"Karessa, bangun, kita sudah sampai." Kesekian kalinya Geo menggerakkan tangan Ariana yang tertidur, tapi tidak ada tanda-tanda akan membuka mata.
Apa wanita ini memang tidur seperti orang mati? Padahal baru setengah jam mereka di perjalanan. Tangan Geo terangkat mendorong pelan kening itu menggunakan telunjuknya, lalu...
Duk!
Kepala Ariana terbentur kaca mobil, dan akhirnya kelopak mata itu terbuka. Geo mengawasi pergerakkan bulu mata lentik Ariana sampai mata itu menatapnya. Seperti nyawa yang baru masuk dan menyesuaikan diri untuk memaksa otak yang mulai bekerja membaca situasi.
Kesabaran bukan teman akrab Geo. Sebelum kesabarannya habis, ia berencana mencari cara lain sedikit lebih kasar untuk membangunkan Ariana. Tapi entah mengapa saat melihat mata coklat yang terlihat linglung bangun tidur, ditambah tertimpa cahaya matahari masuk dari celah kaca mobil itu mengalihkan perhatian Geo.
"Cepat turun, kita sudah sampai," ucap Geo cepat lalu keluar mobil dan berjalan ke sisi samping kemudi membuka pintu untuk Ariana. Saat membukanya, wanita itu masih diam di tempat, atau kaku? Dengan wajah seperti menahan sesuatu.
"Tolong... kaki kanan-ku... kesemutan!" Geo lihat mata Ariana berkaca-kaca, pastinya bukan terharu.
Rasanya pasti ngilu luar biasa, pikir Geo. Hal yang sering terjadi ketika bangun tidur kaki atau tangan terasa keram tidak bisa digerakkan karena tidur dengan posisi tidak nyaman. "Kaki yang ini?" tanyanya tanpa dosa menggerakkan kaki kanan Ariana.
"Aaaakk! Kau gila?! Huaaa, Ayah! Dia ingin membunuhku! Huaaa." Seperti dugaan Geo, Ariana menangis sambil berteriak, tapi menggunakan bahasa yang tidak ia mengerti.
"Bicara sekencang apa pun, aku tidak akan mengerti. Berhentilah menangis, aku hanya memastikan mana yang keram." Dalam hati Geo tersenyum puas membuat wanita itu kesal.
"Jangan dekati aku! Aku benci dirimu!" Ariana tetap menangis dengan tubuh yang kaku menahan ngilu kakinya.
"Ya terserah kau saja." Geo melihat jam di pergelangan tangannya. "Ngomong-ngomong ini sudah jam 4 sore. Semoga penjaga vila belum pulang ketika kita sampai di sana."
"Vila? Kita akan tidur di vila?" tanya Ariana yang mengambil selembar tisu menghapus ingus serta air matanya. Tangisnya mereda karena keram di kakinya berangsur memudar.
Lihat ekspresinya? Kesal dan marah-marah setelah meneriaki Geo tadi kini tergantikan dengan wajah penasaran dan santai seolah setelan di punggung wanita itu ada yang mengubah ke mode biasa. Sudut bibirnya tertarik samar. Keluguan Ariana tidak mengherankan bisa dibodohi oleh pria seperti Tian.
Entah terkena angin apa, timbul perasaan dalam diri Geo ingin melindungi. Berbeda dengan Rena, dewasa dari sikap mau pun jalan pikirnya yang Geo suka, tetapi kehadiran Justin merusak itu semua. Jika mengingat nama itu seperti ada seseorang yang menyiram air panas ke kepalanya secara tiba-tiba. Ia menghela nafas berusaha meredakan emosi.
"Ya, kita akan tidur di vila." Geo berbalik memunggungi Ariana lalu berjongkok di depan pintu mobil yang terbuka. "Naiklah, aku tahu kakimu masih lemas."
Hening beberapa saat. Ariana seperti menimbang-nimbang, ragu untuk menurut atau tidak. Ia tahu wanita itu masih terasa aneh, walau sebelumnya sudah beberapa ciuman dan kontak fisik yang mereka lakukan agar mengikis dinding yang bernama canggung itu. Geo akan memakluminya. Dan ia sudah merencanakan beberapa daftar sempurna di kepalanya hingga jam kencan mereka berakhir.
