! Seksi sekali! Aku benar-benar merasa geli saat menatap sendiri tubuhku yang sudah berbalut kain tipis menggoda ini. Apakah aku harus melepasnya? Ini benar-benar menggelikan! Tidak, Sandra! Jangan! Aku meyakinkan hati jika pakaian seperti ini lazim dipakai oleh seorang istri di hadapan suaminya sendiri. Jantungku berdegup kencang saat menyadari seseorang membuka pintu kamar. Tentu saja Mas Aryan! Dan ... dari lirikan mata, dapat kulihat matanya terbuka lebar melihat penampilanku yang sangat tidak biasa ini. "San-Sandra …?" Suaranya lirih, nyaris tak terdengar saat berjalan mendekat. Apakah dia sedang kagum dengan bentuk tubuhku yang hanya berbalut kain tipis menerawang ini? "I-iya, Mas?" Aku pun bersuara lirih, tapi menggoda, berusaha mengimbangi pakaian yang melekat pada tubuhku saat ini. "Kamu …." Ucapannya terdengar berat dan menggantung. Ya Tuhan! Apakah debaran dalam dadanya saat ini juga sekuat debaran dadaku? Aku semakin gugup saat Mas Aryan merangkak naik ke atas ranjang dengan napasnya yang terdengar memburu. Mungkinkah ... malam ini akan menjadi malam pertama kami setelah lebih dari satu bulan kami menikah? Mungkinkah akan terjadi sesuatu diantara kami? Ya Tuhan! Kenapa jadi deg-degan begini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN