Dating

1828 Kata
"Maafkan aku," cicit Ariana menyesal. Geo mengacuhkannya dengan tetap menyetir menatap jalan raya. Tangan kanannya mengusap bibir bawah yang masih sedikit mengeluarkan darah mengenakan tisu. Itu karena ulah Ariana menggigit bawah bibirnya hingga terluka. Hanya sedikit perih, namun Geo sengaja bereaksi sedikit berlebihan agar wanita itu semakin bersalah. "Sini, biar aku bersihkan." Ariana hendak meraih tisu dipegang oleh Geo. Pria itu malah menepisnya secara halus. "Tidak perlu," ucap Geo datar. Tangan Ariana tetap meraih tisu dari tangan Geo dengan paksa, lalu mengusap bibir itu secara perlahan. "Ini salah kau sendiri. Siapa suruh meremas pantatku!" "Ya-ya-ya! Wanita selalu benar. Aku hanya meremasnya, bukan seperti kau menggigit bibirku!" "Hanya katamu? Kau pikir aku sama seperti wanita yang pernah kau kencani?" Ariana menekankan kata 'hanya' pada kalimatnya. Suaranya terdengar sangat serius. Ia teringat perkataan Tian, menghinanya terang-terangan tanpa ragu sedikit pun. Seolah penilaian Tian tentang Ariana sudah tercetak di benak sejak lama. Ia tahu Geo refleks melakukannya dan mungkin belum tahu budaya Indonesia, tidak sebar-bar dunia Eropa. Emosi yang bernama tidak terima terlanjur menyeliputinya, dan mendapat dorongan menekan luka di bibir Geo hingga pria itu berteriak kesakitan. "Aakk! Sekarang kau ingin membunuhku setelah menggigitku?!" Menghela nafas kencang menahan emosi, Ariana kembali duduk menjauhkan dirinya pada Geo, lalu menyilangkan kedua tangan di d**a. Ia memalingkan wajah menatap jalanan luar. Enggan melihat pria itu walau hanya dari sudut pandangnya. Satu alis Geo terangkat bingung. "Kenapa sekarang kau yang merajuk? Seharusnya aku, karena kau telah melukai-ku, hei!" suara Geo meninggi. Sekarang Ariana yang mengacuhkannya. Pria itu menyisir rambut blondenya dengan kesal menggunakan jemari. Geo melirik Ariana sekilas dan kembali fokus pada jalanan. Kenapa menghadapi wanita harus seperti ini? Ingin rasanya Geo menepi, menurunkan Ariana seperti wanita lainnya yang pernah membuatnya kesal. Ia tidak ingin repot melakukan semacam bujukan atau apa pun itu. Di sisi lain dari dirinya mengatakan Geo memang bersalah karena seharusnya ia tidak menyamakan Karessa dengan wanita lain. Ia pernah mendengar budaya Asia Tenggara berbeda dengan Eropa. Kemungkinkan besar Karessa belum pernah melakukan lebih dari ciuman dengan kekasih sebelumnya 'bukan? Tetapi memangnya Geo sempat memikirkan hal itu di saat ia menikmati ciuman mereka yang memabukan? Sial! Kenapa ia harus mendapatkan situasi seperti ini? Rasa bersalah mulai memasahi Geo. Ia kembali melirik Ariana yang masih bertahan menatap luar jendela. Apa meminta maaf sekarang sudah terlambat. Tunggu... Geo meminta maaf?! Tangannya meremas setir mencoba mengenyahkan perasaan bersalah itu. Seorang Geo tidak pernah meminta maaf. Lebih tepatnya tidak boleh lemah di depan wanita hanya karena rasa bersalah muncul, kecuali pada Alisa dan Rena. Karena Geo tahu saat mengatakan 'maaf' pada mereka berdua bukan rasa bersalah seperti ia rasakan pada Karessa sekarang. Rasa bersalah yang lemah. Tak berdaya melakukan apa pun selain meminta maaf sebagai jalan keluar, dan untuk pertama kalinya Geo