Rindu Yang Hilang

1046 Kata
Aku heran mengapa istriku dengan mudahnya mengangguk dan mengiyakan saat aku bilang mau menikah lagi. Tidak seperti di sinetron atau kebanyakan cerita orang, yang responnya, istri akan berteriak tidak suka, menangis meraung-raung atau cuma sekedar marah berminggu-minggu dan tanpa bertegur sapa. Ada apa dengan istriku? Kok, dia anteng-anteng saja. Senyumnya yang tulus dan binar matanya yang pasrah membuatku sejenak terpaku, lama kucari kabut dusta di matanya yang selalu hangat menatapku selama ini, tidak ada. "Kamu benar tidak keberatan, kalau Mas menikahi Anggita?" tanyaku meyakinkan anggukannya yang kurasa terlalu enteng. Anggita adalah mantanku, cinta pertama, sekaligus gadis pujaan sejak dahulu. Besarnya cintaku pada perempuan itu, Isrina tahu. Bukankah dia adalah sahabat Anggita? Mereka pernah bersama-sama karna satu kampus dengan jurusan yang sama. Tidak seperti Isrina yang biasa saja, Anggita adalah bunga kampus yang famous. Sayang kami tidak berjodoh, di akhir semester Anggita dijodohkan orang tuanya dengan seseorang, yang konon masih kerabat jauhnya. Kami pun terpaksa berpisah, cinta tidak selesai. Rinduku tidak bersambut, nama Anggita, hanya penuh dalam angan dan mimpi. Aku yang terluka akhirnya melabuhkan hati pada sosok Isrina. Apakah aku mencintainya dengan tulus atau cuma menjadikan gadis bersahaja dan lembut hati itu cuma sebuah pelarian? aku tidak tahu. Aku tidak memahami debar perasaanku pada Isrina, begitupun setelah tiga tahun menikah meski belum dikarunia seorang anak, yang jelas setelah menjalani proses pacaran singkat, kami menikah. "Menikahlah Mas, Anggita sudah sendiri. Kamu berhak bahagia," katanya pelan, membuyarkan kenanganku beberapa tahun silam. suaranya begitu dingin menelusup hatiku. "Mengapa kamu tidak bertahan seperti perempuan lain," tanyaku penuh rasa heran. "Mas, mau aku bilang tidak?" Isrina malah balik bertanya, matanya menatap bola mataku. "Kamu bilang aku berhak bahagia, terus kamu bahagia aku menikahi Anggita?" Isrina hanya menunduk, selarik sinar nestapa samar terlihat olehku, tapi begitu samar terhalang oleh senyumannya yang manis, membuatku menebak-nebak isi hatinya. Meski awalnya menikahi dia hanya sebuah pelarian tapi perlahan aku bisa menerimanya. Meski akhir-akhir ini hati selalu dipenuhi bayangan Anggita, aku tidak ingin Isrina terluka. Bagaimana mungkin aku mampu menggores luka pada sosok yang begitu baik dan pengertian selama ini. Lagi pula, aku adalah laki-laki sejati, pantang bagiku melukai hati seorang wanita. "Kalau aku minta kau juga peduli dengan hatiku, peduli dengan perasaan bahagiaku apa kau mau mengurungkan niatmu menikahi Anggita? Tidak kan Mas?" Tanyanya menyuruhku mencerna lebih dalam. Isrina memang bukan perempuan bodoh, kepiawaiannya menulis, membuat kata-kata dan sikapnyapun terkadang membuatku harus berfikir. " Aku tidak akan sanggup menyuruhmu melupakan Anggita, jadi mulai hari tidak usah bertanya padaku tentang kebahagiaan. Bahagia atau tidak aku mengizinkanmu menikah lagi. Titik," ucapna membuatku menggaruk kepala. Melukai dan membagi cinta tidak sama, lagi pula aku laki-laki yang normal. Aku sayang Isrina, disamping aku juga mencintai Anggita, tidak ada salahnya aku memiliki keduanya agar perasaan sayang dan cintaku dapat tersalurkan. Aku memang egois. Ya, kalau aku tidak egois namanya bukan laki-laki. *** Tidak ada yang berubah dengan Isrina, dia tetap lembut dan hangat kepadaku. Setiap hari dia menyiapkan semua keperluan dan memasak untukku. Dia juga tidak rese, melihat betapa seringnya aku bertelepon ria dengan Anggita selama berjam-jam di depan matanya. Aku rasa, pernikahan kedua ini akan berjalan baik-baik saja.sampai suatu ketika, dalam sebuah pertemuan di sebuah kafe selepas aku pulang ngantor, Anggita memberiku syarat yang sangat berat. Menikah dengannya, tapi aku harus menceraikan Isrina. Gila. "Aku tidak bisa berbagi, Mas." Alasannya jelas. "Dihadapanmu ada dua perempuan yang sama mencintaimu, kita punya kenangan indah, dan satu hal aku jauh lebih cantik dari istrimu, " katanya tegas dan sedikit menekanku. Lalu? "Ceraikan dia, istri jelekmu." Hah? Mataku terbelalak, tidak semudah itu, mantan. *** Tak ada air mata dari kedua kelopak matanya yang teduh, perempuan dengan paras biasa itu hanya menunduk. Meresapi semua kata-kataku dengan nafas yang ditahan. " Mas, memilih dia? "tanyanya lirih, segaris senyum pahit menyungging dibibirnya. Meski ragu aku mengangguk. Menggapai Anggita adalah hal terpenting dalam hidupku, tapi mengapa saat Isrina perlahan menganguk hatiku rasanya perih. **** Seminggu sudah aku mempersiapkan pernikahanku dengan Anggita. Meski ini pernikahan kedua, tapi Anggita merasa ini momen yang harus dirayakan dengan luar biasa, meski pesta tidak digelar besar-besaran tapi selera dia dalam memilih gaun pengantin, cincin berlian dan pernak-pernik lainnya membuatku pusing tujuh keliling. "Gaunnya kurang elegan, kampungan. " "Cincinnya harus berlian, dengan mas murni mendekati seratus persen. " "Aku tidak suka fashion lokal, tolong cari yang branded." "Lipstiku harus inpor, gak suka yang abal-abal." Haduh, kepalaku rasanya mau pecah. Menjelang tengah malam, aku baru sampai rumah. Seharian aku keliling kota hanya untuk memuaskan selera calon istriku. Berbeda dengan Isrina yang bersahaja, dan gampang. Anggita rewel, banyak maunya dan seleranya pada banyak hal luar biasa. Aku menghela nafas, ada yang mulai membebani hatiku. Sepertinya mulai saat ini, aku harus mulai belajar menjadi laki-laki yang pandai mengalah, melelahkan. Rumah tampak sunyi, biasanya Isrina menyambutku di pintu dengan sebuah kecupan hangat di punggung tanganku. Membimbingku menuju meja makan dan menemaniku makan malam sambil mengobrol ringan. Mengapa aku rindu? Tiga hari yang lalu perempuan itu memutuskan pergi dari rumah. "Aku menunggu sidang pengadilan di rumah orang tua saja, Mas. Mungkin, Mas perlu waktu untuk mempersiapkan segala keperluan pernikahan dengan Anggita. Jangan khawatir, dipersidangan nanti, aku akan datang," katanya sebelum pergi. Wajah teduhnya membuatku sedikit berdebar, inikah jalan yang kupilih? Membiarkan perempuan yang penuh cinta itu berlalu dari hidupku? Melepaskan perempuan yang selalu memberikan hatinya, hanya untukku? Lama aku mematung, suasana rumah tanpa Isrina rasanya sunyi. Aku merasa sudut hati yang sunyi, suara detak jam yang samar terdengar seolah mengokohkan rasa senyap dan menghadirkan bayangan samar perempuan yang telah merenda harinya di rumah ini bersamaku selama ini. Dengan langkah gontai, aku memasuki kamar. Tak ada senyum lembut dan pelukan rindu di pinggangku, Isrina sudah membawa cerita cintanya tiga hari yang lalu. Mungkin dia terluka, bukankah akhir-akhir ini aku selalu menatap matanya yang berkabut? Bukankah senyumnya tak lagi manis, bukankah getar suaranya lebih terdengar sendu. "Aku pergi Mas, kau berhak bahagia. Maafkan aku," katanya lirih, mencium punggung tanganku yang hanya sanggup mematung, melihat segaris air mata yang menganak lembut di kedua pipinya. Senja baru saja turun. Semburat sinarnya yang keperakan memantul sendu di ujung hijab Isrina. Sepoi angin senja yang mengusap dingin mukaku, seolah mewakili hati yang rasanya begitu sunyi. Aku hanya terdiam dan membisu, melihat bayangan tubuh Isrina yang menjauh. Dasdaku berdesir lirih saat melihat perempuan itu terluka. Lagi-lagi, aku berusaha menghapus bayangan Isrina. Duh, Mengapa aku merindu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN