Anila terduduk dipinggiran sebuah jembatan pinggiran jalan raya, Anila hanya bisa menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong. Tangis Anila memang sudah tidak sekuat tadi, namun air matanya selalu saja menetes tanpa disadarinya. Anila tidak tau harus melakukan apalagi karena kakinya sudah terlalu lelah, bahkan hanya untuk melangkah satu langkah saja dia tidak bisa lagi rasanya. Anila kembali meratapi nasibnya yang diselingkuhi oleh Tio. Hubungan yang dia pikir akan berlanjut sampai pernikahan ini ternyata harus berakhir sampai disini saja. Berakhir dengan Anila yang harus kecewa, nasibnya dengan Deva tidak jauh berbeda sekarang.
"LA... LO DARI MANA AJA SIH!?!" bentakan seseorang mengejutkan Anila.
Anila mengangkat kepalanya pelan. Saat Anila tau siapa itu, dengan cepat Anila bangkit dari duduknya dan berlari kearah Deva dan memeluk pria dihadapannya itu dengan erat.
"Va, Tio Va," adu Anila, namun tak berlanjut. Anila tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
***
Deva hanya bisa diam sambil balas memeluk Anila erat. Sungguh lega rasanya bagi Deva ketika akhirnya dia bisa menemukan Anila dalam keadaan baik-baik saja. Sedari tadi dia sudah berkeliling di jalan sekitaran apartemen Deva untuk mencari Anila, sejak tau kalau semua rencana gadis itu gagal karena perselingkuhan Tio.
Deva tidak tau dia itu termasuk beruntung atau malah sial saat bertemu Tio di sebuah pub. Saat itu Tio tampaknya tengah merayakan sesuatu dengan teman-temannya. Awalnya Deva mengabaikan Tio karena dia berpikir kalau Tio mungkin merayakan ulang tahunnya bersama teman-temannya dulu sebelum pulang keapartemennya. Walau sebenarnya Deva sedikit kasihan pada Anila yang pasti tengah menunggu Tio untuk pulang dan bisa merayakannya bersama kekasihnya itu.
Akhirnya Deva bisa mengabaikan keberadaan Tio dengan menyibukkan dirinya dengan teman kencannya saat ini. Malam ini Deva tengah ditemani oleh Shilla, teman sekantor Deva. Tapi perhatian Deva langsung tertarik ada Tio saat melihat Tio berbicara dengan seorang wanita lalu berciuman bibir dengan begitu intensnya. Mata Deva menatap tajam pada Tio dengan semua skinship yang dilakukan Tio dengan wanita dihadapan Tio itu. Deva yakin kalau wanita itu bukan hanya sekedar teman biasa bagi Tio, tapi juga ‘teman plus-plusan’ buat Tio.
Tapi hey, Tio saat ini masih dalam hubungan dengan Anila. Bukankah Tio termasuk cowok b******k jika Tio memiliki ‘teman plus-plusan’ ketika dia masih memiliki hubungan dengan seorang wanita. Itu berselingkuhkan namanya?, itu berarti Tio menghiananti Anila kan?. Kelakuan Tio ini jelas membuat Deva marah, Deva tidak terima Anila dikhianati seperti ini.
Deva sangat menyayangi Anila, dia tidak akan rela jika Anila terluka karena perbuatan Tio yang meyelingkuhi Anila dibelakang sahabatnya itu.
Mata Deva memicing, saat Tio mulai menarik tangan wanita yang tadi diciumnya itu keluar dari pub. Tanpa berpikir panjang Deva segera mengikuti Tio, Deva mengabaikan panggilan dari Shilla. Deva dengan cekatan mengikuti mobil Tio. Kemarahan Deva semakin memuncak saat melihat Tio dan wanita yang bersamanya itu malah menyempatkan diri mereka untuk makeout di dalam mobil Tio sebelum memasuki bangunan apartemennya. Saat Tio sudah memasukkan mobilnya kedaerah parkir apartemen Tio, barulah Deva keluar dari mobilnya untuk mengikuti Tio secara langsung. Deva terpaksa memarkikan mobilnya di luar gedung apartemen Tio karena akan sulit buat Deva untuk mendapatkan ijin masuk kalau dia menggunakan mobilnya untuk masuk.
Deva memeriksa gerak gerik keduanya dalam mobil Tio dari posisinya agak jauh dari posisi Tio yang sekarang. Deva masih bisa melihat kelakuan b***t pria itu. Deva hendak keluar dari persembunyiannya dan memberi pelajaran pada Tio. Namun keduanya dengan terburu-buru naik kedalam lift, membuat Deva mengurungkan niatnya lagi.
“Shitt…” umpat Deva saat sadar Anila ada di dalam apartemen Tio sekarang.
Dengan cepat Deva mencari HP-nya untuk menelpon gadis itu secepatnya. Namun lagi-lagi Deva mengumpat saat dia menyadari kalau HP-nya ketinggalan di pub. Deva tidak takut jika benda itu hilang, yang paling Deva takutkan sekarang adalah reaksi gadis itu ketika melihat kekasihnya berselingkuh tepat di depan matanya. Pemandangan itu akan menjadi luka besar buat Anila. Deva yakin luka itu akan membekas dan mungkin saja mengakibatkan trauma bagi Anila. Seperti kondisi dia sekarang. Bukankah sangat lucu kalau sepasang sahabat mengalami trauma akan cinta?.
Deva tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Anila sekarang di dalam apartemen Tio. Deva melupakan niat awalnya mengikuti Tio, memberikan pelajaran pada pria itu karena telah berselingkuh dari sahabatnya. Niat Deva sekarang hanyalah, menjemput dan menyelamatkan Anila dari apartemen Tio. Lalu dia akan membawa gadis itu bersamanya.
Tapi saat Deva hendak melakukannya. Deva teringat kalau dia tidak tau nomor berapa apartemen pria itu. Akhirnya Deva memutuskan untuk menunggu Anila di dalam mobilnya saja, toh mobilnya dia parkir tidak jauh dari bangunan apartemen Tio. Deva menunggu sampai 1 jam lebih, tapi Anila tidak juga keluar dari sana membuat Deva tidak tenang. Merasa tidak sabar lagi, Deva berniat mencari Anila langsung kedalam. Untuk itu Deva mencoba menemui penjaga apartemen Tio untuk mencari tau soal nomor apartemen Tio. Dengan alasan kalau dia adalah saudara Tio dari jauh, barulah si penjaga apartemen mau memberitahu nomor tempat tinggal Tio.
Deva segera melayangkan pukulannya kewajah Tio saat pria itu membuka pintu apartemennya. Deva tidak mempedulikan wajah kacau Tio yang terlihat frustasi. Buat Deva itu tidak sebanding dengan luka di hati Anila saat ini. Deva kembali melayangkan pukulannya pada wajah Tio, untuk yang kesekian kalinya. Deva baru melepaskan Tio setelah Deva yakin kalau pukulannya itu cukup menggantikan sedikit rasa sakit di hati Anila.
“Dimana Anila?” tanya Deva rendah saking marahnya dia.
Tio tidak menjawab, dia hanya menundukkan wajahnya. Tio tidak berani melihat Deva karena merasa bersalah. Tio tau dia sedang berhadapan dengan seorang pria yang akan siap menghabisinya, kalau sedikit saja dia salah menjawab soal Anila. Melihat reaksi pria itu, Tio yakin kalau pria yang memukulinya ini sudah tau apa yang dilakukannya pada Anila.
“Mulai sekarang jauhi dia, kalau emang sifat binatang lo yang hobby kawin sana sini masih ada. Jangan berani-beraninya lo mengikat cewek apalagi cewek itu Anila, kalau lo masih nggak mau terikat brengsek.” Deva kembali memukul Tio setelah mengatakan itu. Setelah itu Deva kembali memberi peringatan pada Tio,
“Sekarang tinggalin Anila. Gue bakal ngejagain dia sampai dia nemuin pasangannya nanti, b******k!” maki Deva sebelum meninggalkan Tio yang masih dalam keadaan tersungkur. Sebelumnya Deva mengambil HP dan tas Anila dari tangan pria itu.
Sekeluarnya Deva dari apartemen Tio, barulah Deva mencari Anila. Deva menebak-nebak kemana Anila sekarang. Sesekali Deva memaki dirinya saking kesalnya dia akan dirinya yang bisa lengah mengawasi Anila tadi. Deva juga memaki dirinya karena terlalu bodoh telah memilih untuk menunggu Anila di luar. Seharusnya dia langsung saja mencari gadis itu kedalam apartemen Tio.
“Anila lo dimana sih?” Divo sesekali berbicara entah pada siapa.
Dengan teliti Deva memeriksa setiap orang yang berjalan dipinggiran jalan. Bingung kenapa Deva yakin kalau Anila pasti sekarang sedang berjalan? Deva mengenal Anila sejak kecil, jika gadis itu tengah shock dan terkejut, maka otak gadis itu tidak akan bisa berpikir dengan baik. Otak Anila seolah-olah tidak berfungsi lagi. Anila lupa dia punya mobil, ada taxi ojek dan lain-lain. Selain itu, menurut Anila dengan dia berjalan, dia akan langsung bisa tidur tanpa perlu lagi berpikir penyebab dia sedih dan menangis. Anila tidak tau kalau kebiasaannya ini sangat mengkhawatirkan keluarga Anila dan Deva selama ini.
Mata Deva menyipit saat melihat postur orang yang sangat dikenalinya tengah duduk dipinggiran jalan sebuah jembatan. Ternyata dugaannya benar, wanita yang duduk dipinggiran jalan itu adalah Anila. Penampilan dan kondisinya Anila saat ini sudah sangat menyedihkan. Dengan cepat Deva keluar dari mobilnya untuk memarahi gadis itu karena sudah membuatnya cemas setengah mati, apalagi setelah melihat tempat yang dipilih gadis itu untuk berhenti. Jelas sekali kalau tempat pilihan Anila untuk berhenti ini, tidak aman buat Anila. Tidak hanya karena penampilan Anila yang sedikit terbuka, tetapi juga karena keadaan gadis itu tidak sedang baik-baik saja. Akan sangat mudah bagi orang untuk memanfaatkan keadaan Anila yang sekarang menurut Deva. Deva bersiap memarahi Anila, namun ketika Anila berlari kearahnya lalu masuk kedalam pelukannya. Setelah itu Anila mengadu dan menangis pada Deva, membuat Deva menahan dirinya untuk tidak memarahi Anila saat ini.
Deva hanya bisa diam dan balas memeluk gadis itu dengan erat. Deva membiarkan Anila untuk memeluknya dan menangis, Deva berharap dengan begitu Anila bisa segera bisa lega. Dia membiarkan Anila memeluknya dan menagis, hingga Anila merasa tenang. Rasa marah dan kesal yang tadi mau Deva tumpahkan pada Anila segera hilang seketika melihat betapa terpukulnya Anila sekarang.
Setelah merasa Anila sudah cukup bisa menguasai dirinya, barulah Deva membawa Anila memasuki mobilnya. Deva lalu membawa sahabatnya itu keapartemen miliknya.
"Lo mandi dulu, gue siapin makanan buat lo," kata Deva sambil memberikan handuk kepada Anila.
Anila tidak menjawab, tapi Deva yakin kalau Anila akan melakukan apa yang baru saja dia perintahkan pada gadis itu. Sambil menunggu Anila membersihkan dirinya, Deva memasakkan pasta dan menyiapkan coklat panas untuk Anila.
"Lo udah baikan?" tanya Deva ketika mendapati Anila sudah menghabiskan makanan dan coklat panasnya setelah mandi tadi.
Penampilan gadis itu sudah lebih segar daripada yang terakhir kali Deva menemukannya di pinggir jalan. Kalau wajah gadis itu, jangan tanya. Wajahnya masih sangat sembab, matanyapun merah dengan kelopak yang membengkak. Keadaannya benar-benar sangat menyedihkan dan Deva memaki Tio untuk keadaan Anila sekarang ini.
Anila mengangguk kemudian memaksakan sebuah senyum dibibirnya, Anila lalu bangun dari duduknya berniat untuk mencuci piring dan gelas miliknya. Namun Anila segera ditahan oleh Deva, Deva akan melakukan itu untuk Anila malam ini.
“Lo disini aja, biar gue yang cuciin,” kata Deva yang langsung pergi mencuci peralatan makan Anila tadi.
Setelah Deva menyelesaikan pekerjaanya, barulah Deva menuju ruang tamu miliknya dan mengambil posisi di sebelah Anila. Keduanya terdiam, membiarkan suara televisi menemani keheningan diantara mereka, keduanya tidak berniat untuk membuka pembicaraan diantara mereka. Mereka tidak ada niat untuk memecahkan kebungkaman mereka, hingga akhirnya Anila mulai menangis lagi.
"Va gue menyedihkan bangetkan," ujar Anila bersama tangisnya.
Bayangan perselingkuhan Tio kembali berputar lagi diotak Anila, membuat rasa kecewa Anila akan pria itu kembali memasuki hatinya. Anila kembali menangis dengan derasnya, apalagi saat mengingat perkataan Tio di apartemen Tio tadi. Anila sangat kecewa akan penilaian cowok itu dan bagaimana cara Tio membicarakan tentang kelemahannya di depan selingkuhannya. Entah kenapa, perkataan Tio tadi membuat Anila menjadi begitu kecewa. Bukan pada Tio, tapi lebih pada dirinya sendiri. Anila merasa karena hal itulah mungkin Tio selingkuh dari dia.
Deva masih saja diam, membiarkan gadis itu berbicara dan mencurahkan apa saja beban di dalam hatinya saat ini. Tapi mendengar curhatan Anila, membuat Deva kembali marah pada Tio. Apalagi setelah mendengar semua cerita Anila dan melihat betapa terpuruknya gadis itu sekarang. Sepanjang dia berteman dengan Anila, belum pernah Anila menangis sebegininya. Setidaknya di depan mata Deva, Anila tidak pernah sampai seperti ini ketika meratapi sesuatu.
"Gue berasa murahan tau nggak Va," ujar Anila begitu lirih.
Kali ini Deva tidak bisa menerima perkataan, Anila seolah-olah memandang rendah pada dirinya. Padahal selama ini Deva kenal Anila, tidak pernah sekalipun wanita itu bertingkah layaknya w************n seperti perkataannya. Penilaian Anila pada dirinya itu, jelas membuat Deva benar-benar murka kepada Tio. Pria itulah yang membuat Anila hingga bisa berpikir seperti ini. Tio tidak hanya mempermainkan Anila tapi juga membuat down Anila, disaat sahabatnya itu telah memikirkan untuk menyerahkan semuanya untuk Tio.
"Lo nggak murah, emang dasar dia yang b******n," umpat Deva emosi.
Anila tidak menjawab ataupun manyangkal umpatan Deva, Anila memilih untuk tetap menangisi nasib sialnya. Terlalu banyak menangis membuat wajah Anila semakin bengkak dan sembab. Dengan cepat Deva memeluk dan menenangkan Anila seperti yang biasanya dia lakukan jika Anila tengah kacau dan bermasalah.
"Va, do you wanna have s*x with me?" pertanyaan Anila itu membuat Deva langsung terdiam membatu.
Dalam sejarah hidupnya, seorang Deva sangat menjungjung tinggi prinsip 'No kiss no benefit in friendship'. Prinsip itulah yang dia pegang dalam pertemanannya bersama Anila. Seharusnya Deva langsung menolak permintaan Anila itu, tapi Deva malah diam tidak menjawab Anila. Bukan karena Deva mau, dia hanya tidak mau jawabannya akan semakin memperburuk kondisi Anila yang sekarang.
‘Ternyata penghianatan seorang Tio mampu merusak akal sehat seorang Anila,’ pikir Deva sambil menatap Anila.
Deva masih tetap memeluk Anila mencoba menenangkan Anila. Deva berharap dengan Anila yang tenang, dia tidak perlu memenuhi permintaan aneh dari sahabatnya itu lagi. Bagaiamanapun dia punya prinsip yang tidak mau dia langgar dalam pertemanan mereka.
Deva masih tidak memberikan jawaban atas permintaan Anila tadi. Dia masih saja diam hingga akhirnya Deva merasakan pergerakan Anila yang mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Terlepas dari pelukannya, gadis itu menatap Deva dengan wajah menyedihkan dan polos miliknya, seolah-olah perkataannya tadi bukanlah hal aneh atau terabsurd yang pernah dia minta pada Deva. Anila memintanya seolah dia hanya meminta lolipop kepada Deva. Padahal permintaannya barusan sukses memunculkan dilema besar di hati Deva. Bagi Deva, permintaan Anila tadi hanyalah bawaan emosi Anila. Makanya Deva hanya diam saja, menunggu pikiran Anila bisa jernih dan membatalkan keinginannya.
"La, lo kayanya kelelahan deh. Besok kita lanjutkan pembicaraannya kita," kata Deva mencoba mengelak dari permintaan Anila.
"Kenapa Va?, lo juga mikir hal yang sama, sama Tio?. Gue bukanlah cewek yang menarik. Cewek yang tidak mempunyai daya tarik yang cukup untuk ngebuat cowok berhasrat. Gue nggak lebih dari anak kecil?" tanya Anila dengan suara yang kembali bergetar.
Perkataan Tio menghancurkan kepercayaan diri Anila. Anila memang tidak terluka secara fisik, tetapi Anila terluka secara mental. Semua perkataan Tio itu membuat Anila dibayang-bayangi pemikiran kalau semua pria yang akan menjadi kekasihnya nanti, pasti akan menyelingkuhinya hanya karena dia bukanlah wanita yang cukup menarik dan membuat pria bisa berhasrat.
Itu benar-benar sangat menakutkan buat Anila, Anila tidak akan mau menerima penghianatan yang sama seperti apa yang Tio lakukan kepada dia baru saja.
"La, lo apa-apaan sih. Omongan lo ngawur tau nggak," bentak Deva.
Ini kedua kalinya dia membentak Anila dalam satu malam. Padahal dalam sepanjang pertemanannya dengan Anila dia selalu berusaha untuk jadi pihak yang selalu tenang dan sabar. Dia sadar kalau dialah yang laki-laki disini, makanya dia perlu untuk mengalah. Selain menjadi pihak yang selalu mengalah, Deva juga selalu memanjakan Anila. Dia memenuhi apapun permintaan Anila selama permintaannya itu mampu dipenuhinya dan bisa dimengerti olehnya. Deva memperlakukan Anila, sebagaimana dia juga memperlakukan Diva, kembarna perempuannya. Perkataan Anila itulah yang membuat Deva bingung harus memutuskan apa sekarang. Apakah dia memilih prinsipnya atau Anila.
Jika Deva menjawab tidak, Deva berani bertaruh, mental dan kepercayaan diri Anila akan semakin down, kemudian hancur karena penolakan ini. Bahkan Deva yakin kalau sahabatnya itu akan melakukan hal-hal bodoh yang Deva yakini akan disesali dia dan Anila dikemudian harinya nanti. Jika dia menjawab iya, itu berarti dia harus melanggar prinsip kuat yang selalu dipegangnya selama ini untuk menjaga persahabatannya dengan Anila. Deva terdiam lagi untuk menimbang-nimbang apa jawaban yang harus diberikannya kepada Anila, dia tidak mau salah memberikan jawaban. Berharap keputusan yang akan diambilnya ini tidak akan pernah disesali oleh dia dan Anila dikemudian hari.
Ditatapnya dengan dalam wajah Anila, dia ingin dengan melihat wajah gadis itu dia bisa mendapat jawaban yang tepat untuk pertanyaan dan kondisi Anila yang sekarang. Deva terlalu menyayangi Anila, membuat dia tidak tega menolak Anila. Tapi deva juga terlalu kukuh pada prinsipnya untuk mau menuruti mau Anila ini juga. Deva yakin persahabatan mereka tidak akan pernah sama lagi kalau dia menerimanya.
Deva tau permintaan Anila ini hanya karena kekalutan yang dirasakan oleh Anila saat ini, tapi melihat tekad dan keyakinan di mata Anila membuat Deva berpikir lain. Deva bisa saja menolak, tapi gadis keras kepala seperti Anila bisa saja jadi mencari orang lain dan meminta hal bodoh itu kesembarang orang. Hal itu dapat Deva pastikan akan Anila sesali nantinya. Tidak hanya Anila, tapi Deva juga. "Lo nggak perlu maksain diri kalau lo merasa emang nggak mau, gue bisa nyari cowok lain kok," jawab Anila sudah dalam keadaan marah.
Sesuai dengan dugaan Deva. Seorang Anila yang biasanya berpikiran realistis dan logis dalam mengambil keputusan, bisa berubah menjadi Anila yang gegabah dan ceroboh ketika emosi dan marah menghinggapinya. Persis seperti wanita kebanyakan, selalu mengutamakan emosinya daripada logikanya.
Anila hendak beranjak dari duduknya, namun segera ditarik kembali oleh Deva dengan tatapan yang Anila yakini sedang menahan marah juga sama sepertinya. Deva kemudian mendesah kasar, lalu mengacak-acak rambutnya dengan kesal. "Gue harap lo nggak nyesal dengan semua ini" ujar Deva sebelum akhirnya menarik Anila kekamarnya.