Tak berapa lama, Geo merasakan dua tangan melingkari lehernya lalu menempelkan tubuh pada punggung kerasnya. Tanpa membuang waktu ia langsung mengangkat Ariana memegangi paha mulus itu agar tidak jatuh dan menyuruhnya menutup pintu mobil. Geo berjalan ke semak-semak membuat bulu kuduk mereka berdiri, merasakan hawa sejuk menerpa kulit.
"Ternyata milikmu kecil." Mulut Geo tidak tahan untuk tidak berkomentar merasakan dua benjolan mengenai punggungnya.
"Milik-ku kecil?" tanya Ariana bingung mencerna perkataan Geo. Setelah mengerti, wanita itu menjambak rambut Geo kencang sampai berteriak kesakitan.
"Jangan dijambak! Rambutku baru diwarnai!"
"Itu salah kau sendiri selalu memancing emosiku!" jedanya. "Ini diwarnai? Aku pikir rambut asli karena tidak terasa kasar dan pecah."
"Tidak perlu kauperjelas, rambutku memang sebagus itu walau sudah sering diwarnai."
Ariana mengacuhkannya. "Kita mau ke mana? Katamu kita akan ke pantai, kan? Kenapa jadi banyak pepohon...nan..." ucapan Ariana terbata ketika mendengar demburan ombak, di detik berikutnya disusul dengan pemandangan pantai di ujung sana. "Woah, keren! Cepat bawa aku ke sana!" tunjuk Ariana terdengar antusias.
Geo mengernyit, telinganya mendengung karena teriakan Ariana. "Apa kaulupa mulutmu hanya beberapa senti dari telingaku?!" Ia langsung melepas kedua tangan dari pegangannya pada paha Ariana untuk menggosok permukaan telinganya. Namun, tangan wanita itu masih melingkar di lehernya. "Turun!" Karena harusnya kaki Ariana tidak lagi lemas.
Tanpa mengatakan apa pun wanita itu langsung turun, sedikit berlari menuju pesisir pantai. Geo tersenyum samar melihat Ariana hampir terjatuh karena pasir pantai. Ia meraih telpon genggamnya dari saku celana untuk memotret Ariana dari belakang, ditambah pemandangan pantai yang menakjubkan.
Tetapi senyumnya memudar melihat wallpapernya sendiri. Lagi-lagi bayangan Rena memberitahu kehamilannya hampir mengubah mood Geo. Setelah menemukan aplikasi kamera di deretan menu, Geo teringat Ariana meminjam ponselnya sebelum ini.
Apa tadi dia melihat foto Rena?
Ya jelas dia melihat, gambar Rena terlihat sangat jelas di layar ponselmu! teriak batin Geo. Apa ini yang membuat wanita itu tidak banyak bicara sebelumnya?
"Apa kau hanya berdiam diri di sana? Cepat kemari! Memangnya kau tidak ingin berenang? Cuacanya sangat bagus untuk berenang." Teriakan Ariana membuat Geo berjalan mendekat.
"Musim panas memang saat yang terbaik bermain ke pantai, karena itu aku mengajakmu kemari."
"Ngomong-ngomong musim, aku penasaran bagaimana rasanya berjalan tanpa alas kaki seperti ini saat musim dingin." Ariana menginjak-injak pasir pantai yang terasa lembut di telapak kakinya yang sudah bebas dari sepatu. "Aku belum pernah ke negara manapun saat musim salju. Ini pengalaman pertamaku ke luar negeri. Apa laut ini akan berubah menjadi es?"
"Ke mana pun kau ingin pergi berlibur, aku tidak menyarankan saat musim dingin karena bisa membuat kakimu terasa kebas sebelum melepas sepatu seperti itu. Di pertengahan kota saja kau akan membeku, apa lagi di pinggir pantai seperti ini. Angin lebih mudah berhembus kencang. Tentu saja laut bisa membeku dan menghasilkan hawa dingin yang mencekik indramu. Jujur saja musim salju bukan musim favoritku. Semua transportasi darat, laut, maupun udara terhambat karenanya. Setiap kali membuka jendela, kau hanya akan menemukan tumpukan putih di sepenjuru kota Paris, termasuk menara Eiffel."
Bukannya wajah ketakutan, wanita itu malah berbinar menatap Geo seolah bayangan di atas kepala itu bukan seperti yang Geo gambarkan. Dan itu membuatnya mengernyit. "Aku menceritakan hal yang menakutkan agar orang Asia sepertimu tidak berekspetasi lebih mengenai salju." Geo melepas sepatunya lalu merapat pada Ariana.
"Jika tujuanmu mengatakan itu hanya untuk menakutiku, percuma, karena aku tidak akan percaya sebelum merasakan sendiri musim dingin yang mencekam seperti perkataanmu. Jadi kau memang tidak sesuka itu dengan musim dingin?" Dia mendongak pada Geo yang menarik tangannya untuk bergabung merendam kaki ke air.
Telapak kaki yang telanjang hampir melepuh saat berjalan di pasir panas bekas terik siang yang menyengat, kini tergantikan dengan sejuknya air laut. "Ya, aku tidak menyukainya. Terlebih jika ada badai salju mengharuskan aku tetap terkurung di apartemen sampai pemerintah membatalkan larangan keluar rumah karena lapisan salju hampir setinggi satu meter."
"Separah itu?"
Akhirnya Geo bisa menangkis hayalan menyenangkan tentang salju pada wanita itu yang terdengar kaget. Rasanya seperti menjelaskan pada anak perempuan yang belum mengetahui banyak hal. Dan dirinya si penghancur ekspetasi dengan realitas, layaknya memberitahu kalau Peri Gigi itu tidak nyata.
Geo melanjutkan tentang mengerikan lainnya sampai ia merasakan tangannya diremas Ariana karena takut. "Sepertinya aku berubah pikiran tentang salju. Kau berhasil melabui otakku, Roussel." Ariana menyipitkan matanya pada Geo yang tertawa, usahanya berhasil.
Sambil terus berjalan sepanjang pesisir pantai, tiba-tiba otak jahil Geo mucul. Ia melepas tautan tangan mereka lalu meraih pinggang ramping itu untuk digendong dari depan. Berjalan setengah berlari ke tengah, menakut-nakuti Ariana sepertinya menjadi kesenangan Geo sekarang.
"Astaga, turunkan aku! Jangan sampai ke tengah, Roussel!"
"Bukannya kau ingin berenang? Itu artinya ke tengah, Baby. Kalau hanya di pesisir pantai namanya hanya bermain air."
"Aku belum pernah benar-benar berenang di laut! Sekarang turunkan aku!"
"Belum itu artinya akan berenang. Kau yakin ingin turun?" tanya Geo yang air laut sudah sebatas dadanya hingga nafas mereka terdengar berat karena di air. Ia tahu kaki Ariana tidak bisa mencapai dasar.
"Kau gila?! Ini sangat jauh dari daratan!"
Geo tertawa ketika Ariana memeluknya dengan erat dan Ariana berniat merangkak lebih tinggi ke atas tubuh pria itu agar tidak tenggelam. Ia memang bisa berenang, tapi hanya di perairan yang bisa dijangkau oleh kakinya. Ia tidak berani jika terlalu dalam, karena dulu Lucas—adiknya pernah tenggelam disalah satu tempat wahana air dan untungnya ditolong dengan cepat.
Sejak itu Ariana tidak berani berenang di air yang dalam. Terlebih mereka sekarang di laut. Tidak hanya terdalam, tapi juga terluas!
Sepertinya teriakan Ariana benar-benar menjadi hiburan Geo. "Kenapa kau senang sekali melihatku sengsara?" ucapnya ketakutan. Jantung Ariana berdegup kencang. Dengan posisi d**a bertemu d**a, ia yakin Geo bisa merasakan detak jantung Ariana dengan jelas.
"Memohonlah."
Apa Ariana boleh mengumpat? "Apa lagi sekarang?!"
"Memohon, dan aku akan membawamu kembali ke pesisir pantai."
Nada suara terdengar santai, sepertinya memang ingin menyiksanya lebih lanjut! Tangan Ariana sangat ingin menjambak rambut Geo lagi, tapi ia tidak sanggup melepas satu tangannya yang gemetar hanya untuk membalas dendam, atau mungkin nanti.
Ariana tidak bisa membayangkan dirinya hanyut di laut karena Geo melepaskannya di sini dan akan mati dimakan hiu dan hewan buas lainnya. Ariana berkedik takut membayangkan kengerian di benaknya.
Dengan hati-hati Ariana melonggarkan pelukan eratnya sedikit, memberi akses menatap wajah Geo dari samping. Terlihat jelas menikmati kesengsaraannya sekarang, sedang menunggu permohonannya.
Pria ini benar-benar gila!
Ariana menghembuskan nafas perlahan sebelum memulainya, meredam ketakutan dan keinginan menjambak Geo sekarang juga. "Aku mohon, bawa aku kembali ke pesisir pantai," ucap Ariana putus asa.
