Teman Makan Teman?
Perawan Rasa Istri mungkin itu julukan yang cocok untukku saat ini. Bagaimana tidak, sudah lebih dari satu bulan yang lalu aku bergelar sebagai seorang istri tapi lelaki bergelar suami tak pernah menyentuhku sama sekali. Bukankah itu menyakitkan?
"Mas, sarapan udah aku siapin, ya." Aku berbicara seraya menata hati. Dia hanya mengangguk tanpa ekspresi. Apa menikah denganku adalah satu beban yang amat berat baginya?
"Sini, Mas! Aku pasangin dasinya." Aku meraih dasi dari tangannya tapi buru-buru ditepis olehnya.
"Aku bisa make sendiri, gak usah sok manis, deh. Aku muak." Mas Aryan berkata dingin saat menatapku. Dia memang pendiam, tapi sekalinya bersuara bakal terasa menyakitkan. Kata-katanya bagai belati yang terasah tajam dan siap mengulitiku sampai ke tulang.
Sebenarnya aku sudah mengenalnya cukup lama. Bukan. Bukan sebagai kekasih, aku mengenalnya dahulu. Melainkan kekasih sahabatku, Mela.
Tanpa berbasa-basi, Mas Aryan yang telah rapi dengan kemeja serta jasnya berlalu begitu saja dari hadapanku sebelum mengeluarkan mobilnya dari garasi dan berangkat menuju kantor. Bahkan ia tak pernah memberiku kesempatan untuk menjabat dan mencium punggung tangannya sebelum ia pergi bekerja, mencari nafkah.
Apa aku sakit hati dengan semua sikapnya? Ya, pastinya. Namun, rasa cinta ini mengalahkan segalanya.
"Mas, hari ini aku ada kuliah sore, ya!" Aku setengah berteriak saat Mas Aryan sudah stand bye menggunakan sabuk pengaman dan siap melesatkan mobilnya. Lagi, Mas Aryan tak menyahut perkataanku. Namun, aku yakin dia mendengarnya.
Aku menarik napas panjang, mencoba memberi kelonggaran dalam d**a. Tak pernah menyangka bakal menjalani kehidupan rumah tangga yang pelik seperti ini.
***
Mela memalingkan wajah saat kami berjumpa di dalam kelas sore ini. Ya … hubungan persahabatanku dengan Mela memang hancur pasca aku resmi menikah dengan lelaki yang menjadi pujaan hatinya.
Apa aku terlalu egois? Bukankah aku juga pantas memperjuangkan cinta? Apa salahnya aku mengambil kesempatan selagi itu ada? Bukankah kesempatan tak datang dua kali?
Aku harus sering menutup telinga saat orang menggunjingku dengan sebutan pagar makan tanaman karena menikahi kekasih sahabat sendiri. Peduli apa, yang terpenting Mas Aryan sudah jadi milikku sekarang.
Aku meletakkan kembali buku di rak perpus kampus pasca puas membaca sore ini. Semenjak resmi bergelar istri, aku memang banyak menghabiskan waktu di perpustakaan untuk menghindari gunjingan orang akan sikapku yang dinilai buruk oleh mereka, karena menikung teman sendiri.
"Ck! Apa hidupmu sekarang bahagia, Sandra?" Farel--lelaki paling rese di kelas membuatku tersentak saat tiba-tiba muncul di hadapan pasca aku meletakkan kembali buku yang tadi kupinjam.
"Julid!" Aku mencebik bibir pada lelaki yang selalu saja memperolokku karena menikah dengan Mas Aryan, yang ia tahu tak lain adalah kekasih Mela, sahabatku sendiri.
Farel terpekik seperti mengejek saat aku bermasam muka ketika dia memberiku pertanyaan yang menurutku tak memerlukan jawaban.
"Apa Aryan sudah menyentuhmu, Sandra? Aku yakin belum," ejeknya menyebalkan. Membuatku ingin menggampar mulutnya dengan buku-buku tebal yang berjajar di rak.
"Kasian. Perawan rasa istri, oh sungguh kasihan." Lagi-lagi Farel mengejekku dengan julukan menjengkelkan itu. Membuat telingaku semakin panas. Meski bukan kali pertama dia mengejek seperti ini, tapi tetap saja aku sakit hati saat mendengarnya.
"Dasar Lambe Turah!" makiku pada lelaki 21 tahun yang sedari dulu gemar menjahiliku dan selalu nyinyir dengan segala tindak-tandukku.
Farel hanya tertawa santai mendengar makian yang kuucapkan dengan penuh kekesalan.
***
Mas Aryan cuek bebek dengan wajah kaku saat aku baru pulang dari kampus malam ini. Kami memang seperti orang asing yang kebetulan tinggal satu atap.
"Mas, udah makan malam?" tanyaku mencoba mencairkan suasana. Mas Aryan hanya diam tak menanggapi pertanyaanku yang sebenarnya aku usahakan untuk sekadar membuatnya bersuara atau menganggukkan kepala.
Aku hanya bisa menghela napas berat menanggapi sikap orang-orang yang sangat tak adil padaku. Aku rasa mereka terlalu berlebihan dalam menghakimi diriku. Mereka seolah menganggapku seperti pelakor yang dianggap rendah dan murahan. Padahal … Mas Aryan dan Mela kan baru sekadar pacaran, masa iya mereka sampai sebenci itu padaku?
"Bagaimana kabarmu, Sandra? Apa suamimu sudah tersenyum padamu hari ini?" Suara Farel terdengar saat aku mengangkat telepon karena ponselku tak berhenti berdering.
"Bisa gak, sih, sekali aja kamu gak nyinyirin hidup orang?" Aku yang mulai terbakar emosi tanpa terasa bersuara lantang saat menanggapi ejekan Farel yang seharusnya tak perlu aku layani.
Mas Aryan yang duduk di ruang tengah, membulatkan bola mata ketika aku berbicara dengan nada penuh kekesalan saat tersambung via sambungan telepon dengan Farel malam ini. Aku tak tahu apa yang dipikirkan suamiku saat ini. Terserah lah dia akan menilaiku seperti apa padaku sekarang.
Usai mandi dengan air hangat, badanku terasa lebih rileks sekarang.
Malam ini, aku harus kembali mencari cara agar Mas Aryan mau menyentuhku. Akan kubuktikan pada semua orang, kalau aku memang pantas bersanding dengan Mas Aryan meski aku tak secantik Mela.
Dengan sedikit ragu, aku menarik lingerie yang sudah seminggu lalu aku beli melalui aplikasi belanja online.
Dengan gugup, aku memakai lingerie merah transparan yang pasti akan sangat membuatku tak nyaman saat memakainya nanti.
Jantungku berdegup hebat saat Mas Aryan membuka pintu kamar. Matanya terbuka lebar melihat penampanku yang tentu sangat berbeda dari biasanya.
"Sandra …." Suara Mas Aryan lirih nyaris tak terdengar. Apakah dia sedang kagum dengan bentuk tubuhku yang hanya berbalut lingerie?
"Iya, Mas?" Aku pun bersuara lirih tapi menggoda berusaha mengimbangi pakaian yang melekat pada tubuhku saat ini.
"Kamu …." Ucapan Mas Aryan terdengar menggantung. Apakah debaran hatinya saat ini juga sekuat debaran hatiku?
Aku semakin gugup saat Mas Aryan merangkak naik ke atas ranjang dengan napas memburu. Mungkinkah malam ini akan menjadi malam pertama kami?
Aku menutup mata menantikan apa yang akan Mas Arya lakukan padaku selanjutnya.
Aku …. pasrah.