Bab 7

1759 Kata
“Apa ada yang ingin Ibu makan untuk siang nanti? Biar Za belikan,” tawarku. Bu Ningsih malah menggeleng. “Ibu bisa makan bubur yang tadi Ani buatkan. Ibu justru khawatir dengan Al. dia sering sekali lupa makan. Kadang, hanya secangkir kopi yang dia minum seharian. Ibu takut dia sakit,” ucapnya. Di wajah tuanya tergambar kekhawatiran seorang ibu. “Apa Za antarkan makanan untuk Mas Al saja, Bu? Apa Ibu tau makanan apa yang Mas Al suka? Biar Za masakan untuknya.” Bu Ningsih tersenyum dan mengelus pundakku pelan. “Masakan yang AL suka … sebenarnya apapun dia suka, karena sejak kecil Ibu tidak pernah memasak sesuatu yang istimewa. Tempe goreng, tahu oseng, ikan asin. Apapun dia makan. Hanya saja … sepertinya dia sangat suka kalau ibu buatkan dia sayur asem.” Sayur asem? Seingatku, Om Hendro juga suka itu. Saat makan bersama dulu, di meja makan selalu tersedia sayur asem yang kata Tante Rita itu kesukaan Om Hendro. Atau … apakah mungkin Om Hendro justru menyukai masakan itu karena teringat dengan Bu Ningsih? “Oh, kalau gitu Za beli dulu sayurannya ya, Bu. Warungnya sebelah mana?” tanyaku bersemangat. Bu Ningsih menjelaskan letak warung yang letaknya tak jauh dari rumah ini. Hanya menyusuri jalanan kampung ini, rumah kelima ke sebelah kanan. Baiklah, aku akan mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan ini. Warung itu ternyata menyatu dengan rumah semi permanen. Tersedia aneka sayuran dan ikan basah juga makanan keringan. Ada beberapa ibu-ibu juga di sana. Aku membaur dengan ibu-ibu yang juga sedang memilih sayuran. Salah satu dari mereka melirik padaku dan mengernyitkan dahi. Aku tersenyum dan menngangguk. “Eh, ini siapa ya? baru lihat,” katanya dan membuat ibu-ibu yang lain ikut menoleh padaku. “Emh, saya … istrinya Mas Al,” jawabku malu-malu. Mata mereka seketika terbelalak. “Al? Albany maksudnya? Anaknya Bu Ningsih?” cecarnya seolah tak percaya. Aku mengangguk tak lupa tersenyum. “Oh, kapan nikahnya? Nggak ada kabar-kabar,” gumamnya saling lirik dengan yang lain. “Cantik begini, mau-maunya sama anaknya orang gila.” “Iya, kelihatannya dia anak orang kaya. Lihat saja kulitnya bening gitu, bajunya juga bagus. Jauh amat kalau dibandingkan sama anaknya Bu Ningsih itu,” balas ibu yang lain. Mereka menjelekan Albany, tapi entah kenapa hatiku yang sakit. Aku segera mengambil dua bungkus sayuran setelah menanyakan pada pemilik warung mana sayuran untuk membuat sayur asem. Sepapan tempe dan lima butir telur ikut serta aku beli. “Ini uangnya, Bu. Terima kasih. Permisi,” aku segera pamit, daripada harus mendengarkan desas-desus tentang suamiku. “Eh, Neng, kok buru-buru. Kita kan belum selesai ngobrolnya,” kata ibu yang pertama kali menyapaku. Aku hanya manggut. “Maaf, Bu, lain kali saja. Saya harus masak dulu,” pamitku lagi dan segera pergi dari sana. Baru beberapa langkah, aku bertemu dengan Ani yang sepertinya mau ke warung juga. “Eh, Teh Za? Abis dari warung Teh? “ tanyanya saat melihat tentenganku. “Iya, Ni. Mau masakain buat makan siang Mas Al. oh iya, apa kamu tau di mana Mas Al kerja?” tanyaku. Ani langsung mengerutkan keningnya. “Lho, masa Aa nggak bilang kerja di mana sama Teteh? Teteh kan istrinya.” “Iya, aku belum sempat nanya. Tadi juga lupa,” jawabku gelagapan. “Oh … itu, Aa kerja di proyek pembangunan rumah sakit.” “Di mana, Ni? Jauh nggak?” tanyaku lagi. “Ya … lumayan jauh. Harus naik angkot kalau dari sini.” “Oh, gitu ya. Makasih ya, Ni. Saya pamit mau masak dulu ya. Takut nggak keburu,” ucapku berpamitan. Entah benar atau tidak, walaupun gadis ini baik, tapi sepertinya dia kurang suka terhadapku. Tapi, semoga saja perkiraanku itu salah. ** Aku membuat sayur asem dengan panduan Bu Ningsih. Ini bukan pertama kalinya aku masak, karena aku memang menyukai kegiatan ini. Aku sering membantu Mama masak saat libur kuliah, jadi kalau sekarang aku harus membuat sayur asem, itu bukan hal yang sulit bagiku. “Kamu pinter sekali, Za. Al pasti suka masakan kamu. Sayur asemnya enak sekali,” kata Bu Ningsih saat aku memintanya mencicipi sayur buatanku. Hatiku berbunga mendengarnya. Semoga berawal dari sayur ini, hati Albany bisa mencair. Aku pun segera memasukan sayur asem, nasi, tempe goreng dan telur dadar ke dalam rantang yang warnanya sudah usang. Sebuah sendok tak lupa aku bawa dan sempilkan di kuping rantang. “Za berangkat dulu ya, Bu. Ibu nggak apa-apa kan, kalau Za tinggal dulu?” “Nggak apa-apa, Sayang. Ibu nanti makan sendiri. Pergilah, keburu jam makan siang. Kamu tau kan AL kerja di mana?” Aku diam sejenak. “Di … proyek pembangunan rumah sakit, kan, Bu?” tanyaku memastikan. Bu Ningsih mengangguk. “Iya, sebulan yang lalu Al diangkat jadi mandor proyek, setelah sekian lama dia hanya menjadi buruh di sana. Ah, mungkin Al juga sudah cerita sama kamu,” katanya. “Sudah, ayo sana. Nanti keburu habis waktu makan siangnya. Sia-sia nanti kamu masak,” usirnya. Aku pun berangkat dengan memakai angkot sesuai arahan dari Bu Ningsih dan juga Ani, tadi. Sampai di sana sudah hampir jam 12. Proyek pembangunan rumah sakit itu ternyata tertutup, tidak sembarangan orang bisa masuk. Aku harus membujuk satpam di sana agar mengijinkanku masuk untuk bertemu Albany. “Sebetulnya nggak boleh Mbak. Tapi kalau sebentar, nggak apa-apa. Tunggu saja di sana ya, nanti saya panggilkan Pak Al biar datang ke sini,” katanya dan Pak Satpam itu kemudian menghubungi seseorang dengan ponselnya. “Pak Al, ada yang nyari di sini,” kata Pak Satpam. Mungkin Albany menanyakan siapa yang datang, karena Pak Satpam kemudian menyebutkan jika ada istrinya yang datang. Kemudian dia hanya mengucapkan kata baik dan menutup teleponnya. “Tunggu saja ya, Mbak. Sebentar lagi Pak Al ke sini.” “Eh, Bapak punya nomornya Al? boleh saya minta Pak?” tanyaku. Dia malah mengernyit, mungkin merasa aneh, aku mengaku sebagai istrinya tapi tidak punya nomor ponsel suami sendiri. “Maaf, Pak. Saya … eh, maksud saya, kami baru menikah, jadi ….” “Ooh …,” ucapnya panjang. Sepertinya dia mengerti jika kami baru kenal satu sama lain. “Tunggu,” katanya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dia kemudian menyebutkan sederet angka dan aku pun mencatatnya di ponsel. Memberi nama ‘Suamiku’ di sana. Sepuluh menit menunggu, akhirnya Al datang juga ditemani seorang wanita cantik. Mereka sama-sama mengenakan helm proyek berwarna orange. Dari tampilannya, wanita itu sepertinya bukan orang biasa. Mungkin dia seorang arsitek. Albany mengangguk hormat, sepertinya berpamitan pada wanita itu. Mereka berpisah di dekat pelataran parkir. Albany menuju ke arahku, sedangkan wanita itu menuju ke sebuah mobil sedan berwarna perak. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Albany saat kami sudah berhadapan. Dia juga meilirik ke tanganku yang menenteng satu set rantang. “Aku ke sini mau nganterin makan siang buat kamu,” jawabku seraya menyodorkan rantang itu padanya. Sekilas dia tersenyum masam. “Sudah aku bilang, kamu tidak perlu peduli padaku. Aku bisa minum kopi di sini,” katanya dan lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Setelah menghisapnya, asapnya terlihat membumbung lalu lenyap tertiup angin. “Sayur asem,” ucapku lirih. Matanya langsung terlihat berbinar. Rokok di tangannya langsung dia matikan. “Bikinan Ibu?” tanyanya berapi-api. Aku tak menjawabnya. “Ya