Penyesalan yang Terlambat

994 Kata
"Amel salah makan ma, entah apa yang dimakan dengan teman-temannya. Semalam dia juga muntah-muntah, tapi sudah minum obat dan kedokteran juga," ucap Damar. Perkataan suamiku itu membuatku menarik nafas lega, dia bilang aku salah makan dan sudah kedokteran. "Kamu makan apa sih, Amel? mau pergi bukannya jaga kesehatan malah yang enggak-enggak saja kamu ini," omel mama. "Maaf ma, mama tahu sendiri kan kalau udah kumpul sama teman-teman hebohnya seperti apa," sahutku. "Ya sudah lebih baik kamu minum obat anti mabuk ini, jika kamu tidur sepertinya malah nggak bakalan mabuk lagi." Mama berkata sambil menyodorkan obat mungil berwarna pink padaku. Tanpa membantahnya aku langsung menerimanya dan meminumnya, setelah itu menyandarkan punggungku dan menutup mataku. Aku berharap tidur sepanjang jalan sehingga aku tidak akan mual lagi. Sepanjang perjalanan aku memejamkan mata, bahkan saat istirahat di rest area pun aku tidak berminat untuk turun dan makan. Aku memilih untuk tetap tidur di dalam mobil. Setelah menempuh perjalanan semalaman, kami sampai di kampung halaman Damar sekaligus kampung halaman papa. Kami disambut dengan meriah dan ramah oleh keluarga suamiku itu. Seperti yang lalu, mereka tetap ramah dan menyambutmu dengan sayang. Mendapatkan perlakuan seperti ini, aku makin ingin menyembunyikan kesalahanku dan tetap menjadi bagian dari keluarga mereka. Setelah beramah-tamah, kami dipersilahkan istirahat. Rumah keluarga Damar memang bagaikan istana, di kampung ini semua rumah terlihat besar-besar dan luas. Dan sudah pasti rumah damar jauh lebih luas. Ada rumah utama, tempat kami disambut dan berbincang hangat dengan keluarganya. Lalu masuk kedalam ada halaman kosong yang tidak beratap berbentuk persegi yang memisahkan rumah utama dan rumah bagian belakang. Halaman kosong itu dikelilingi oleh koridor dengan tiang-tiang ukiran yang indah. Di rumah belakang itu terdapat banyak kamar-kamar yang luas dan besar, semua keluargaku dipersilahkan untuk istirahat di kamar-kamar tersebut. Sedangkan aku, dibawa oleh suamiku menuju kamarnya. Kamar paling ujung, yang terlihat dekat dengan taman dan kolam ikan. Aku mengikutinya masuk kedalam kamar tersebut, kamar yang cukup luas dan tertata dengan rapi. Bahkan di sudut ruangan terdapat bunga segar yang di letakkan di atas standing flower dan mengeluarkan aroma wangi. Aku meletakkan tas tanganku di atas tempat tidur, sedangkan Damar meletakkan koper kami di sudut ruangan di samping lemari pakaian. Kubuka jendela kamar yang terhubung langsung dengan taman dan kolam ikan tersebut. Suasana gemericik air membuat indera pendengaran terasa tenang. "Kamar kamu bagus dan nyaman," pujiku. "Kamu suka, kita bisa terus tinggal di sini jika kamu mau," sahut Damar. "Siapa yang mau tinggal disini selamanya?" sanggahku. "Yaa siapa tahu kan?" jawab Damar. "Apa kamu tinggal di rumah ini sendirian? maksudku apa kamu tidak memiliki saudara seperti aku?" Aku bertanya seperti itu karena dari sejak pesta pernikahan hingga sekarang tidak ada yang dikenalkan kepadaku sebagai adiknya Damar karena dia anak pertama. "Aku punya adik perempuan, saat ini dia masih sekolah di pesantren. Makanya dia tidak ikut saat kita menikah maupun sekarang juga tidak ada di rumah," jawabnya. "Oh ...." aku membulatkan bibirku. "Keluargaku memang bukan orang yang taat beragama banget, tapi bapak sama ibu menyekolahkan kami di sekolah yang banyak mengajarkan agama. Mereka bilang, mereka tidak bisa mendidik ajaran agama pada kami dengan baik karena kurangannya ilmu agama mereka, makanya menyerahkan anak-anaknya di sekolah islami." Damar bercerita panjang lebar tanpa diminta. "Kenapa bapak sama ibu tidak mencarikanmu jodoh yang solehah, yang ngerti agama. Malah dijodohkan dengan aku, lihatlah ... Aku tidak menutup kepalaku, bahkan aku menjalankan ibadah sesukaku." "Mungkin kita memang berjodoh," sahut Damar. "Kenapa kamu selalu menjelekkan dirimu sendiri di hadapanku, apakah yang kita lewatkan kemarin malam itu tidak bisa membuktikan jika kamu sudah mulai menerimaku? apa kamu membuat dirimu terlihat buruk di hadapanku agar kamu bisa tetap berpisah dariku?" lanjutnya bertanya. "Aku memang bukan wanita baik-baik, Damar. Mana ada wanita baik yang mengabaikan Tuhannya, tidak menjalankan perintah dan melakukan apa yang Dia larang," "Kamu hanya perlu bimbingan," ucapnya. Perkataannya mungkin ada benarnya, kedua orang tuaku juga bukan orang yang taat beragama, kulihat papa dan mama hanya salat saat mau saja, seperti diriku. "Selama hayat masih di kandung badan, masih ada harapan kita untuk bertaubat. Allah itu maha penerima taubat, dosa apapun akan di ampuniNya meskipun jumlahnya sebanyak buih di lautan." "Dosa apapun?" tanyaku memastikan. "Iya, apapun kecuali menyekutukan Allah. Setahuku seperti itu, aku pernah belajar sedikit ilmu agama." "Di pesantren juga?" tanyaku. "Tidak, aku kabur dari pesantren," jawabnya sambil tertawa. "Aku tidak suka tinggal disana, pada akhirnya bapak dan ibu menyerahkan dan menyekolahkanku di sekolah islam biasa." "Apakah Tuhan akan mengampuni dosa berzina? apakah kamu juga akan memaafkanku?" tanyaku dalam hati. "Hei, kenapa melamun?" tanya Damar sambil menepuk tangannya di depan wajahku. "Ah, tidak apa-apa. Sepertinya aku capek, bisakah aku tidur di sini?" tanyaku meminta izin. "Tidurlah, ini kamarmu juga. Apapun yang menjadi milikku akan menjadi milikmu. Aku akan keluar menemui bapak dan ibu," ucapnya. Lelaki itu segera meninggalkanku setelah berpamitan. Setelah Damar pergi, aku tidak bisa tidur. Pikiranku berkelana kemana-mana, Damar bilang Tuhan akan mengampuni dosa apapun selagi mau bertaubat. Apa lebih baik aku mencari tahu bagaimana cara bertaubat dari perbuatan zina. Tanganku mencari smartphone milikku yang ada di dalam tas, kemudian mencari ceramah yang membahas tentang itu. Ku dengarkan dengan seksama dan sesekali mencatatnya di aplikasi note yang ada di ponsel. Aku harus menyesalinya, salat taubat, banyak beristighfar dan membaca Alquran. Sesungguhnya perbuatan baik itu akan menghapuskan dosa atau perbuatan-perbuatan buruk. Begitulah kata ustadz yang ada di video itu. "Damar ... Aku akan mengatakan semuanya suatu saat nanti. Aku akan rela hati menerima hukuman darimu atau dari keluargaku. Tapi ijinkan aku untuk berbuat egois padamu sekali lagi, ijinkan aku bersamamu, menikmati kasih sayangmu dan keluargamu sebentar lagi saja. Jika kamu memang tidak bisa menerimaku karena kebodohan yang sudah kulakukan dulu, aku akan rela hati berpisah denganmu. Aku harap kamu akan mendapatkan pengganti wanita baik-baik, yang memang pantas untukmu." Aku berkata sambil menatap foto suamiku itu. Foto yang aku ambil diam-diam tadi malam saat dia beristirahat di rest area. Kuusap sudut mataku yang berair, ternyata seperti ini rasanya menyesali sesuatu. Andai waktu bisa diputar kembali, aku tidak akan melakukan hal bodoh itu. ???
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN