"Hi La," sapa Davina yang duduk diantara pasangan paruh baya yang tengah memandang dia dan kedua orangtuanya.
Anila diam tidak menjawab, rasa terkejudnya lebih mendominasi untuk saat ini. Sampai akhirnya cubitan kecil dari Miranda menyadarkan Anila dari ketekejutannya.
"Oh hi Vin. Long time not see you," ujar Anila pelan.
"Loh kalian udah saling kenal?" tanya pria seumuran papa Anila yang Anila tebak adalah papa Davina.
"Iya pah, Anila itu teman sekolahan Davina waktu SMA. Dia juga sahabat Deva pa," jawab Davina sambil tersenyum tanpa rasa bersalah diwajahnya.
Raut wajah yang kaku dan canggung langsung terlihat di wajah kedua orang tua Davina. Apalagi saat tau kalau orang tua Deva dan orang tua Anila juga adalah sahabat dekat seperti Deva dan Anila.
"Loh mbak Mila juga kenal sama Deva juga?, ini anak sama Deva juga udah kenal sejak lama loh mbak," Miranda mengatakannya dengan semangat.
Mama Anila tampaknya tidak menyadari perubahan raut wajah orang tua Davina yang sudah berubah canggung. Anila dan papa Anila sadar dengan perubahan raut wajah kedua orang tua Davina itu. Keduanya juga sadar akan perubahan mood pihak keluarga Davina. Anila dan papanya akhirnya hanya memilih diam dan tersenyum kecil dengan canggung pada orang tua Davina karena sedari tadi mama Anila tetap membicarakan tentang Deva dan kedua orang tuanya.
Anila melirik Davina, lalu dia memaki Davina di dalam hatinya. Anila memaki Davina karena Davina bisa dengan santainya dan tanpa merasa bersalah menyebut nama Deva?. Padahal, Deva saja sangat anti menyebut nama Davina. Jangankan menyebut, mendengar nama Davina saja Deva sangat anti, Deva akan langsung berubah seratus delapan puluh derajat hanya dengan mendengar nama Davina. Anila beberapa kali harus rela dicueki oleh Deva jika dia tidak sengaja menyebut nama gadis itu.
Sepanjang makan malam itu akhirnya Anila hanya bisa memilih untuk diam, sama halnya dengan Davina. Entah apa yang dipikirkan wanita itu, Anila-pun tidak mau tau karena dia harus memikirkan hal penting lainnya yang lebih penting dari masalah wanita itu. Anila sekarang harus memikirkan apa yang harus dilakukannya sekarang setelah bertemu Davina. Hubungan dia dan Deva yang sekarang tidaklah sesimple dahulu, saat mereka hanya sepasang sahabat.
Bisa saja sebenarnya Anila menyembunyikan tentang Davina yang sudah ada di Indonesia. Tapi Anila tidak mau egois, hanya demi kebahagiannya dia harus membohongi Deva yang mungkin masih berharap pada Davina.
Atau, haruskah dia harus mengorbankan perasaan Deva untuk kebahagiaannya?. Tapi bagaimana kalau ternyata kepulangan Davina malah akan semakin melukai Deva-nya. Bukankah kata Deva waktu itu Davina pergi dengan seorang pria yang memang dipilihkan orang tua Davina untuknya?, tanya Anila dalam hatinya. Segera dilihatnya jari manis Davina, namun Anila tidak menemukan keberadaan cincin disana, hal itu membuat Anila semakin bingung.
"Kalau Anila, kapan mau nikah?" tanya Ryan, papa Davina.
"Anila belum ada calon om, belom ada yang mau disiksa sama Anila" ujar Anila bercanda. Anila berusaha untuk tersenyum lebar.
"Wah sama dong sama Davina, anak-anak sekarang emang susah ya kalau sudah disuruh nikah," seloroh mama Davina.
Anila terkejut, selama ini dia dan yang lainnya yang tau hubungan antara Deva dan Davina selalu berpikir kalau Davina telah menikah. Menikah dengan pria yang dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan Davina. Pria itu juga pria yang mereka yakini membawa Davina pergi dari Deva. Kalau ternyata Davina tidak menikah?, lalu siapa pria yang membawanya pergi dan dijodohkan dengan Davina waktu itu?, Anila bertanya dalam hatinya.
Davina dan Anila sama-sama tersenyum mendengar perkataan mama Davina tadi. Mereka memang sama-sama tersenyum yang berbeda hanyalah arti dari senyum juga dan raut wajah dari Davina dan Anila. Jika yang satu tersenyum bangga soal statusnya yang belum menikah.
Maka yang satu lagi, Anila tersenyum kecut tersembunyi sambil berkata dalam hati, “Kalau tante nerima Deva dulu, sekarang Davina mungkin saja sudah mempunyai anak.” Makan malam Anila bersama orang tuanya kali ini akhirnya dihabiskan Anila dengan asik berpikir sendiri tentang apa yang harus dilakukannya sekarang tentang kedatangan Davina. Hubungan friend with benefit-nya dengan Deva yang terutama, menurut Anila kepulangan Davina akan sangat mempengaruhi hubungannya dengan Deva. Apalagi setelah Anila tau tentang kenyataan kalau Davina yang belum menikah, itu artinya masih ada kemungkinan Deva bisa kembali bersama dengan Davina. Semua pemikiran tentang Davina dan Deva itu membuat Anila semakin pusing.
Banyak pertanyaan tentang Davina yang belum terjawab, ini seperti misteri buat Anila. Pertanyaan yang paling ingin Anila ketahui adalah tentang kepergian Davina dengan pria yang katanya adalah calon suami Davina. “Siapa laki-laki yang Deva maksud bersama Davina saat itu dan kenapa Davina nyatanya belum menikah seperti apa yang diucapkan Deva?” tanya Anila lagi dalam hatinya.
"Ma, Anila ke kamar mandi dulu," pamit Anila ketika dia dan keluarganya juga sudah bersiap untuk pulang.
Anila langsung pergi bahkan sebelum mamanya memberikan jawaban kepadanya. Dia tau kalau mama dan papanya akan menunggunya.
"La..." panggil Davina yang ternyata mengikutinya dari belakang.
Anila menoleh, lalu mencoba bersikap senormal mungkin dihadapan Davina. Kalau boleh melihat kebelakang, sebenarnya sejak dulu Anila tidak pernah begitu dekat dengan Davina. Davina duduk di X1, sedangkan dia dan Diva ada di kelas X2. Jadi wajar kalau mereka berdua tidak terlalu dekat antar mereka. Dia dan Davina memang saling berbicara, tapi tidak lebih dari sekedar say hallo. Ketika dia dan Deva mengadakan double date-pun Anila dan Davina tidak saling berbicara. Bukan karena Anila yang membatasi dirinya dengan Davina, tetapi entah kenapa Anila selalu merasa kalau Davina terlihat tidak nyaman dengan keberadaannya. Anila coba mengerti karena Anila berpikir, mungkin saja Davina tidak suka kedekatannya dengan Deva.
“Ya kenapa?” tanya Anila berusaha seramah mungkin dengan menampilkan senyumnya.
"Gue bisa minta kontak Deva nggak?" tanya Davina terlihat ragu-ragu.
Davina melihat Anila langsung terdiam karena dia tampaknya tidak tau harus merespon apa. Davina sendiri berpikir kalau dia tidak akan menyalahkan Anila seandainya wanita itu menolak untuk memberikan apa yang baru saja dia minta pada Anila. Davina tau sedekat apa Anila dan Deva, jadi Davina berpikir kalau Anila mungkin saja akan menolak permintaannya karena dia tau apa yang sudah Davina lakukan pada Deva. Selain itu, Davina juga tau kalau Anila dulu sempat menyukai Deva, hingga membuat Davina selalu merasa tidak nyaman jika melihat Anila dan Deva dekat. Kalau Anila ada dekat Deva, biasanya otomatis perhatian Deva akan langsung terbagi dua. Mungkin sajakan kalau Anila menyukai Deva lagi sekarang.
Davina sendiri masih ingat saat dia dan Deva bertengkar hebat, Davina meminta agar Deva menjaga jarak dengan Anila. Jelas Deva marah pada Davina dan tidak mau melakukan apa yang diminta gadis itu, sampai akhirnya Davina kesal dan berteriak kalau Anila menyukainya. Saat itu Davina masih ingat betapa piasnya wajah Deva, Deva mencoba menyangkal perkataan Davina. Tapi dia segera menunjukkan bukti-buktinya, setelah berhasil meyakinkan Deva, barulah Deva mau menjauhi Anila. Jahat memang, tapi dia mau perhatian Deva sepenuhnya tertuju padanya dan Deva juga memilih dia daripada Anila. Tapi sekarang, Davina bahkan tidak tau apakah dia masih bisa mengharapkan Deva.
***
Anila masih terdiam, dia bingung apakah dia harus memberikan kontak Deva atau tidak. Anila takut, kalau dia memberikan kontaknya, nanti Deva malah memarahinya. Kadang Anila cukup susah menebak cara berpikir dan suasana hati Deva. Dia takut kalau Deva akan membencinya kalau dia tau Anilalah yang memberikan nomornya pada Davina, mengingat Deva bahkan mencuekinya hanya dengan menyebut nama Davina.
"Nggak papa kok kalau lo nolak," ujar Davina cepat menyadari kebingungan dan keengganan di wajah Anila. Davina tau diri kalau dia tidak bisa memaksa Anila. Dia juga sdar diri kalau dia tidak berhak untuk mengganggu hidup Deva lagi.
Tetapi saat Anila mendengar Davina berkata begitu, Anila tiba-tiba merasa tidak enak. Anila juga merasa tidak pantas menjadi orang yang merusak kesempatan Deva untuk memperbaiki kisah cintanya dengan Davina.
Akhirnya Anila merogoh tasnya lalu mengambil handphonenya untuk memberikan nomor Deva kepada Davina.
"Nih nomornya," Anila akhirnya menyerahkan nomor Deva tanpa berpikir panjang lagi.
Anila pikir memang sudah seharusnya begini. Setidaknya dia tidak perlu pusing memberitahu Deva kalau Davina sudah pulang ke Indonesia. Soal Anila yang memberikan nomor Deva kepada Davina. Dia bisa mencari alasan soal itu nanti.
***
Seminggu sejak malam dimana Anila makan malam bersama dengan keluarga Davina, malam yang tidak sengaja membuat Anila dan Davina bertemu. Sejak itu pula Anila memilih untuk menghindari Deva karena jauh di dalam lubuk hatinya ada rasa tidak ikhlas jika pada akhirnya Deva dan Davina memilih untuk kembali bersama. Anila menghindari Deva dengan cara menerima orderan pekerjaan di Bali.
"Maaf bu, ada yang nyariin ibu dibawah," kata asisten Anila.
"Siapa Ra?" tanya Anila sedikit malas. Sepulang dari Bali tadi malam sebenarnya membuat Anila sedikit malas untuk bekerja hari ini. Tapi demi permintaan client-nya Anila harus rela menahan rasa lelahnya. Ternyata menerima permintaan Nagi untuk menggantikannya pergi ke Bali adalah pilihan yang salah, pikir Anila.
Tapi setelah mengingat masalahnya, Anila berpikir memang hanya itulah satu-satunya jalan untuk Anila bisa menghindari Deva. Selain itu, Nagi tengah hamil, Anila tidak akan tega menyuruh Nagi untuk pergi jauh-jauh dari suaminya.
"Gue, kenapa? lo mau langsung sembunyi dan menghindar lagi?" Deva tiba-tiba saja sudah muncul di pintu ruang kerja milik Anila.
Anila sangat terkejut hingga membuatnya terdiam sejenak. Mencoba berpikir apa yang harus dikatakannya untuk menghadapi Deva. Tapi untuk pertama-tama dia harus menyuruh asistennya tadi untuk meninggalkan dia dan Deva sendiri.
"Udah Ra, kamu udah boleh ketempat kamu sekarang," ujar Anila mempersilahkan Nara meninggalkan dia bersama Deva.
"Gue salah apalagi makanya lo ngehindari gue lagi?" tanya Deva yang terlihat sedang mencoba menahan rasa kesalnya.
Tidak sulit buat Anila untuk melihat kekesalan di wajah Deva saat ini.
"Gue nggak ngehindari lo, gue ada kerjaan di Bali. Gue harus ngegantiin Nagi yang lagi cuti hamil," Anila menjawab meskipun sedikit berbohong.
"Kenapa handphone lo juga sampai nggak bisa dihubungi?" tanya Deva masih dalam mode yang seperti tadi, meski terlihat sudah sedikit reda.
"Handphone gue ketinggalan di rumah papa, makanya gue nggak bisa dihubungi," jawab Anila seadanya.
‘Karena gue sengaja ninggalinnya,’ kata Anila dalam hati.
Mendengar itu, Deva hanya bisa diam dan memilih menghempaskan tubuhnya di sofa ruang kerja Anila. Jujur, Deva cukup merasakan lelah satu hari ini, tidak hanya lelah pikiran tetapi juga lelah hati. Satu minggu ini dia habiskan waktu kosongnya untuk mencari Anila karena semua orang bilang dia pergi untuk urusan bisnis. Sayangnya dia tidak percaya semua itu karena Anila terlalu sering kabur ketika mereka ada masalah. Kali inipun Deva yakin Anila sedang menghindarinya karena ada masalah yang Deva tidak tau itu apa, makanya dia butuh penjelasan.
"Lo kayaknya lelah banget," Anila menyadarkan Deva dari lamunannya. Anila sudah mengambil posisi duduk di sebelah Deva. Anila juga terlihat tengah mengamati wajah Deva yang terlihat sedikit kucel dan kuyu.
"Menurut lo. Setelah gue nyariin lo semingguan lebih ini, itu nggak ngebuat gue capek?" tanya Deva sarkastik.
Anila menyengir lebar, tapi kemudian bibirnya dibuat mengkerucut lucu untuk menarik perhatian Deva supaya dia bisa membujuk Deva. "Gimana kalau gue traktir lo makan hari ini, buat nebus rasa bersalah gue?," tawar Anila sambil mengedip kedipkan matanya.
Deva hanya diam lalu mengangguk malas. Bukankah selalu begini, Anila selalu mudah untuk membujuknya dan membuatnya luluh.
"Tapi kita makan di apartemen gue aja. Gua malas kalau harus makan di luar," Deva berucap sambil beranjak dari duduknya lalu berjalan meninggalkan Anila.
Anila setuju setelah itu Anila mengikuti Deva dari belakang. Sepanjang perjalanan menuju apartemen Deva, keduanya salin mendiami. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Banyak hal yang tidak mereka sadari, terutama sesuatu yang telah berubah pada persahabatan mereka.
Tepat di persimpangan jalan menuju apartemen Deva, Anila sempat menangkap sosok Davina dipinggiran jalan. Saat itu perasaan tidak tenang langsung menghinggapi Anila. Perasaan ini selalu saja muncul sejak Anila bertemu Davina. Selain perasaan tidak tenang, Anila juga selalu merasa galau setiap kali Anila membayangkan Deva kembali bersama Davina.
Anila melirik Deva yang terlihat lebih tenang setelah menemukan dia tadi, membuat Anila berpikir kalau Deva sepertinya belum tau soal kepulangan Davina. Tapi bukankah dalam waktu satu minggu ini Davina seharusnya sudah menemui Deva. Kalau ternyata Deva sudah tau, maka Anila tidak perlu berpikir dan merasa bersalah lagi pada Deva karena dia tidak memberitahukan Davina sudah pulang ke Indonesia. Tapi, jika ternyata Deva belum tau, apakah Anila perlu turun tangan untuk mempertemukan Davina dan Deva?.
"Va gue kangen tau ama lo," ucap Anila tiba-tiba dengan lirih dengan mata yang menatap keluar jendela mobil Deva.
Deva diam tidak menanggapi apapun, Deva memilih untuk tetap menjalankan mobilnya, hingga mereka tiba di gedung apartemen Deva. Tapi ketika keduanya sudah tiba di apartemen Deva, Deva langsung saja menyerang bibir Anila. Deva memberikan ciuman kasar pada bibir Anila yang Anila sendiri tidak tau untuk apa.