“Tetapi ada yang lebih berharga dari cinta pertama.” Alice yang tak mau kalah itu juga ikut tersenyum miring. “Cinta sejati lebih berarti dari cinta pertama, Nath. Percuma kau memiliki cinta pertama, jika ujung-ujungnya cinta pertamamu tidak bisa menjadi cinta sejati, perasaan dari dalam hatimu yang benar-benar tulus, tanpa pamrih atau syarat.” Alice semakin tersenyum ketika melihat Leonathan yang tampak berpikir, memikirkan seperti apa cinta sejati itu. “Bukan mengincar fisik, tetapi murni karena kau memang mencintainya, berdasarkan perasaan terdalam dari dasar hatimu. Apa cinta pertamamu itu juga termasuk cinta sejati, Nath?”
Leonathan tiba-tiba terkekeh dan kelakuannya itu membuat Alice mengerut bingung. “Jika aku tidak tulus padanya, aku tidak mungkin mencarinya sampai pusing seperti ini.” Menggeleng geli karena Alice meremehkan perasaannya untuk Brielle. “Mungkin aku tidak akan peduli dan mencampakkannya jika aku hanya ingin mempermainkan perasaannya. Tetapi kau tahu sendiri, kemarin sampai detik ini aku sedang mencari cinta pertamaku.” Mengetahui bahwa Alice sudah merasa kalah, senyumnya semakin mengembang. “Bahkan sudah seminggu lebih aku mencari wanita yang berhasil membuatku frustrasi sekaligus merasakan cinta yang lama kudambakan.” Alice sudah tidak berkomentar, ia membungkam mulut dan memilih untuk memalingkan wajahnya dari Leonathan yang masih menunjukkan senyuman manis itu.
Ya, seperti yang dikatakan Leonathan tadi, pencarian Brielle sudah berlangsung lebih dari tujuh hari. Dikarenakan informasi tentang Naomi tak didapatkan dengan jelas, Leonathan sampai mencarinya ke seluruh Bali dengan mengandalkan tempat-tempat yang biasa digunakan Naomi untuk melepas penat. Bahkan ketika Alice mengajaknya ke toko bunga orang tua Naomi, informasi yang didapat hanyalah apartemen yang disewa Naomi selama liburan ke Bali.
Berita yang sama seperti dikatakan Alice padanya tentang tempat tinggal asli Naomi, yang memang bukan di Pulau Bali bersama orang tuanya. Alice sebagai sahabatnya hanya mengetahui bahwa Naomi tinggal di Jogja sendiri, dan ke Bali hanya berlibur. Hanya fakta itu yang Alice punya, sama sekali tidak tahu apartemen yang disewa sang sahabat. Leonathan yang geram saat itu akhirnya memutuskan untuk mencari Brielle sendirian tanpa bantuan Alice. Parahnya, kabar apartemen itu tidak bisa diandalkan karena sampai di sana, Naomi ternyata sudah keluar dari apartemen sewaannya.
“Beruntung sekali salah satu karyawanku melaporkan kabar mengejutkan ini padaku secara langsung.” Memandang Alice, Leonathan geleng-geleng kepala. “Jika tidak, kau mungkin tak akan mengecek data Elle seperti perintahku.” Leonathan kembali membahas betapa leganya dia ketika ada jalan keluar yang bisa ia ambil. Begitu terkejut saat pagi jam tujuh kurang, dia dikabari bahwa ada karyawan bernama Brielle yang sudah tidak masuk kerja lebih dari lima hari dan tidak memakai surat keterangan dokter ataupun izin. “Jika karyawanku tidak mengabari, kau pasti juga tidak memerhatikan data karyawan lainnya. Apa kau ingin kupecat?”
“Oke, aku minta maaf. Lain kali aku akan memerhatikan semua karyawanmu, Nath.”
“Hanya lima karyawan saja, dan di saat satu orang tidak berangkat ... kau bisa-bisanya tidak tahu.” Membuang napas sambil mencengkeram setir kuat-kuat, pria ini berusaha menahan emosi. Leonathan lagi-lagi harus menarik oksigen dalam-dalam dan fokus pada jalanan agar tidak tersulut kemarahan. “Aku tahu kau terhitung baru mengurus kafe kedua milikku. Tetapi, mengapa kau tidak pernah memerhatikan wajah karyawan? Terlebih, Elle bekerja di kafe yang kau tangani? Mengapa bisa kau tidak mengenalnya ketika bersalaman di klub malam itu?” Baru sekarang Leonathan bisa semarah dan terlalu emosi seperti ini pada sahabat yang pernah dicintainya.
Tanpa melihat Leonathan, Alice menundukkan kepala dengan perasaan bersalah walau sedikit saja. “Sudah aku katakan, aku minta maaf karena tidak pernah memerhatikan seluruh karyawanmu. Lagi pula, wanitamu itu juga cantik ketika datang ke La Favela. Aku akui, dia begitu cantik malam itu. Jelas saja, aku tidak ingat jika wanita itu bekerja di Mixture Cafe pimpinanku.” Ada rasa kesal di dalam hatinya kala mendengar betapa tajamnya suara Leonathan demi membela Brielle. Bukan cemburu karena cinta, tetapi aneh sekali menurutnya. Kenapa seorang Leonathan bisa semarah ini padanya hanya karena wanita yang baru ditemuinya dalam beberapa jam saja.
Leonathan cuma melirik sekilas. Ia masih tak habis pikir dengan Alice yang begitu menganggap enteng sebuah pekerjaan, bahkan sudah menjadi orang terpercayanya. Andai teman dekatnya ini menghafal betul wajah Brielle, pasti ia akan menemukan tempat tinggal wanita itu secepatnya, tanpa menghitung hari. Yang paling disayangkan Leonathan adalah ternyata Brielle menjabat sebagai karyawan di kafe miliknya, Mixture Cafe kedua bimbingan Alice.
Tibalah mereka di tempat kos elit di daerah Canggu, tepatnya ada di Jalan Raya Canggu Kerobokan Nomor 88. Tanpa berlama-lama, Leonathan bergegas turun dari mobil setelah turun dari kendaraan roda empat yang hanya terdiri dari dua kursi saja. Baru menutup pintu dan berjalan bersama Alice, ia melihat sosok Naomi yang keluar dari tempat kos. Leonathan yang jeli lantas mengejar dan menarik lengan kirinya. “Kau pasti baru menemui Elle. Tolong panggilkan dia, ada yang ingin aku bicarakan,” ujar Leonathan tanpa memberikan salam karena tak sabar ingin bertemu Brielle.
Bukannya memberitahu, Naomi justru memberikan tamparan keras untuknya. Sampai Alice yang baru mendekat melongo dengan mata terbelalak. Masih menatap Leonathan dengan melotot, Naomi dengan kencang menyahut, “GARA-GARA DIRIMU, ELLE TIDAK ADA DI TEMPAT KOS! DIA SUDAH PERGI!” Ekspresinya begitu marah dan tampak kecewa. “Kalau aku boleh menampar mukamu berkali-kali, aku akan menamparnya ribuan kali sampai aku puas! Sayangnya, aku tidak ada waktu untuk meladeni pria berengsek dan kurang ajar sepertimu!” Melemparkan tatapannya sekilat cahaya pada sahabatnya yang lain, Naomi menggeleng lemah. “Seharusnya aku tidak mengenalkan Elle pada kalian berdua. Karena kalian, aku kehilangan sahabat baikku.”
Leonathan yang tidak terlalu memedulikan pipi yang terasa panas dan perih, dibuat tercengang dengan kalimat terakhir Naomi. “Kau tidak tahu di mana Elle berada sekarang? Bukankah sekarang ini dia ada di tempat kos?”
“Bodoh! Kau sendiri tahu kalau aku baru saja keluar dari sana, dan tidak ada Elle di dalam. Teman kosnya bilang bahwa dia sudah pergi sejak beberapa hari lalu dan belum pulang.” Melewati tubuh Leonathan, Naomi melambaikan tangannya pada taksi online yang sudah ia pesan. Masuk melalui pintu belakang, ia memberikan tatapan menusuk pada Leonathan dan Alice sebagai salam perpisahan. Taksi yang dipesan Naomi pun berlalu dari hadapannya.
Leonathan hanya melihat mobil yang ditumpangi Naomi itu pergi sampai benar-benar menghilang, barulah dia melangkah cepat ke kendaraan roda empat miliknya. Kembali masuk dan duduk di kursi semula, kedua tangannya yang terkepal terus dihantamkan pada setir dengan sekuat tenaga. Melampiaskan amarah, kekesalan, dan rasa sesal yang begitu melekat di hati.
“Masih ada waktu, Nath ... kita masih bisa mencari Brielle di seluruh Bali. Aku yakin, dia masih ada di sekitar sini.”
“Kau pikir tempat mana lagi yang bisa aku datangi?! Semua informasi sudah kudapatkan dan jalan terakhir hanya tempat tinggalnya. Naomi bahkan tidak tahu di mana Elle berada!” Mengusap pipi yang kena tamparan, Leonathan sedikit meringis. “Jika ada apa-apa dengannya, aku tidak akan menampakkan diri pada dunia lagi. Akan kuberikan Mixture Cafe padamu.”
“Apa yang kau bicarakan?!”
Tak menjawab pertanyaan Alice, Leonathan memilih untuk mengendarai mobilnya lagi dan melajukan kendaraan mahal itu dengan kecepatan rata-rata. Pikirannya sudah melayang ke mana-mana. Bahkan pria itu bertekad untuk bunuh diri jika dia belum bisa menemukan Brielle.