merasa seperti ini. Pertama kali juga berkencan dengan wanita hanya sekadar berciuman. Ia harus menahan diri untuk tidak menelan Karessa hidup-hidup beberapa jam ke depan sampai waktu kencan mereka habis. Geo berasumsi, setelah mendapat cacian dari pria berengsek bernama Tian-lah yang memberi efek sensitif pada wanita itu. Oh astaga, apa boleh Geo memutar balik setir ke gedung kantor itu lalu menonjok Tian sekali lagi? Saat memutar setir di jalan yang berkelok, Geo melihat banyak tenda berjejer disebuah taman di ujung jalan. Semakin dekat dengan keramaian, ternyata sebuah pameran berbagai makan & minuman manis saat melihat spanduk yang tertera. Tiba-tiba, Geo menepikan mobil. Dan itu membuat Ariana gugup. Takut dibuang di tepi jalan-entah jalan apa namanya ini, yang pasti akan membuatnya terlantar seperti gelandangan. Dan tiket kembali ke tanah air akan hangus karena merusak kencan mereka. Seketika Ariana menyesal merajuk. Dengan jantung yang masih berdetak cepat, Ariana memaksa sel-sel otaknya bekerja mencari kata-kata yang cocok untuk membujuk. Demi kelangsungan masa depannya, walau dijuluki si wanita aneh pembawa sial, tapi ia memiliki kehidupan yang layak daripada menjadi gelandangan Paris. Lo harus banyak-banyak bersyukur, Ariana! "Roussel--" "Aku ingin membeli es krim, kau mau?" potong Geo cepat sambil melepas seatbelt. Ariana mengerjap kaget apa yang baru saja ia dengar, lalu menoleh pada Geo yang sudah menatapnya. Ia langsung mengangguk sebagai jawaban agar pria itu tidak berubah pikiran. "Bicaralah, jangan hanya mengangguk." "Iya, aku mau! Rasa vanila." "Oke, tunggu di sini." "Tidak! M-maksudku, aku ikut denganmu." "Kalau begitu, ayo!" Mereka keluar dari mobil secara bersamaan dan Geo kembali meraih tangan Ariana untuk bergandengan. Ariana memandang tangannya dipegang erat oleh Geo. Rasanya seperti sudah ribuan kali mereka bergandengan. Tanpa paksaan atau terpaksa melakukan hal-hal kecil seperti ini. Ada perasaan senang, nyaman, dan juga lega mendapat firasat baik, dirinya tidak jadi gelandangan Paris dalam waktu dekat. Memicu semangat karena gembira, Ariana melepas tangan Geo untuk melingkarkan satu tangannya pada pinggang pria itu, lalu menyelip di sela ketiak untuk menaruh tangan Geo di bahunya. Sedangkan Geo mengangkat alisnya melihat wajah wanita itu tanpa ekspresi di setiap pergerakannya. Rupanya wanita aneh ini sudah kembali. "Apa sekarang kau sedang menjalankan peran dengan wajah sedatar itu?" "Tidak suka? Kau bisa melepasnya dan berjalan di depanku." "Apa wanita memang seperti ini? Memojokkan pria, dan jika diperbolehkan aku ingin mengajukan peraturan negara baru mewakili pria Prancis. Kalau ini termasuk pidana yang membuat pria kesal, tidak bisa berbuat apa-apa selain mengalah. Padahal aku hanya bertanya!" Rasanya Geo ingin menendang sesuatu yang keras sekarang juga. Entah mengapa Ariana senang membuat pria itu kesal. Ia menahan senyumnya sampai ujung bibirnya berkedut. Pada dasarnya, wanita memang ditakdirkan selalu benar. "Kalau begitu, tutup mulutmu, aku hanya tidak ingin berjalan di belakangmu." Geo menghela nafas panjang menahan emosinya, berdebat dengan wanita seperti Karessa memang tidak ada habisnya. Berjalan menelusuri sepanjang pameran, akhirnya mereka menemukan salah satu penjual es krim yang mereka cari. Es krim yang mereka pesan berbeda rasa, Ariana vanila, sedangkan Geo rasa coklat. Mereka tidak langsung kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan karena Ariana masih ingin melihat-lihat. Mengunjungi bazar di negara romantis dengan kekasih berparas tampan. Seperti mimpi yang belum pernah terbayang oleh Ariana, dan ternyata rasanya semenyenangkan ini. Mereka saling melempar lolucon kecil dan berbagai tanya-jawab tentang Prancis atau apa pun, kecuali masalah pribadi. Walau hanya kekasih satu hari, Ariana sangat menikmatinya. Tanpa sadar pikirannya teralihkan sejenak dari uang tabungan yang terkuras habis dan Tian si berengsek. Pengunjung semakin banyak berdatangan dan itu membuat Geo risih dengan kebisingan . "Sebaiknya kita kembali ke mobil melanjutkan perjalanan." "Coba lihat ini, sangat lucu! Apa kita bisa memilikinya?" tanya Ariana yang mengacuhkan Geo. "Uang cashku hanya tinggal beberapa euro, Karessa sayang. Dan itu hanya cukup untuk membeli dua es krim lagi." Ariana menurunkan pandangan dengan cemberut, padahal sepasang gelang hitam & putih itu sangat lucu jika mereka memakainya. Gelang anyaman bermata stenlis berbentuk seperti angka delapan yang berbaring di tengahnya membuat gelang itu terlihat sederhana dan elegan secara bersamaan. "Tidak mahal, Nak. Harganya hanya 5 euro perpasang. Harga khusus untuk pameran ini," ucap pria paruh baya si penjual gelang dan gulali tersebut. Rupanya beliau mendengar percakapan mereka yang menggunakan bahasa Inggris. Merasa seseorang ada dipihaknya, Ariana berusaha membesarkan pupil mata saat menatap Geo, meminta belas kasihan untuk dibelikan. Hembusan nafas pasrah keluar dari mulut Geo, dengan sangat terpaksa ia mengeluarkan satu lembar terakhirnya dari dompet. Lagi pula kenapa bapak itu menjual aksesoris di pameran makanan manis?! Wanita aneh seperti Karessa sudah pasti berbinar melihat pernak-pernik seperti itu. Ariana bersorak gembira hanya karena Geo membelikan gelang untuknya--oh ralat, untuk mereka berdua. Sedikit meloncat Ariana mengecup pipi Geo setelah penjual itu memberikan uang kembalian. Mata Geo menyipit menyelidik pada wanita itu. Artinya dia tidak marah lagi, kan? Ternyata sangat mudah membuat Ariana berhenti cerewet. Geo menunjuk bibirnya. "Di sini, bukan di pipi." Ia kira wanita itu akan marah atau malu. Ariana malah terdiam menatap bibir Geo prihatin. "Maafkan aku, bibirmu pasti masih perih," ucap Ariana merasa bersalah. Geo mengerjap lalu berdeham. "Tentu! Kau harus tanggung jawab karena sudab melukaiku." "Baiklah, di laci dashboard aku melihat kotak p3k kecil di sana sebelum keluar mobil tadi. Mungkin ibu-mu sengaja menaruhnya. Aku akan mengobati lukamu di mobil nanti," jelas Ariana dengan serius. Geo menggeleng pelan. "Tidak perlu, kau hanya perlu mencium lukaku 5 menit sekali." Mata Ariana melotot. "Astaga! Tanggung jawab macam apa itu? Kenapa isi otakmu m***m semua?!" "Kalau begitu aku pulang, kau pulang sendiri saja. Sedangkan tiketnya--" "BAIKLAH! Hanya ciuman, tidak ada remasan p****t atau lainnya! Jika kau melakukannya lagi, aku tidak akan segan memenggal bibirmu!" Geo tersenyum lebar. "Kau galak, dan aku menyukai wanita sepertimu, Baby." Ariana mengernyit. "Berhenti tersenyum seperti itu! Kau seperti om-om p*****l, Roussel." "Wajahku terlalu tampan untuk kau sebut om-om p*****l!" Geo mencubit pipi Ariana hingga memerah, dan membuat wanita itu berteriak kesakitan. Ketika di mobil, mereka tidak langsung melanjutkan perjalanan. Geo mengerutkan kening menatap Ariana yang sibuk memasang gelang di tangannya. "Kenapa kau memaksaku memakai gelang murahan ini?" Berbanding balik dengan Geo, Ariana tersenyum lebar menatap tangan mereka yang sejajar, sama-sama sudah memakai gelang yang baru mereka beli. "Berhenti mengatakan gelang ini murahan, Roussel sayang." Ariana mengikuti nada Geo. "Dengan berat hati kau mengeluarkan uang sematawayangmu itu untuk membelinya, ingat? Lihat ini sangat lucu, kita seperti pasangan sungguhan." "Aku bisa membelikanmu yang lebih mahal dari ini. Sudah aku katakan uang kas-ku hanya tinggal satu lembar, dan orang kaya seperti-ku jarang membawa lembaran uang!" Tidak mungkin Geo mengatakan kebenaran mengenai semua kartunya diblokir. Ariana mengacuhkan semua kalimat yang membuat telinganya panas. "Kau sangat cocok memakainya, tanganmu terlihat sangat manly. Aku menyukainya." Ia tersenyum bangga sambil membenarkan letak gelang itu di tangan Geo. "Tanpa gelang ini pun tanganku memang bagus, Sayang." "Kau bawa ponsel? Aku ingin mengabadikannya seperti couple ala tumblr." "Kenapa aku mempunyai kekasih sepertimu?" gerutu Geo. Namun, tangan yang bebas tetap memberikan ponsel pintarnya. Dengan sigap Ariana meraihnya. Ketika ia ingin mencari kemera di deretan menu, senyum Ariana perlahan memudar melihat wallpaper pada layarnya. Foto seorang wanita cantik berambut sebahu tengah tertidur pulas. Ariana yakin foto itu diambil secara diam-diam. "Cepat foto, kita harus sampai ke pantai sebelum matahari tenggelam." "A-apa?" "Pantai, Honey. Kira-kira setengah jam lagi kita akan sampai." "P-pantai?" Astaga, kenapa Ariana terbata setelah melihat foto wanita lain di ponsel Roussel? Ia mulai memoto tangan mereka tanpa minat. Geo mengangguk, "kau tidak menyukainya? Aku kira semua orang menyukai pantai." "T-tidak! Tentu aku menyukainya. Dulu di masa kuliah, hampir setiap bulan aku pergi ke pantai sendirian, merelaksasi otakku dari pelajaran." Setelah selesai memotret beberapa kali, Ariana mematikan ponsel itu lalu mengembalikannya pada Geo. Geo penasaran apa wanita itu tidak memiliki teman semasa sekolahnya dan ingin bertanya beberapa hal. Mengingat poin tidak boleh dilanggar yang dibuat oleh dirinya sendiri, memaksa Geo bungkam untuk tidak menanyakan hal bersifat pribadi. Ia pun mulai menjalankan mobil. Setelah beberapa menit mereka hening, Geo merasa ada yang aneh dengan Ariana tiba-tiba tidak banyak bicara. Tangannya yang bebas tergerak meraih jemari wanita itu untuk ditautkan. Ariana tersentak, ia menatap tangan mereka lalu beralih pada wajah pria itu yang menghadap jalanan. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Ariana mendekatkan diri agar bisa memeluk lengan besarnya, lalu menyandarkan kepala di bahu besar itu. Dan membuat benak Geo menebak-nebak apa ia melewatkan sesuatu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN