Prolog
"Ceritakan... sesuatu.”
Gadis itu mengerjap dan terdiam selama beberapa waktu. Ia mulai mendongak, menatap langit gelap di luar yang menumpahkan rintik deras hujan, begitu deras hingga ia seakan melihat tirai putih yang sesekali bergelombang tertiup angin, lalu pecah oleh pertemuannya dengan aspal jalanan. Hujan yang bising namun indah. Jenis hujan yang ia sukai. Ia menyebutnya... hujan peri.
“Ibu saya suka cerita dongeng waktu saya kecil. Mau dengar?”
Setelah anggukan pelan dari Levant, ia kemudian melanjutkan. “Ini sebenarnya adalah dongeng rahasia yang saya ceritakan hanya pada dua orang. Kamu, dan... kepala mumi.”
Seketika Levant mengangkat wajahnya demi menatap gadis itu. Hafa masih mendongak memandangi langit dan hujan, tidak menyadari kelereng tajam Levant yang menatapnya tidak percaya. Gadis itu terus saja bicara.
“Pada jaman dulu, ada seorang penebang kayu sedang dalam perjalanan ke rumahnya di ujung desa.”
Deg. Ada satu bagian familiar dari cerita itu.
“Ia kelelahan dan sangat lapar setelah bekerja dari pagi sampai siang itu. Tapi, ketika dia keluar dari hutan, dia melihat ke langit dan nggak bisa menemukan terik matahari. Saat itu awan mendung yang hitam menutupi seluruh langit disertai angin yang dingin. Si penebang kayu berteduh di bawah sebuah pohon besar selama berjam-jam dengan sangat sedih. Sebab, dia nggak bisa pulang untuk istirahat dan mengisi perut. Lalu, ia berdoa kepada hujan. Ia berkata bahwa ia rela hujan itu menghalanginya, namun sebagai imbalan, ia meminta kebahagiaan. Ia ingin melihat cahaya kembali dan pulang dengan perasaan senang.”
Rasa sakit itu menderanya. Berkali lipat. Levant mencengkeram pinggiran bangku halte keras-keras.
“Dan peri hujan mendengarnya.”
Inilah titiknya. Selama sedetik, Levant merasakan jantungnya berhenti berdetak. Sayangnya, rasa sakit tidak pernah mau berkompromi, ia merasa sangat parah sampai pandangannya mengabur. Cukup. Ia ingin ini berhenti.
“Peri hujan lalu menemui si penebang kayu dan berkata ‘saya akan memberikan tujuh cahaya padamu yang akan membuatmu bahagia dan menuntunmu pulang’. Si penebang kayu mengangguk senang. Ia diperintahkan menatap langit, dan—“
Levant melambaikan telapak tangannya, membuat gadis itu kembali menutup rapat mulutnya. Cukup. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak. Ia menatap gadis itu, sorot matanya begitu tajam dan penuh kebencian. Ia marah. Tidak, ia sangat marah.
“Pergi.”
“... Hah? Tapi—“
“SAYA BILANG PERGI!!!”