Bagi kamu mungkin menunggu itu hal yang manis
Tapi bagiku, menunggu adalah salah satu hal yang bisa saja berakhir tragis
- Dira -
***
"Kamu mau ke mana?"
Seorang pria dengan jaket cokelat menghentingkan langkah tergesa Dira. Gadis itu mengelus perut sembari memasang wajah melas. Ia belum sempat sarapan pagi tadi. Dan semalam juga cuma nyamil sosis dibalut telur gulung dua tusuk. Rasa lapar sudah meronta-ronta minta dipuaskan.
"Aku kelaparan nih. Mau isi bensin dulu."
"Nggak ngajak aku?"
"Ngapain ngajak kamu? Mau traktir ya?"
"Jangankan cuma traktir, mau yang lain juga kukasih kalau buat kamu," balas sang pria sambil tersenyum.
Dira merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Antara sebal dan senang campur aduk menjadi satu. Jelas saja gadis itu sebal, bagaimana tidak, sudah setahun menjalin hubungan tanpa status pasti dengan sang pujaan hati, tapi tak juga ia diberi kepastian yang hakiki. Sungguh malang nasib Dira yang hanya bisa menanti kejujuran hati dari pria yang sering menjadi teman dalam hari-harinya.
"Kamu memang pinter ngomong, Nathan. Tapi nggak pinter hal yang lain," cibir Dira setengah menyindir.
"Hal lain apa nih?"
Nathan bukannya tak paham dengan maksud Dira barusan. Ia memang suka melihat gadis itu kelimpungan menunggu dirinya menyatakan rasa lebih dulu. Baginya, tampang Dira jadi terlihat lebih menggemaskan. Ia tak tahu saja kalau Dira sudah sering menanggung kekesalan menahan sabar akan penantian yang belum berhujung.
Gadis itu meniup poni rambutnya sekilas. Pria di sampingnya mendekati dan mengelus pucuk kepala Dira. Satu tangan lagi mencubit gemas pipi Dira.
"Aku pengen temenin kamu makan siang sebetulnya, tapi ada urusan yang harus ku-handle siang ini. Kamu makan sendirian nggak apa?"
"Apa sih kamu nih, aku makan sama Nana. Kalau sendirian kayak anak ilang nanti malah."
"Loh, Nana kan ikut aku mau ke gudang utama buat cek sesuatu sekalian ketemu klien."
"Hah? Seriusan?"
Nathan mengangguk. Dira mengerucutkan bibir. Ia pun hanya bisa menghela napas pendek. Nathan kembali mengusap kepalanya dengan lembut. Keduanya masih berbincang satu sama lain. Sementara di ambang pintu depan terlihat Nana berdiri mematung di tempatnya berpijak. Entah sudah berapa kali ia menekan d**a yang terasa sesak. Ia berusaha melukis senyum terbaik, lalu menghampiri keduanya.
"Hayo! Mojok terus kalian nih! Kasian yang lain cuma bisa jadi nyamuk lewat doang," tukasnya bercanda.
"Udah ah, aku sampai lupa mau makan. Kalian semangat ya! Aku mau isi perut dulu!" Dira berlalu setengah berlari. Tak tahan dengan perutnya yang keroncongan.
"Belum kamu tembak juga temenku?" cecar Nana to the poin.
"Masih tunggu timing yang pas."
"Sampai kapan? Nggak kasian apa kamu gantungin dia terus? Apalagi yang naksir Dira banyak. Memangnya kamu kira menunggu tuh nggak bikin jenuh apa?"
"Kok kayaknya kamu yang sensi ya, Na?" Nathan tersenyum simpul.
"Bukan sensi. Cuma dongkol aja. Kamu tarik ulur sahabtku terus."
"Sabar... aku pengen siapain dulu semuanya dengan spesial. Kalau bisa nggak usah pakai acara tembak-tembakan segala. Langsung kulamar kalau perlu."
Mendengar penuturan Nathan, tidak bisa dipungkiri bahwa ada yang retak di dalam hati Nana. Gadis itu menahan letupan cemburu dalam dadanya. Memaksa segaris senyum untuk ratusan kalinya. Menelan kecewa atas cinta yang bertepuk sebelah tangan. Jika saja bukan Dira saingan hatinya, jika saja buka sahabat karibnya yang menjadi batu pemisah untuknya mendapatkan balasan dari Nathan. Mungkin, semua tak akan sesulit sekarang. Nana pasti akan memperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Namun, sayangnya, persahabatan mereka berada di atas cinta semata. Selalu terngiang dalam benak Nana, percakapannya dengan Dira dulu kala.
"Kalau mau jadi sahabatku, harus siap mental."
Nana bingung dengan ucapan Dira. "Kenapa gitu?"
"Aku nggak suka saingan sama sahabat sendiri. Dalam hal apapun. Terutama cowok. Jadi, kalau misal kita berdua suka sama satu orang yang sama, kamu jangan sungkan kasih tahu aku."
"Buat apa?"
"Ya biar aku bisa mengalah dari kamu. Pacar itu bisa dicari kapan saja. Tapi, sahabat susah nemunya. Apalagi yang loyal kayak kamu dan..."
"Dan Rani?"
Dira mengangguk. "Aku kangen kita bertiga lagi," lirihnya.
"Kamu mengalah untuk Rani, tapi dia juga yang ninggalin kita. Menyalahkan orang lain hanya karena cintanya nggak terbalas, kayak gitu masih mau kamu anggap sahabat? Ada gitu hati yang sekuat kamu, Dir?" celoteh Nana tak habis pikir.
"Aku nggak pernah mengalah, Na. Aku memang nggak ada perasaan apa-apa ke Kenaan."
"Tapi Rani nggak percaya dan nuduh kamu manfaatin kesempatan di antara persahabatan kan? Aku nggak suka sikapmu yang terlalu lembek, Dir! Kamu harus berani tegas sama siapa pun. Apalagi kalau kamu benar."
"Nana, kalau dalam pertemanan kita cuma mementingkan siapa benar dan siapa salah, mungkin nggak akan ada pertemanan yang awet selamanya. Ego itu nggak bisa dilawan, tapi bukan berarti nggak bisa dikendalikan juga."
"Ya ya, up to you. Susah ngomong sama kamu. Aku malah sensi sendiri jadinya," keluh Nana.
"Sama kamu juga aku nanti bakal gitu."
"Bakal gimana?"
"Ya, siapa tahu suatu saat nanti kita naksir cowok yang sama. Kalau pun misal cowok itu suka sama aku, bakal kuusahain dia berpaling ke kamu."
"Kamu kayaknya butuh ke psikiater deh, Dir," cibir Nana. "Hal kayak gitu nggak boleh terjadi! Kamu harus perjuangkan dan pertahankan orang yang kamu sayang. Manusia juga butuh pasangan, bukan sahabat doang kali. Realistis kenapa, Dir?!"
"Realistis memang perlu. Tapi soal hati, aku nggak suka berebut dengan temanku sendiri. Toh, kalau jodoh, mau sejauh apapun melangkah atau sebanyak apapun perempuan mendekat, pasti bakal balik ke aku misal memang orang itu benar jodohku. Aku nggak mau mempersulit keadaan dengan rasa bersalah."
"Kamu bener sih. Yaudah kita buat perjanjian aja gimana? Biar aman."
"Perjanjian apa?"
"Kita nggak boleh suka sama satu cowok yang sama. Kalau kepepet, ya mendingan kita berdua sama-sama mundur kali ya?"
"Boleh. Begitu lebih baik."
Kilasan balik itu mempertegas satu hal. Bahwa bila sampai keduanya terjebak rasa yang sama pada satu sosok sama, maka mengikhlaskan adalah jalan terang terbaik. Sisanya mereka pasrahkan entah jodoh atau tidak pada Sang Kuasa.
Tepukan telapak tangan Nathan menyadarkan lamunan sesaat Nana. Gadis cantik berkulit putih bersih itu sontak menoleh dengan wajah agak terkejut.
"Ngelamun siang bolong," ujar Nathan mengingatkan.
"Nggak ngelamun kok. Cuma mikir sebentar."
Nathan hanya geleng kepala, kemudian mengajak Nana bergegas menuju tempat tujuan mereka.
Sementara itu di kantin Dira sedang menunggu pesanannya. Ia bermain ponsel dan menemukan ada beberapa pesan masuk di aplikasi Instagramnya. Ia membalas satu per satu. Sampai dirinya terhenyak membaca salah satu pesan yang menurutnya agak mencurigakan.
@junaivandarbiruna_
Benar ini akun milik Dira Arunika? Saya butuh bantuan kamu.
Pesan aneh dari orang asing tak dikenal berhasil membuat Dira merasa terheran sekaligus bingung. Ia pun mengetik balasan dengan raut muka penuh tanda tanya besar.
@diraarunika_ji
Maaf ini dengan siapa? Dan ada keperluan apa dengan saya?
==♡DHSC♡==