Geo menggeleng, "Itu namanya bukan memohon, Baby."
"Lalu apa? Kau sengaja agar aku terus menempelimu seperti cicak, kan?!" Stok kesabaran Ariana mulai menipis.
"Kalau tidak mau, lepas saja. Aku tidak memaksa."
Imajinasi Ariana kembali berkelana ke laut dan rasa takut membanjirinya membayangkan sesuatu bertubuh lebih besar dari Geo dan bertaring sedang berenang mendekat. Hanya satu cara lain yang ia dapatkan untuk membujuk Geo. Harusnya cara ini lebih ampuh dari merengek atau berteriak menyakiti pita suaranya.
Di lautan sore hari ini tidak terlalu berangin, tapi alam tidak lupa mulai memberi sinar kuning ke seluruh pemandangan. Sehingga saat Ariana benar-benar menatap Geo dari depan dengan jarak sedekat ini, ia bisa melihat matahari dan lautan luas di belakangnya dari pantulan mata pria itu.
Geo mengangkat kedua alis menunggu Ariana melakukan sesuatu. Sepertinya pikiran mereka terhubung. Hanya maju beberapa senti, Ariana sudah bisa menyatukan bibirnya dengan bibir Geo. Ya, tentu saja pria m***m ini menunggunya melakukan ini.
Namun, Ariana hanya mengecupnya. Dan di detik berikutnya Geo menahan tekuk Ariana agar tetap di tempat. Mencium dengan lembut seolah menyicipi sebuah permen manis dan nikmat untuk berlama-lama, disengaja.
Ariana tersentak kaget Geo mulai memeluknya erat seolah menjaganya agar tetap di tempat dan takut Ariana menjauhkan wajah. Ariana tergiur membalas, namun hanya bisa menggerakkan bibirnya dengan kaku mencoba menyeimbangi ciuman Geo yang meraup bibirnya hingga terasa penuh. Tak lama kemudian ciuman mereka berubah menjadi liar, dinginnya air laut tidak lagi terasa karena aura panas asing mulai menjalar ke seluruh wajah dan tubuh Ariana.
Detak jantung Geo kini seirama dengannya dan nafas Ariana hampir habis. Ia mendorong d**a pria itu agar berhenti lalu mendengar Geo mengerang kesal terpaksa melepasnya. Mereka pun bertatap dengan nafas yang terengah.
Menatap Ariana sedekat ini dengan mulut sedikit terbuka, membuat Geo ingin melakukan hal lebih di pantai terbuka ini. Gairah Geo terbit! Oh, sialan.
Ketika Geo ingin menciumnya lagi, Ariana melepas pelukannya dengan paksa lalu menjauh darinya. Setelah kesadarannya kembali, ternyata tanpa sadar, ia berjalan mendekati daratan selama mereka berciuman dan membuat Ariana bisa menginjakkan kaki.
Untuk kedua kalinya Geo takjub dengan gairahnya sendiri pada wanita seperti Karessa, hanya karena kenikmatan bibir wanita itu. Alih-alih meredam gairah dan detak jantungnya, Geo melangkah lebar menyusul Ariana. Setelahnya ia menyenggol tubuh kecil darinya itu hingga terjatuh di pesisir pantai.
"Ups, sorry," ucap Geo dengan nada dibuat-buat.
Kesabaran Ariana sudah di ujung kepalanya, Geo benar-benar membuat seluruh tubuhnya basah. Dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh besar itu hingga terjatuh persis seperti Geo lakukan padanta tadi dan Ariana langsung menaiki perut keras itu berniat menjambak rambut Geo keras-keras dalam motif balas dendam. Belum sempat menjambak, posisi mereka sudah terbalik hingga kini Ariana berada di bawah.
Lagi-lagi Geo mencium Ariana dengan gigitan-gigitan yang membuat Ariana meringis. Geo melepas ciumannya dan tertawa lepas melihat ekspresi Ariana. Geo berlari menyelamatkan diri dari amukkan Ariana dengan mempertahankan tawanya saat dikejar.
Mereka juga bermain air hingga lupa waktu seolah pantai hanya milik mereka berdua.
...
Tak terasa matahari akan menyembunyikan diri dari permukaan. Hembusan angin tidak terlalu kencang seiringan dengan suara ombak kecil terdengar sopan membuat siapa pun akan merasakan ketenangan.
Bagi pasangan satu hari ini, bermain air sangat melelahkan dan menguras tenaga. Mereka benar-benar bermain layaknya anak kecil, walau dibumbui dengan ciuman-ciuman kecil dari Geo. Duduk menghadap laut dengan posisi Geo merengkuh tubuh Ariana dalam dekapan. Padahal baju mereka masih basah dan pasir pantai hampir menempel di seluruh permukaan kulit mereka. Tapi mereka tidak peduli dan memilih menjadi saksi terbenamnya matahari. Menikmati suasana tenang dan sinar jingga yang semakin pekat menerpa penglihatan.
"Setelah ini, kita akan berkencan ke mana?" tanya Ariana pelan memecah keheningan.
Jeda cukup lama untuk Geo mengingat daftar kencan mereka yang sudah ia simpan di benaknya. "Kelab malam," jawab Geo akhirnya, "aku ingin mencoba kencan di sana."
Ariana hampir tersedak air liurnya sendiri. "Aku belum pernah ke tempat seperti itu. Aku tidak mau!"
"Tidak ada pertanyaan dari kalimatku. Kau harus mau. Tiket pulang ada di tanganku, ingat?"
Ariana menginjak-injak pasir karena tidak bisa berbuat apa-apa. "Apa kau sering ke sana?" tanyanya dengan nada kesal.
"Tidak, hanya seminggu sekali jika aku bosan. Satu kali pun kau tidak pernah? Atau pesta di rumah temanmu?"
Ariana terkejut, "Jadi seminggu sekali itu bagimu tidak sering? Apa semua pria Eropa memang seperti dirimu? Aku anak rumahan dan tidak banyak memiliki teman." Kenyataannya Ariana hanya memiliki satu teman, satu-satunya sahabat yang ia miliki. Itu pun sudah bertahun-tahun tidak bertemu karena mengejar S2 di UK, tetangga Prancis. Andai Ariana tahu alamat temannya dan punya uang berlebih, ia sudah pasti ke sana sekarang.
Geo mengangguk paham, "Tidak heran, wanita aneh sepertimu memang tipe rumahan yang tidak pandai bergaul. Kau harus mencobanya untuk pertama kali, dengan senang hati aku mendampingimu sebagai kekasih."
"Itu artinya aku introvert! Selain hobi ke kelab malam, kau jalan-jalan untuk mengisi waktu luang? Lalu, bagaimana bekerja? Sepertinya pekerjaanmu santai ya?"
"Ke kelab bukan hobiku, aku hanya bertemu teman sambil minum-minum di sana. Pekerjaanku tidak dibilang santai karena menguras otak, jadi aku lebih memilih banyak santai selagi aku bisa. Aku jarang jalan-jalan, kecuali ada yang mengajak berlibur, itu pun harus mengecek e-mail setiap kali liburan." Tanggung jawab tentang pekerjaan yang mencekik, oh Geo membencinya. "Selain itu, aku biasanya menemani..." ucapan Geo tertahan untuk tidak mengucapkan nama Rena. Ia merasa janggal saat ingin menyebutnya di depan Ariana.
"Menemani siapa?" tanya Ariana pelan, menunggu dengan was-was.
"Mama di butik. Nasib anak laki-laki menjadi supir pribadi Mama, padahal bisa menyetir sendiri atau bisa minta bantuan Tom."
Kenapa Geo menyebutkan Alisa? Ia memang tidak berbohong mengenai itu, tapi memangnya kenapa kalau ia menyebut Rena? Ariana hanya kekasih satu hari dan rasanya tidak perlu ia menyebut Rena hingga menjadi sebuah pertanyaan yang tidak ingin Geo jawab. Dan Ariana hanyalah wanita asing, bukan bagian dari hidupnya di kemudian hari.
Geo hanya perlu bersikap profesional sebagai kekasih Ariana saat ini. Memangnya apa lagi alasannya jika sejak awal hanya memberi nama belakang pada wanita itu? Selain agar tidak mengetahui identias asli masing-masing dengan kentara. Sepakat hanya satu hari dan akan menganggap ini hanya kenangan yang menyenangkan untuk melupakan kesialan saat mereka menjalankan hidup masing-masing setelah ini. Geo juga yakin Karessa memiliki nama panjang yang tidak diberitahu padanya. Dan tidak akan mencari tahu identitas lengkap wanita itu.
"Mana ponselmu?" tanya Ariana tiba-tiba yang membuyarkan Geo.
"Untuk apa? Foto lagi?"
Ariana mengangguk dengan senyum lebar menampilkan lesung di pipi kanannya. Geo tersenyum samar lalu meraih ponselnya yang sengaja ia taruh di atas sepatu sebelum bermain air.
"Ternyata kau juga punya dimple." Geo menekan pipi Ariana menggunakan telunjuk, "Bedanya aku punya di sebelah kiri."
"Benarkah? Aku tidak melihatnya," ucapnya acuh. Ariana berbohong, ia sudah melihat lesung pipi pria itu beberapa kali dan mengagumi dalam hati setiap melihatnya. Menahan diri untuk tidak repot-repot menengok melihat wajah Geo dengan jarak sedekat ini dan fokus pada ponsel yang sudah ada di tangannya mencari aplikasi kamera.
Setelah menemukannya, ia tekan lalu siap untuk memotret. Seolah melewatkan sesuatu, Ariana kembali menekan tombol back memastikan ia salah lihat atau tidak. Ternyata benar, wallpaper pria itu sekarang hanya berwarna hitam polos. Ariana mengerjap beberapa detik lalu kembali menekan kamera. "Kemarikan tanganmu!" ucapnya cukup nyaring agar tidak terdengar mencurigakan.
"Jangan bilang kau ingin memfoto gelang murahan ini lagi?" tanya Geo jengah. "Apa semuanya harus difoto?"
"Kau diam saja! Aku melakukannya karena sering melihat pasangan berfoto seperti ini dan mengunggahnya di i********:. Aku berusaha menganggap ini adalah liburan romantis bersama kekasih, bukan karena kesialan. Aku juga ingin seperti mereka, walaupun hanya difoto. Setidaknya foto ini asli tanganku, bukan mengambil di internet!" Ariana membenarkan gelang di tangan pria itu untuk siap difoto.
Geo mengamati Ariana yang bermain dengan tangannya serta gelang itu. Sebenarnya Geo sering melihat foto teman-temannya berkencan dengan pasangan berlibur ke berbagai negara. Di antara semuanya tidak ada rasa hiri atau ingin seperti mereka. Karena Geo tahu teman-temannya akan berganti pasangan lagi setelah beberapa bulan kemudian, dan hanya beberapa yang memasuki ke jenjang lebih serius.
"Satu lagi ciri anak rumahan sepertimu, terlalu naif mendeskripsikan sesuatu. Dari foto kau menganggap itu romantis, kau tidak tahu pasangan yang sering mengumbar kemesraan di sosial media, belum tentu mereka selalu bersama dan bahagia. Sesuatu yang menyakitkan, tersembunyi di balik sebuah foto romantis. Maaf menghancurkan imajinasimu, tapi aku mengatakan ini sesuai kenyataan." Seperti teman-temannya termasuk Rena, korban cinta yang hanya indah di awal, dan Geo terlalu sering menjadi saksi untuk mereka semua.
"Menakutiku lagi, huh? Kali ini tidak mempan. Aku percaya suatu saat nanti menemukan pasangan yang menerimaku seutuhnya. Tanpa mendebat keanehan dari diriku yang ceroboh atau sering mendapat kesialan untuk memaksa kuberubah sesuai kenginan siapa pun termasuk fisik yang kumiliki. Jika pun benar seperti perkataanmu, menurutku itu hanya sebagian dari proses menemukan cinta sejati. Aku memang terdengar naif, tetapi aku tidak masalah kalau memang harus tersakiti lebih dulu sebelum mendapatkan yang sempurna."
"Ya, terserah kau saja. Kau memang wanita aneh yang bisa berkata seperti itu setelah menangisi seorang pria beberapa jam lalu. Aku hanya mengingatkan agar tidak berekspetasi lebih pada satu orang yang kaucintai. Minggir! Aku mau mandi, tubuhku terasa gatal karena pasir." Geo mendorong pelan tubuh Ariana ke depan, lalu berdiri meninggalkan pantai setelah meraih sepatunya untuk ditenteng.
"Tunggu! Gendong aku, Roussel!"
"Aku hitung sampai tiga, jika kau tidak naik, aku akan lari." Geo berjongkok sedikit membelakangi Ariana. "Satu-dua-tiga!" ucapnya cepat.
Ariana bergegas mengambil sepatunya lalu langsung menaiki tubuh Geo melingkarkan tangannya di leher pria itu agar tidak jatuh.