sudah, sini, biar aku makan. Rantangnya nanti aku bawa pulang,” katanya. Aku menggeleng. “Ibu bilang, aku harus membawa kembali rantang ini bersamaku dalam keadaan kosong. Jadi … aku harus nunggu kamu sampai beres makan semua ini.” Sengaja aku bilang seperti itu, agar yakin dia telah menghabiskan semua makanan ini. Terdengar dengkusan dari mulutnya. Namun, akhirnya dia menurut juga. Albany mengajakku duduk di bangku yang ada di sana. Aku menaruh rantang itu tepat di antara kami, kemudian membukanya satu per satu. Wangi makanan itu langsung menguar. Aku yang juga belum makan siang, tiba-tiba merasa lapar. Bunyi keroncongan perut kami terdengar. Aku melengos karena malu, demikian juga dengan Albany. Untuk melepas kecanggungan di antara kami, aku segera menyerahkan rantang berisi nasi. Aku memang sengaja tidak membawa piring, karena pikirku Albany bisa makan dari rantangnya langsung. Kutuangkan sayur asem ke rantang yang Albany pegang, lalu sepotong tempe goreng dan telur dadar aku taruh di atasnya. Dia langsung menyuap dengan lahap. “Pelan-pelan, jangan lupa berdoa dulu,” ucapku mengingatkan. Albany menghentikan suapannya lalu memejamkan matanya sebentar. Mungkin berdoa. Dia kembali menyuap dengan lahap, diiringi tatapan mataku yang berbinar bahagia. Aku bisa melihat, ternyata nikmat itu tidak harus dengan sesuatu yang mewah. Makanan sederhana pun, akan terasa nikmat saat kita mensyukurinya. Bunyi perutku terdengar lagi. Aku melengos saat Albany melirik ke arahku dan menghentikan suapannya. “Kamu belum makan?” tanyanya. Aku menggeleng pelan. “Kamu saja dulu, aku bisa makan nanti di rumah.” Dia memindai pada setiap bagian rantang. “Kamu bawa sendok cuman satu?” tanyanya. “Iya. Aku bawa buat kamu aja. Sudah makan saja. Aku bisa makan kapan saja di rumah, kalau kamu tidak bisa makan di sembarang waktu,” timpalku. Namun, dia malah memberikan sendok itu padaku. “Makanlah. Kita bisa gantian pake sendoknya. Aku tidak mau disalahkan oleh Pak Hendro jika kamu sakit,” katanya. “Nggak usah, kamu saja dulu makan yang kenyang. Aku bisa makan nanti di rumah,” tolakku lagi. Albany kembali menyendok makanan dari rantang di tangannya. Tapi, ternyata bukan disuap ke mulutnya, dia malah menyodorkan sendok itu padaku. “Makanlah,” katanya membuat aku terperangah karena kaget. “Ayo,” ucapnya lagi sambil menyodorkan sendok itu ke mulutku. Ragu-ragu aku membuka mulut. Makanan ini benar-benar terasa enak di lidah, pantas saja Albany begitu lahap menyantapnya. Suapan berikutnya dia tujukan ke mulutnya, lalu suapan yang lainnya dia tuju ke mulutku. Begitu seterusnya sampai semua makanan itu tandas tak bersisa. “Masakan Ibu memang selalu enak,” ucapnya lirih. Aku mengangguk setuju. Setelah membereskan peralatan makan, aku pun pamit pulang. Albany hanya menjawab dengan anggukan. Namun, saat aku hendak melangkah, dia memanggil namaku pelan. Aku pun menoleh padanya. “Terima kasih,” katanya dan kujawab dengan senyuman. ** Hampir Magrib suara motor Albany baru terdengar di halaman. Entah kenapa hatiku mendadak berbunga. Apakah seperti ini rasanya menunggu suami pulang? Lalu, apakah secepat ini aku bisa melupakan Rico? Tidak, dia masih ada di sudut hatiku, hanya saja aku tidak bisa meratapi kepergiannya. Ada seorang anak yang akan menjadi tanggung jawabku, dan seorang suami yang harus aku layani. Albany mengucap salam saat masuk. Aku dan Bu Ningsih menjawabnya. “Al, kamu sudah pulang? Tadi siang katanya kamu makan lahap sekali. Sana, makan dulu, keburu Magrib. Masakan buatan Za memang enak, Ibu juga suka,” kata Ibu. Albany langsung menatap ke arahku. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN