Putus Asa?

1261 Kata
“Apa maksud kata-katamu itu, Nath?!” seru Alice. “Aku akan menyerahkan semua yang aku punya untukmu, sepenuhnya. Aku tidak yakin dia akan memaafkanku.” Alice yang sudah terkejut sedari tadi tidak bisa menahan mulutnya untuk terbuka lebar. Bahkan dia memukul lengan kiri Leonathan agar pria itu terbangun dari mimpi buruknya. Otak pria itu seperti sudah tidak berfungsi seperti sedia kala. “Kau ini bicara apa?!” serunya sembari menepuk pipi kiri, sangat pelan karena tamparan dari Naomi membekas di sana. “Sadarlah!” tambahnya lagi dengan menggenggam penuh penekanan di bahu pria yang tengah menyetir. Kendaraan ini berkecepatan stabil, santai, dan berjalan sangat tenang. Meski situasi hatinya seperti rumah yang berantakan, Leonathan mencoba untuk fokus menyetir. Ia tidak akan membawa Alice ikut mati bersamanya. Karena itulah, Leonathan memilih diam dan memerhatikan aspal jalan yang dilalui banyak kendaraan seperti malam ini. Pikirannya hanya terfokus pada satu nama sejak beberapa hari terakhir ini, dan kabar barusan yang diterima teramat menyakitkan untuk didengar. Bisakah Tuhan mengembalikan Brielle untuknya? “Aku tidak suka melihat sahabatku seperti ini! Kembalilah, Nath! Jangan diam seperti ini!” Alice yang lelah menghadapi sikap aneh Leonathan semakin dibuat bingung dengan ekspresi pria itu yang layaknya mayat hidup, mengerikan. “Tidak biasanya kau segila ini, bicaralah!” Bukannya menengok sekilas atau memberikan balasan berupa ucapan singkat lagi, Leonathan memilih tetap diam dengan pandangan lurus ke jalan. Pria itu mencoba menutup telinga, tidak ada niatan untuk membalas mulut berisik Alice. “Kau membuatku ketakutan!” Nyatanya, Leonathan tetap diam. Sampai akhirnya, pria itu menurunkan Alice di klub La Favela langganan keduanya. “Turunlah, bersenang-senanglah.” “Berjanji padaku, kabari keadaanmu setiap satu jam sekali!” Leonathan hanya mengangguk kecil, tentu saja tidak dengan menatap Alice. “Jangan berbuat yang macam-macam, Nath! Aku tidak ingin kehilangan sahabat baik sepertimu, kau tahu ... hanya kaulah yang peduli dan sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri, jangan pergi atau memilih bun—“ “Mantanmu sudah menunggu, masuklah. Aku mendengarkan perintahmu,” potong Leonathan yang mampu membuat Alice bernapas lega. Masih enggan melihat Alice, Leonathan menatap kaca depannya. “Aku pulang,” imbuhnya yang langsung mengendarai mobil, tancap gas seperti tadi. Membiarkan Alice yang masih berdiri di depan La Favela dengan melambai ke arahnya. “Jika kau tidak memohon seperti tadi, mungkin aku sudah menabrak puluhan kendaraan sampai tak sadarkan diri dan kupastikan ragaku hilang.” Mencengkeram setir, otaknya harus dibuat tetap sadar meski mata biru itu sudah merasa panas. Beberapa detik kemudian sepasang mata biru yang lama tak pernah berair, kini mengeluarkan cairan langka itu. Hanya karena satu nama, Leonathan rela mengeluarkannya dari tempat persembunyian. Separah inikah dirinya sampai tidak boleh mendapatkan gadis suci seperti Brielle yang sudah dia nodai? Dirinya ingin bertanggung jawab, tetapi mengapa takdir membuatnya harus kehilangan wanita itu? Apakah kesukaannya pada puluhan wanita dulu kesalahan besar? Atau ini adalah karma yang harus dia dapat? “Brielle tidaklah salah, akulah yang merenggut masa depannya. Akulah yang menghancurkan harga diri dan semua yang dijaganya!” Membiarkan air matanya turun, Leonathan memberhentikan mobil seharga 1 Milyar lebih itu di depan pagar hitam rumahnya. “Izinkan aku melihatmu sekali lagi, meminta maaf, dan bertanggung jawab. Aku menginginkanmu, Elle.” Di malam itu, Leonathan memilih untuk berkeliling setelah menangis lebih dari lima belas menit. Pria itu kembali menyusuri jalanan menggunakan BMW Z4 hitamnya tanpa beristirahat. Hanya mengisi bensin dan lanjut lagi berkeliling di daerah Badung semalaman. Hingga pagi tiba, tepatnya pukul tujuh Leonathan sudah kembali ke rumah dan memilih untuk mandi. Bukannya sarapan, ia menghampiri lemari pendingin, mengambil sebotol kopi Cold Brew yang aman bagi penderita asam lambung. Apalagi Leonathan belum sarapan, sengaja, karena dia tidak nafsu makan jika belum menemukan Brielle. “Aku bersumpah, jika suatu hari bisa menemukanmu, aku akan menikahimu, Elle. Kaulah yang pertama dan terakhir, tidak ada yang bisa memilikimu selain aku. Aku harap Tuhan mendengar sumpahku,” gumamnya sebelum tertidur di atas lantai. Tubuhnya telungkup di atas keramik dengan tangan kanan yang masih menggenggam botol isi kopi, sisa setengah botol dan tertutup sempurna walau pria itu sudah diserang kantuk. Alice yang hanya menerima pesan Leonathan di malam hari saja menjadi kelimpungan setelah di jam satu siang juga tak kunjung mendapat kabar dari pria itu. Ia pun memilih untuk ke Mixture Cafe yang dipimpin Leonathan. Mencoba mengecek sahabatnya di sana, dan ternyata setelah menemui seorang karyawan dan menanyakan, “di mana Leonathan? Apa dia ada di ruangannya?” karyawan tersebut menggeleng. “Tuan tidak berangkat. Dia izin tidak berangkat karena mencari seseorang, dia juga mengatakan padaku untuk mengingatkan Nona Alice supaya fokus bekerja. Berhenti bermain-main dalam mengurus kafe.” Menggeledah kantong apron yang melekat di tubuh bagian depan, barista tersebut mengeluarkan ponsel dan menunjukkan isi pesan dari sang atasan. “Lihat saja kalau Nona Alice tidak percaya.” “Baiklah, aku mengerti. Sampaikan salamku padanya, dan ingatkan dia untuk membalas pesanku. Aku kembali ke kafe.” “Semangat bekerja, Nona Alice!” Alice hanya mengangguk dan melambaikan tangannya sebelum mengayunkan kaki, menjauh dari kafe itu dan kembali ke asalnya dengan perasaan yang sedikit lebih tenang dan lega. Setidaknya dia tahu kalau Leonathan baik-baik saja dan masih menyemangatinya bekerja.  “Dilihat dari waktu saat mengirim pesan, sepertinya Leonathan memang sedang ingin fokus mencari pujaannya.” Ya, Alice sempat melihat jam yang tertera di layar gawai barista tadi saat menerima pesan dari Leonathan, masih jam tujuh pagi. Kemungkinan besar Leonathan sedang mencari wanita itu. “Jika tidak bisa menemukannya, Naomi pasti akan sangat membenciku. Secara tidak langsung aku ikut bersalah.” Sudah lebih dari seminggu, Alice hanya mendapat pesan dari Leonathan. Bahkan dia tidak mendapat kabar terbaru mengenai Brielle. Alice yang tengah sibuk mengurus kafe hanya bisa memberikan dukungan pada Leonathan melalui ponsel saja. Hingga waktu berlalu, lebih dari tiga minggu dan hampir satu bulan dia juga hanya menghubungi Leonathan melalui telepon ataupun mengirim pesan singkat. Sampai lebih dari dua bulan, mereka menjadi jarang tukar kabar. Alice yang merasa khawatir dengan kondisi sahabatnya itu pun memutuskan untuk menilik Leonathan di rumah setelah pulang dari kafe, berharap pria itu ada di rumah. Memang, Leonathan ada di rumah. Hampir dua bulan penuh dia mencari Elle di seluruh Bali, bahkan Leonathan rela dua hari tidak tidur sama sekali hanya untuk mengitari Bali. Sesekali Leonathan tidur di dalam BMW Z4 miliknya agar bisa mencari wanita itu. Bahkan dia juga mengunjungi pantai-pantai yang dirasa bisa saja Elle berada di sana. Ia juga berharap agar tak sengaja bertemu dengan wanita manis itu. Jika memang dirinya ditakdirkan Tuhan untuk bertemu Elle di salah satu pantai yang ada di Bali, bukankah itu akan terasa manis? Perjuangannya mencari Elle akan terbayar. Namun, sayangnya itu semua hanya mimpi. Sampai bulan berlalu, dia tetap tidak bisa menemukan Brielle. “Rumahmu tidak terkunci, Nath!” Berada di ruang tengah sahabatnya yang telentang di atas sofa dengan dia kaki terangkat, menutup mata lekat-lekat. Alice yang merasa diabaikan lantas menarik salah satu kaki berat nan berotot itu sekuat mungkin menggunakan dua tangan sampai Leonathan benar-benar terbangun dan mau melirik ke arahnya. “Apa kau ingin pergi dari dunia ini?! Kau benar-benar ingin mengakhiri hidup dengan sia-sia?!” semprot Alice begitu manik biru melihat tepat ke arah matanya yang setia menusuk tajam. Leonathan tampak menyedihkan dengan mata yang terlihat seperti orang kurang tidur. “Kalau kau mencintainya, tidak mungkin menyerah dan membiarkan orang yang kau cintai sendirian di luaran sana!” “Berhentilah menasihatiku,” singkat Leonathan sebelum memejamkan kembali sepasang matanya. “Kau ini seorang laki-laki atau perempuan, HAH?! Kejar dan cari dia sampai dapat! Bukannya menyerah dan mengurung diri seperti orang yang tidak punya tujuan hidup, Nath!” “Aku memang tidak punya tujuan hidup.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN