bc

Paket & Bensin

book_age12+
733
IKUTI
3.2K
BACA
goodgirl
drama
comedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Uraian

Ana, gadis yang hobi belanja online, sedangkan Jino, pria yang cinta mati dengan motornya. Bertemu sebagai tetangga, dan sering bertengkar karena terganggu dengan suara dari aktifitas masing-masing. Jino, terganggu dengan teriakan tukang paket, dan Ana, terganggu dengan suara motor Jino. Namun akhirnya mereka jadi dekat setelah Jino tahu, siapa Ana sebenarnya, begitu pun sebaliknya.

cover by: aeanakim

font by: **

chap-preview
Pratinjau gratis
01
Baru-baru ini komplek kedatangan penghuni baru. Keluarga besar, beranggotakan, sepasang orang tua, dan lima orang anak. Mereka jadi tetangga Jino, pas di sebelah rumah. Sementara Jino sendiri, adalah anak tunggal, yang biasa dengan kesunyian. Kalau pun mau ada keributan, dia biasa membuat keributan itu sendiri. Seperti memutar lagu kencang-kencang, bikin drama, atau nangis sendiri karena baca komik. Tapi sejak kedatangan penghuni baru, Jino jadi mendengar keributan yang berasal dari orang lain. Dan itu membuatnya stress, karena di jam-jam tertentu, saat ia butuh suasana tenang. Semuanya ambyar, gara-gara keluarga yang tinggal di sebelah. Tangisan bayi, suara anak-anak yang bertengkar, ditambah suara orang dewasa yang mengomel. Jino yakin itu bukan suara orang tua mereka, karena Jino sudah pernah ketemu kok dengan orang tua yang punya rumah. Jadi Jino hafal suaranya. Dari kelima anak yang tinggal di sebelah, Jino hanya pernah melihat empat. Yang satunya lagi, Jino belum pernah lihat. Kemungkinan besar, dia anak yang paling besar atau kecil. Yang paling membuat Jino kesal, bukan hanya suara-suara berisik dari anak-anak itu. Karena Jino masih bisa memaklumi sebenarnya. Namanya juga anak-anak, pasti ada saja ulahnya. Tapi tukang paket yang hampir setiap hari datang. Yang menyambut kehadiran tukang paket pun, malah anak-anak yang kecilnya. Mereka biasanya akan keluar rumah dengan ribut, saking senangnya menyambut paket yang datang. Tapi nanti setelah masuk ke dalam rumah, akan terdengar nada kecewa dari mereka, karena ternyata paket itu bukan milik mereka. Katanya itu kosmetik. Dari samar-samar suara yang Jino dengar. Jino jadi penasaram, siapa sih yang sebenarnya suka belanja online kosmetik itu? Kasihan kan adik-adiknya, sudah senang-senang terima paket. Ternyata bukan paket mereka. Hampir setiap hari pula dia belanja, emangnya gak kasian sama tukang paket yang bolak-balik ke rumahnya? Sampai hampir tengah malam pun, tukang paket pernah datang loh. Mengganggu juga, jujur saja. ••• Klontang, klanting. Suara-suara keluar dari Jino yang sedang mengotak-atik motornya. Tak lama suara keributan dari rumah sebelah menimpali. Jino pun menolehkan kepalanya ke arah rumah di sebelah kanannya itu. Tiga orang anak, tampak keluar dari rumah, dengan seragam sekolah yang rapih membalut tubuh mereka. Ditambah ada ransel besar yang mereka kenakan di punggung. Jino otomatis berdiri, untuk menyapa orang tua mereka yang juga keluar rumah. "Mau sekolah?" tanya Jino sembari tersenyum. "Iya, liburannya kan udah selesai." Balas Ibu dari ketiga anak itu. "Tapi kok bawa tas besar gitu?" "Soalnya mereka mau asrama." Jino seketika terkejut. "Oh, sekolah asrama?" "Iya. Habis kalau gak asrama susah diatur. Kakaknya juga stress katanya, gak bisa kerja, soalnya pada ribut. Anak laki-laki sih, ada aja tingkahnya." Jino menganggukan kepalanya mengerti. "Berarti di rumah tinggal Kakak-Kakaknya aja?" tanya Jino. "Iya. Yang satu juga bakal sekolah, cuman gak asrama." Jino kembali mengangguk-angguk. "Ini Bapak mau nganter mereka ya?" "Iya, nanti habis nganter langsung berangkat kerja." "Oh gitu. Hati-hati ya di jalan, semanget sekolahnya." Kata Jino pada ketiga anak laki-laki yang sebelumnya sedang merengek tidak mau sekolah pada Ibu dan Ayah mereka. Ketiga anak itu pun, setelah berhasil dibujuk. Memasuki mobil yang sudah selesai dipanaskan Ayah mereka, Jino masih mengamati keluarga itu, di halaman rumahnya. Sampai akhirnya mobil itu pun pergi, Jino pun melambaikan tangan pada anak-anak itu, yang duluan melambaikan tangan pada Jino. Nakal sih, tapi jujur saja, mereka manis. Batin Jino. Ibu anak-anak itu pun pamit mau masuk kembali ke dalam rumah pada Jino. Dan baru beberapa menit si Ibu masuk rumah, sebuah motor dengan kantung besar di joknya, juga menggunakan jaket merah, berhenti di depan rumah tersebut. Ekspresi Jino langsung berubah datar. "Permisi! Paket!" "Sebentar!" teriak sebuah suara dari dalam. Karena anak-anak yang biasanya mengambil paket sekolah, Jino yakin yang sekarang akan mengambil paketnya, adalah tersangka yang sering mendatangkan tukang paket ke rumahnya itu. Cklek. Jino langsung dengan sigap memasang penglihatannya baik-baik, begitu pintu rumah terbuka. Seorang gadis dengan penampilan berantakan, keluar dari rumah. Celana pendek, longgar, selutut, serta kaos oblong polos membalut tubuhnya. Sementara rambut pendeknya acak-acakan tidak karuan. Kacamata pun bertengger di tulang hidungnya. "Ana ya Pak?" tanya gadis itu. "Iya," balas tukang paket itu. "Woy! Belanja online mulu!" teriak Jino tiba-tiba. Ia sudah tidak bisa menahan rupanya, untuk tidak meluapkan kekesalannya. Gadis itu menatap Jino dengan sebelah alis yang terangkat. "Apaan sih? Lo tuh, motor aja! Berisik tau!" seru gadis itu. "Wo, woo... kenapa nyambungnya jadi ke motor gue?" "Elu gak nyadar?! Motor lo itu berisik. Tiap hari lo otak-atik, terus entar dinyalain, di gas-gas. Untung aja gue sabar, gak kayak lo." "Mbak, maaf paketnya ini gimana ya?" kepala Ana yang dari tadi terarah ke arah Jino, langsung menolehkan kepalanya ke depan, lebih tepatnya ke arah si tukang paket. "Tuh kan, gara-gara lo gue sampe lupa sama paket gue." Gerutu Ana sembari menerima paketnya. "Makasih Bang," "Sama-sama Mbak, kalau gitu saya permisi." Sang tukang paket dengan terburu-buru langsung bergegas pergi dari rumah Ana. "Lo tuh nyusahin orang aja tau gak?" Jino masih belum puas bertengkar rupanya. "Nyusahin orang gimana hah?" "Tiap hari kurir paket dateng ke rumah lo, kasian tau gak? Apa lagi pernah tuh, kurir paket dateng sampe jam 11 malem." "Lah, diakan dibayar, itu emang pekerjaannya, masalahnya di mana?" "Ya kira-kira juga dong ngasih kerjaan ke orang." "Aduh, please ya Mas, gue kenal lo aja kagak. Baru pertama kali ketemu udah ngajak ribut aja, pantes tuh bibir meleber gak kira-kira." "Anjir, body shaming lu. Gue itu cuman gemes ya sama lo. Hampir tiap hari tukang paket dateng, dan lo malah nyuruh adek-adek yang ngambil, padahal itu paket lo. Gue sampe eneg denger teriakan misi paket, misi paket." "Hehhh... permisi, paket itu adalah kalimat paling menyenangkan buat gue yaa... asal lo tau! Dan emang gue gak berisik denger suara klontang, klanting sama ngeng ngeng motor lu itu hah? Gue juga gedeg!" "Ana!" "Jino!" Ana dan Jino seketika bungkam, saat mendengar suara teriakan Ibu mereka masing-masing dari dalam rumah. Tak lama mereka keluar dari rumah, membuat Ana dan Jino semakin merapatkan bibir mereka. "Kalian ngapain ribut-ribut?" tanya Ibu Ana. "Iya ih, didenger tetangga lain gak enak tau." Timpal Ibu Jino. "Lagian bukannya kalian baru pertama kali ketemu? Kenapa malah ribut? Kenalan kek." Kata Ibu Ana. Ana dan Jino sama-sama berengut. Kalau bukan karena ada Ibu mereka, mereka ogah kenalan. Tapi kan enggak enak yaa... sama Nyonya-Nyonya ini. Gak sopan juga kalau sama-sama bilang enggak mau. Ana pun turun dari teras ke halaman, ia mendekati pagar rumah di bagian samping, yang jadi pembatas rumahnya dan Jino. "Ana," ucap Ana memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangannya. Dengan ogah-ogahan, Jino membalas jabatan tangan Ana. "Jino," ucap Jino ketus. Namun mulutnya tiba-tiba mengeluarkan suara ringisan. Ana mencengkram tangannya terlalu erat, tak lupa menancapkan kukunya yang belum sempat dipotong. Saat melihat Ibu Jino mulai fokus mengobrol dengan Ibunya, Ana langsung menjulurkan lidahnya meledek dan menghempas tangan Jino dengan kasar. "Usia berapa sih lo? Bocah banget." Cibir Jino dengan nada lirih. "Apa urusannya sama lo?" balas Ana dengan nada yang lirih juga. "Kalau gitu saya mau masuk ke dalem lagi ya Tan," kata Ana pada Ibu Jino. "Loh? Buru-buru amat. Udah sebulanan loh pindah ke sini, tapi Tante hampir gak pernah liat kamu." Tutur Ibu Jino. "Eungg... emang... gak pernah keluar rumah hehe," kata Ana. "Kenapa gak pernah keluar rumah? Padahalkan bisa main sama Jino." Kata Ibu Jino. "Banyak kerjaan Tante. Aku kan nulis, kerjanya di rumah terus." Kata Ana. "Oh, kamu penulis?" "Iya, penulis gak laku sih, hahaha." "Sekali-kali keluar dong, biar Tante nanti nyuruh Jino bawa kamu jalan-jalan ke sekitar sini. Pasti belum tau daerah-daerah di sinikan?" "Ahh, makasih Tante, gak usah repot-repot. Kalau gitu saya masuk dulu, permisi." Dengan terburu-buru, sebelum diajak ngomong lagi, Ana bergegas pergi. 'Gak sopan banget,' cibir Jino di dalam hati. "Maaf ya? Ana itu emang paling gak betah di luar rumah, sampe pusing saya. Kalau keluar rumah paling seperlunya, kayak belanja." Tutur Ibu Ana. "Waduh, bisa gawat loh Bu, harus didorong biar mau keluar rumah." Kata Ibu Jino. "Iya, saya juga khawatir. Dia akhir-akhir ini suka ngeluh kesepian juga, tapi disuruh cari temen susah banget. Alesannya A, B, C," "Umurnya berapa sekarang?" "20 tahun," "Seumuran sama anak saya. Sekali-kali ajak dia main bareng kamu Jin." Jino diam, bingung mau merespon apa. Bilang iya, sebenarnya enggak mau, bilang enggak, juga enggak enak. "Yaa... itu tergantung Ananya, mau apa enggak," Kata Jino. "Nanti Tante paksa deh. Dia kan jadi stress sendiri juga. Kebahagiaannya itu ya cuman belanja online sama pas paketnya dateng." "Ohh, pantes hampir tiap hari kurir paket dateng. Emang apa aja sih yang dia beli?" "Makeup, makanan, sama yang gak penting, gak penting." "Harus mulai dibatesin tuh," Dan akhirnya Ibu-Ibu mulai larut dalam obrolan mereka. Jino ujung-ujungnya pilih pamit, dari pada jadi nyamuk. ••• "Entar ngomong di medsos, aku mah beda gak kayak cewek-cewek lain yang suka belanja ke mall. Iya, emang gak belanja ke mall, tapi belanja online." Dengus Jino pada teman-temannya. "Hahaha, cewek-cewek itu emang suka koar-koarnya beda sama cewek lain, padahal ujung-ujungnya sama aja." Timpal Felix, salah satu teman Jino. "Cowok juga sama aja sih." Balas Tora. "Woah, lo mihak ke cewek ya?" protes Han. "Alesan kalian masih pada jomblo gini nih, nyinyirin lawan jenis. Aneh gue, entar ngeluh jomblo, padahal congor sama jarinya nyinyirin cewek mulu." Kata Tora yang membuat Han dan Felix bungkam. "Yah, pokoknya, intinya, gue kesel banget sama cewek itu. Bisa-bisanya gitu loh, belanja online mulu. Duit dia kagak habis-habis apa gimana coba?" kata Jino. "Dia katanya penulis?" kata Tora. "Ya emang. Tapi emang penulis apaan sih? Paling penulis gak laku. Gue gak pernah tuh denger namanya, nemu bukunya di toko buku juga enggak pernah. Semisal dia emang penulis online, banyak tuh penulis online bukunya mejeng di toko buku, tapi gue gak pernah nemu penulis yang namanya 'Ana'." Kata Jino. "Yah, dia pakai nama pena kali, dan lo gak tau nama penanya." Kata Tora. "Tetep aja pasti nyematin nama asli." "Kalau enggak self publishing paling. Sekarang cari uang mah gampang, meskipun hasilnya seperak dua perak." "Nulis susah anjir." Timpal Han. "Meskipun kesannya gampang, nyari uang di rumah. Tapi nulis, jualan online, atau bikin website, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang bisa dilakuin di rumah, itu tetep susah. Butuh otak." "Ya deh yang hacker." Cibir Tora. "Gue bikin website, bukan hacker." "Kenapa gak kuliah aja sih lu?" tanya Jino. "Udah bisa ngehasilin uang ini, ngapain gue susah-susah kuliah? Gak tau juga mau ambil jurusan apa. Kecuali gue ada minat tertentu, yang harus kuliah, ya baru gue kuliah." Balas Han. "Bahasa kek, apa gitu." Kata Jino. "Bahasa apa? Gue gak minat. Bahasa Inggris juga udah mahir gue, otodidak. Gak perlu kayak lu." "Ngeremehin banget lu bangsat." "Heh! Mulutnya!" tegur Tora yang membuat Jino langsung diam. "Akh! Pokoknya gue kesel banget ah sama cewek itu! Mana dia ngatain motor kesayangan gue, huhuhu. Sakit hati gue, sakit banget... gak rela gue kalau motor gue yang dikatain." Jino mulai dramatis, dia pura-pura nangis, sambil memegangi dadanya. "Sabar ya, motor lo emang ngeselin kok, apa lagi suara ngeng ngengnya itu. Berdengung telinga gue." Kata Han sembari memeluk Jino dari samping, tapi Jino langsung mendorongnya. "Btw, gue gak ngomong-ngomong nih dari tadi." Celetuk Felix. "Gak ada dialog yang cocok buat lo." Balas Tora. ••• Ana membongkar paketnya yang baru tiba. Meskipun sudah tahu isinya apa, tetap saja dia sangat excited begitu melihat isi paket. Tadi pagi sudah ada paket datang. Malamnya ada lagi. Nikmatnya hidup. Lipstick keluaran terbaru, dan eyeshdow dengan warna yang cantik-cantik keluar dari kotak. Meskipun tidak tahu mau dipakai kemana, yang penting dia sudah beli, dan cuci mata. Karena matanya sudah jengah melihat layar putih, dengan rentetan huruf dan keyboard di bawahnya. Ana mengambil ponselnya, foto-foto, lalu dia uplod ke media sosial. 'Lipstick dan eyeshadownya cantik bangettt!' ujar caption yang Ana tulis. Lima belas menit, saat Ana cek media sosial, dua pengikutnya berkurang. Ana otomatis memajukan bibir bawahnya, tapi ia berusaha tidak peduli. Dan memilih bermain dengan eyeshadow barunya. "Hah, uang gue tinggal berapa sekarang? Kayaknya udah habis deh. Ughhh... belanja terus, padahal bulan ini belum tentu ada pemasukan." Oceh Ana sendiri. "Akh, ya udahlah gak papa. Gak tau juga uangnya buat apaan," Brum! Brum! Brum! Mata Ana seketika memicing sinis keluar jendela kamarnya. Pasti Jino yang baru pulang main. Ana beranjak dari karpet, dan mengintip keluar jendela. Benar saja. Cowok itu baru turun dari motornya sembari melepas helmnya, dan mengibaskan rambut hitamnya yang agak panjang. "Cih, sok ganteng banget." Gumam Ana. Ana tiba-tiba mengeluarkan setengah tubuhnya dari jendela, lalu berteriak. "Woy! Akhir-akhir ini katanya banyak maling motor! Hati-hati aja tuh, motor butut lo jadi korban!" Jino langsung menolehkan kepalanya ke sumber suara. Matanya yang sudah sipit, semakin ia sipitkan. "Gue baru pulang ya Mbaeee... gak usah ngajak ribut!" "Heh, gue cuman ngasih tau lo ya. Demi elo sendiri tetangga ku tercinta!" "Alah, paling yang jadi maling itu elu! Udah deh lu, gak usah caper sama gue. Gue tau gue ganteng, pasti lo emang cari-cari kesempatan buat ribut sama gue, biar bisa modus sama gue." "Heh! Najis! Yang mulai elu duluan, dasar bangke!" "Ana!" "Jino!" ••• "Oh my god," gumam Jino. Matanya menatap tidak percaya, dengan mulut dan kedua tangan terbuka. "Oh my god," sekarang kedua tangan Jino beralih menarik rambutnya ke belakang. "Oh my goddd... my honey, my love, my sweet heart, my baby motorcycle... MAMAAAA!!! MOTOR AKU HILANG!" ••• Setahu Ana yang hilang itu motor, bukan nyawa. Tapi yang datang ke rumah Jino ramai, seperti mau ngelayat. Ada Polisi, teman-teman Jino, sampai saudara Jino yang ada di Depok ikut datang. Sementara Jino sedang nangis-nangis di halaman, dan memohon pada Polisi agar bisa segera menemukan motornya. Papa Jino yang sebelumnya sedang kerja di luar kota pun, katanya lagi dalam perjalanan pulang. Yang membuat Ana tambah terganggu, orang tuanya ikut direpotkan, terutama Ayahnya. Dimintai bantuan untuk ikut mencari motor Jino juga. Ayahnya mau-mau aja lagi. Padahal dua hari lagi Ayahnya mau dinas keluar kota, harusnya di rumah saja. "Yang sabar ya Jin, mending lo beli motor baru lagi deh. Motor lo itu udah butut." Kerah baju Han seketika dicengkram oleh Jino. "Apa lo bilang? Beli motor baru lagi? Lo tau sendirikan? Gue nabung lima tahun buat beli tuh motor! Dia itu separuh jiwa gue, separuh hidup gue! Gue nabung dari SMA, sampe gak pernah jajan buat beli diaaa..." kata Jino. "Woy, woy, selo dong," Ardan, teman Jino yang lain mencoba melerai. Ia menarik tangan Jino dari kerah baju Han. "Yang nyolong motor Jino, gila kali ya," Celetuk Randy, salah satu teman Jino. "Iya, emang!" balas Jino dengan nada merengek. "Motor butut diincer, kayak gak ada motor lain yang lebih bagus aja." Lanjutan dari kalimat Randy, sukses membuat Jino melotot, dan bersiap menghajarnya, tapi Felix dan Ardan dengan sigap langsung menahannya. "Dia itu motor tercantik tau gak?! Huaaaaa... gak ngerti kalian perasaan gue!" Ardan akhirnya memeluk Jino sembari menepuk-nepuk punggungnya. "Iyalah cantik, warnanya aja baby blue." Gumam Tora sembari melipat kedua tangannya di depan d**a dan menggelengkan kepalanya. "Gue beliin motor yang lebih gagah ya Jin?" kata Jazmi sembari menepuk bahu Jino. "Enggak!" seru Jino. "Motor ninja Jin, masak gak mau?" "Emang lo beneran mau beliin?" tanya Jino sembari melepas pelukannya dari Ardan, dan menatap Jazmi. "Lo beneran mau?" tanya Jazmi. "Yaa... kalau si baby blue udah gak ada harapan." Balas Jino sembari memajukan bibir bawahnya. "Alah, padahal dari lama lo udah pengen ganti motorkan?" cibir Tora. "Enggak! My baby blue gak akan tergantikan! Tapi kalau emang gak bisa ketemu, mau gimana?" Ana yang sebelumnya hanya memperhatikan lewat jendela kamarnya, akhirnya memilih keluar dari rumahnya, untuk ikut ngelayat. Tapi sambil dighibahin, dosa apa aja yang pernah dilakuin motornya Jino. "Permisi," sapa Ana setibanya di rumah Jino. Dia tentu saja langsung sorot perhatian, karena penampilannya yang acak-acakan, terutama rambutnya. Jino mendelik sinis pada Ana. Dari ekspresinya Jino sudah tahu kalau Ana pasti mengolok-ngoloknya. "Turut berduka ya, atas hilangnya motor lu." Kata Ana setelah berdiri di depan Jino, sambil berkacak pinggang. "Gak usah ke sini lu kalau cuman mau ngetawain," kata Jino. "Enggak, gue gak mai ngetawain. Orang gak ada yang lucu. Cuman pengen bilang, telinga lo congek ya gara-gara sering denger suara ngeng ngeng motor? Semalem gue bilang apa sama lu?" Jino langsung terdiam. "Makanya dengerin kalau gue bilang. Elu kira gue main-main sama omongan gue? Gue gak suka bercanda asal lo tau." Kata Ana sebelum akhirnya melengos pergi. "Itu cewek tetangga yang lo maksud?" tanya Felix. "Heumm," balas Jino dengan bibir mengerucut. "Biasa aja mukanya," Kata Tora yang membuat Jino semakin ingin menangis. "Kayak mayat tuh cewek. Pas pertama kali gue dateng kaget." Kata Han. "Lebay," timpal Tora. "Bisa gak sih? Kalau kita ngomong lo gak ngatain hah?" balas Han. Tora langsung memberi pelototan pada Han. "Berani lo sama gue?" "Enggak, maaf." "Yah pasti kayak mayatlah, keluar rumah aja gak pernah. Dia orang gak normal." Kata Jino. ••• Ana mengangkat salah satu kakinya ke kursi, lalu menggaruk-garuk betisnya. Ia sesekali akan mengunyah jambu batu, di sela aktifitasnya merangkai kalimat demi kalimat, kata demi kata. "Mereka ceritanya jalan-jalan ke Dufan. Tapi Dufan kayak apa?" gumam Ana sembari mengusap-ngusap dagunya. "Heum, ganti jadi ke taman wahana aja deh." Tik, tik, tik. "Tapi kan gue juga gak pernah ke taman wahana. Isinya apaan juga gue kagak tau. Kalau pasar malem? Samaaa... aduh, gue ke sana pas umur 4 tahun, mana inget sekarang." Ana mengambil ponselnya, mencoba mencari tentang Dufan, taman wahana atau pasar malam. "Percuma juga sih kalau gak pernah ke sana, gue tetep bingung dan gak bisa ngerasain feel-nya." Monolog Ana sendiri, sebelum menghela napas panjang. "Ya udahlah, bikin adegan di sananya sekilas-sekilas aja." Ana mulai sibuk berkutat dengan laptopnya lagi. Meskipun tidak pernah mengalami hal yang ia tulis, saat khayalannya mulai tumbuh, dan ia rangkai dengan baik, ia pun akhirnya bisa terlarut dan membuat adegan yang seolah-olah ia pernah mengalami hal itu. Dari yang pusing dan merasa terbeban bagaimana membuat adegan di tempat yang tidak pernah sama sekali ia kunjungi, kalau sudah terjun ke dalam tulisannya sendiri. Bebannya jadi hilang juga. "MOTOR JINO KETEMU!" "ALHAMDULILLAH YA ALLAH!" "HUAAAAA MY BABY BLUE!" "Gak jadi dibeliin motor ninja dong sama Jazmi?" "Beliin aja Min, biar motor gue ada dua." "Sembarangan," ucap Ana tanpa sadar. Motor satu saja Jino sudah berisik, apa lagi kalau ada dua? Ana beranjak dari kursinya dan berjalan ke jendela. Ia melongokan kepalanya keluar, dan melihat Jino yang tengah memeluk motornya. "Ketemu di mana?" "Gak tau. Yang nemuin Bapaknya tetangga Jino." "Di mana sekarang? Kok gak ada?" "Cuci tangan katanya." Ana melebarkan matanya. Ia langsung keluar kamar dan mencari Ayahnya. "Ma, Papa kemana?" tanya Ana pada Ibunya yang sedang cuci piring. "Kan tadi bantu nyariin motornya Jino." Ana langsung bergegas keluar rumah, dan pergi ke rumah Jino. Tanpa permisi ia mencari Ayahnya di sekitar rumah Jino. Jino yang melihat kehadiran Ana dan sikapnya yang baginya tidak sopan, langsung mengikutinya. "Ngapain lo?" tanya Jino. Ana tidak menjawab. Ia berlari kecil mendekati seorang pria yang sedang mencuci tangan di halaman belakang, menggunakan kran air yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman. "Pa, Papa gak Papa?" tanya Ana khawatir. Terkejut dengan kehadiran Putrinya. Ayah Ana langsung mematikan kran air, dan berusaha menyembunyikan tangannya di balik saku jaket. "Om, Om gak papa?" giliran Jino yang panik, karena jelas-jelas ia melihat darah yang terlarut dengan air di atas rumput halaman. "Oh gak papa," balas Ayah Ana sambil tersenyum. "Siniin tangan Papa!" seru Ana sembari mengulurkan tangannya. "Papa emang sedikit luka, tapi gak papa. Ada Polisi juga yang tadi bantuin sekaligus nanganin pencurinya." Buk! Ayah Ana sekaligus Jino terkejut, saat Ana tiba-tiba memukul perut Jino. "Ana! Kok kayak gitu sih?! Papa bantuin Jino cari motornya, gak semata-mata bantuin dia. Tapi bantuin warga lain juga." Kata Ayah. "Ya tapi itu kan bukan tugas Papa. Udah berapa kali aku bilang? Jangan gampang banget dimintain bantuan sama orang, kita tuh gak pernah dihargai sama orang, ngapain kita bantuin orang?! Sampe ngerugiin diri kita sendiri lagi." "Papa gak ngerasa dirugiin, apa salahnya bantuin orang?" "Aku gak suka! Ujung-ujungnya juga bantuan kita cuman dianggep angin lalu!" Ana berdecak kesal, lalu pergi begitu saja, tanpa sempat Ayahnya melontarkan perkataan lagi. Ayah Ana pun mendekati Jino yang masih meringis kesakitan. "Aduh, maafin Ana ya? Kayaknya dia lagi mau datang bulan. Kamu gak papa?" "Nyeri dikit aja Om, Ana kuat banget mukulnya." "Ya udah, Om anter ke dalem ya?" Jino menganggukan kepalanya sebagai jawaban. ••• "Emang tangan Om tadi kenapa?" tanya Jino setelah ia dan Ayah Ana sudah berada di dalam rumah. "Luka sedikit, kegores cutter yang dibawa pencurinya. Dia itu gak nyuri motor kamu aja, banyak warga sini yang kecurian. Om kan Tentara, ya masa diem aja tau ada kejadian kayak gini? Mau diinget apa enggak jasa Om, udah kewajiban buat saling bantukan? Cuman Ana itu emang... yaa... tolong maafin anak Om ya?" "Iya, gak papa kok Om." Padahal di dalam hati Jino masih kesal. Yaa... siapa yang tidak kesal tiba-tiba dipukul. Mana sakit... padahal Jino yakin tangan Ana itu kecil. ••• Pulang-pulang Ana langsung ngomel, yang membuat Ibunya mengernyitkan kening. "Kenapa Na?" tanya Ibu. "Papa udah berhasil tuh nemuin motor tetangga samping, tapi tangan Papa jadi luka." Balas Ana. "Ya terus? Kenapa kamu kesel gitu?" "Mama gak kesel? Papa luka gara-gara bantu orang loh Maaa... emang Papa dibayar? Kan enggak. Boro-boro dibayar, aku yakin dihargain aja enggak." Celoteh Ana. "Ya gak papa dong," "Aku gak terima. Kesel pokoknya." Ana langsung bergegas ke kamarnya, sementara sang Ibu hanya bisa geleng-geleng kepala. Semakin bertambah umur, bukannya tambah dewasa, Ana malah jadi semakin kekanakan. ••• Brum! Brum! Brum! "Huwaaa blue, kamu masih tetap sama! Memang hanya kamu yang masih setia." Ana melepas earphone yang sebelumnya menutup telinganya. Meskipun sudah menggunakan earphone dan menyetel musik dengan suara yang lumayan keras, suara motor ditambah Jino yang histeris mengekspresikan rasa cintanya pada motor, tetap terdengar. Adik-adiknya tidak ada, malah tetangga sebelah yang berisik. Padahal dia mau fokus nulis. Tapi tak lama suara ketukan pintu rumahnya terdengar. Tok, tok, tok. "Permisi, paket!" Ana langsung berlari ke jendela dan berteriak. "Wohooo!!!" teriak Ana yang membuat Jino terkejut sampai obeng yang ia pegang jatuh mengenai kakinya. "Bentar Mas, aku pakai celana panjang dulu!" kata Ana pada tukang paket, seolah ia berdiri di depan jendela dan berteriak, memang untuk memberitahu tukang paket menunggunya, bukan untuk menjaili Jino. Ana pun langsung mengambil celana training panjangnya, melapisi celana pendek yang ia gunakan. Sebelum berlari ke pintu depan. "Cod ya Mas?" tanya Ana. "Iya Mbak, 12 ribu." "Yahhh, belanja 12 ribu doang lewat online. Miskin plus males nih," sindir Jino. Si tukang paket otomatis menolehkan kepalanya ke arah Jino, tapi Ana langsung mengibaskan tangannya. "Gak usah peduliin dia Mas, dia kemaren habis kehilangan motor, jadi agak gila gitu. Untungnya motornya berhasil ditemuin, sama Papa saya loh ditemuinnya." Tutur Ana. "Oalah, habis kehilangan motor toh, pantesan." Gumam si tukang paket. "Iya, sayangkan ganteng-ganteng tapi sedeng. Cuman gara-gara motor lagi, Mas jangan sampe jadi kayak dia deh." Si tukang paket berwajah manis hanya tersenyum sembari menganggukan kepalanya. "Btw tukang paket yang biasanya kemana?" tanya Ana. "Dia udah gak akan ngirim paket lagi ke sini. Kasian udah tua, paling ngirim paketnya yang deket aja sama rumahnya atau kantor." "Jadi Mas yang bakal jadi tukang paket ke sini?" "Yaa ganti-gantian Mbak, tapi saya udah pasti bakal sering ke sini." Ana menganggukan kepalanya. "Ya udah Mbak, saya permisi dulu." "Iya Mas," Ana diam di tempat, memperhatikan si tukang paket yang sedang siap-siap pergi. Setelah naik ke motornya, Ana dan tukang paket bertukar senyum, sebelum akhirnya dia pergi. "Mau bikin ftv lo? Cinta ku dipaketin, tukang paket yang sering nganterin belanjaan online ku, ternyata adalah jodoh ku." Celetuk Jino yang membuat lamunan Ana buyar. "Ya gak papa kalau gue ujung-ujungnya suka sama tuh tukang paket, orang ganteng. Pekerja keras lagi, gak kayak lo, hari-hari ngurus motor." Kata Ana. "Gue kuliah!" balas Jino. "Terus kenapa gak belajar? Dari pagi sampe udah jam 4 sore nih, elu itu cuman main sama motor. Diapain sih tuh motor? Heran gue." Kata Ana. "Ngaca dong... rumah lo juga hari-hari sering kedatengan tukang paket. Udahlah kerja cuman di rumah, belanja pun gak mau keluar rumah. Ih, apaan tuh?" "Gue belanja online juga gak tiap hari ya. Emang sering, tapi gak sesering lo pegang motor. Kapan nih lo mau punya anak sama motor lo itu hah?" "Haduh, tiap ketemu lo yang ada otak sama hati gue jadi sate, kebakar mulu!" "Oh ya bagus dong, kalau otak sama hati lo jadi sate, kagak hidup lu, tentram dunia gue." "Wah sembarangan lo!" "Eh, emang gue gak mengepul kepalanya tiap ketemu sama lo. Mana yang katanya wajah ganteng bikin adem? Yang ada tiap liat muka lo gue emosi." "Ya mending cuman bikin lo emosi, yang penting gue tetep ganteng. Gak kayak lo, udahlah kayak mayat hidup, tingkah bikin eneg lagi." "Udah ya, gue capek debat gak mutu sama bibir gede kayak lo. Sekarang gue mau cari uang, tolong berhenti mainin motor lo sebentar." "Cari uang apaan? Emang gue gak tau tulisan lo itu gak laku." "Heh, sembarangan lo kalau ngomong. Coba liat nilai-nilai lo, emang segimana hah?! Paling rendah. Kerjaannya aja b******a terus sama motor." "Wooo, jangan salah, nilai-nilai gue itu bagus ya, sekarang gue kuliah di salah satu kampus terbaik." "Gak nanya. Intinya gue gak mau denger suara motor lo lagi, kalau masih kedengeran. Siap-siap aja besok pagi gue bikin nangis lo." "Ana!" "Jino!" ••• "Kamu tuh sering banget berantem sama Ana?" tanya Ibu Jino. Jino tidak menanggapi untuk beberapa saat, karena sibuk menggigit ayam. "Jino, jawab Mama." "Dia yang mulai tuh," akhirnya Jino merespon. "Masak? Mama denger tuh pas kamu neriakin Ana pertama kali. Kamu yang mulai kan?" Jino menghela napas. "Iya, emang aku. Itu kan karena aku kesel Ma, hari-hari belanja online. Aduh, sampe suara teriakan tukang paketnya terngiang-ngiang di kepala aku." "Lebay kamu," timpal Ayah Jino. Iya, Ayah Jino masih di rumah, sejak motor Putranya itu dicuri. "Ih serius Pa. Bahkan aku pernah lima hari berturut-turut mimpi ada di ruangan yang banyak pintu, terus pintu-pintunya diketukin sambil ada yang teriak 'permisi, paket' sama 'sebentar!', haduh horror banget." Ibu Jino mendengus mendengar cerita Putranya, apa lagi saat suaminya menanggapi dengan serius. Emang, anak sama Bapak, sama-sama dramatis sebenarnya. "Mama punya tiket bioskop dua, ini film yang pengen banget kamu tonton, tapi karena uang jajan dibatesin, kamu gak bisa nonton. Cuman... Mama bakal kasih tiketnya, kalau kamu berhasil ngajakin Ana buat ikut nonton. Uang bensin, minuman sama popcorn, Mama yang tanggung."[]

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

See Me!!

read
88.0K
bc

Dependencia

read
187.5K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
471.7K
bc

Penjara Hati Sang CEO

read
7.1M
bc

Married By Accident

read
224.6K
bc

HELP ME - BAHASA INDONESIA (COMPLETE)

read
10.0M
bc

f****d Marriage (Indonesia)

read
7.1M

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook