Bukan Salahnya

1177 Kata
Brielle mundur, menjaga jarak dari Leonardo dan seketika geleng-geleng kepala. “Tidak, tentu bukan itu satu-satunya. Tapi, memang itulah salah satu alasanku. Tapi aku berani bersumpah, itu bukanlah alasan yang paling kuat. Murni ... alasan yang utama berasal dari perasaanku,” ungkap Brielle kemudian. Menahan tangan kekar yang ingin menggapai wajahnya, Brielle menatap mata Leonardo dalam-dalam. “Aku harap, sangat berharap, kau menerima keputusanku ini, Nard. Sudahi perasaanmu padaku, aku pun berhenti berjuang memupuk perasaan cinta padamu. Biarkan semuanya mengalir seperti seharusnya.” “Selama ini kau terpaksa menjalin cinta bersamaku?!” Dengan tegas Brielle menjawab, “tidak! Aku hanya berusaha menghargai perasaanmu dan aku mencoba untuk membalas cintamu. Aku minta maaf kalau semua itu kesalahan besar, tapi aku tidak bermaksud melukai hatimu. Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik.” “Meski kau tahu hasilnya berakhir dengan tidak baik?” “Maaf, aku tahu kau terluka.” Leonardo membungkam mulutnya dan menggeser tubuh. Ia meluruskan kaki panjangnya sembari mendongak, menatap langit yang gelap dan mendung. Membiarkan Brielle yang menatapnya penuh dengan pandangan merasa bersalah? Mungkin, karena sampai sekarang ia masih menatap Leonardo lekat-lekat. “Kalau aku bisa protes, lebih baik kita tidak pernah berjalin sejauh ini. Lebih baik kau menolak lamaranku daripada aku di hadapkan pada situasi yang seperti ini, Brielle.” “Maaf,” lirih wanita yang saat ini menundukkan kepala. “Sekali lagi aku minta maaf.” “Mengertilah, aku sangat mencintaimu. Apa yang membuatmu sulit membalas perasaanku?” Brielle tak menjawab, ia setia menunduk. “Bagian dariku yang mana yang perlu dibenahi? Kau tidak suka sifatku yang mana?” tuntut Leonardo yang tak terima jika hubungannya berakhir sampai di tahap ini. Padahal sudah banyak mimpi yang disusun dalam otaknya ketika Brielle menerima ajakannya untuk ke jenjang yang lebih serius. Semua sudah tertata, bahkan rencana indahnya akan terlaksana dalam waktu dekat. “Tidak dirimu, perasaanku saja yang tidak bisa tulus padamu. Sampai sekarang aku tidak benar-benar mencintaimu, Nard. Aku hanya menghargaimu yang terus bersikap baik padaku. Maaf, maaf untuk semuanya yang sudah pernah kita lalui.” Brielle menoleh, dan memberanikan diri mengamati wajah Leonardo baik-baik. “Maafkan aku.” “Tidak sabar ingin mengenalkanmu pada kakakku, tapi semua ini harus selesai. Kau tidak tahu betapa bahagianya aku ketika kau menerima ajakanku untuk bertunangan lebih dulu?” Leonardo menarik napas sebelum mengutarakan isi hati terdalamnya. “Semua sudah aku atur, ada angan-angan untuk menikahimu dua bulan lagi, Brielle Handoko. Tidakkah kau merasakan cintaku sedalam itu padamu?” “Aku tahu, tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku tidak bisa sungguh-sungguh mencintaimu, maaf....” “Aku semakin yakin kalau ini semua ulah Naomi. Dia yang menyuruhmu mengatakan ini semua, bukan?” “Tidak!” “Jujurlah, Brielle! Katakan saja kalau dia yang memaksamu berkata seperti ini! Aku tahu, dia masih menyukaiku, dia yang memintamu ‘kan?!” “Tidak, Nard!” sergah Brielle serius. “Ini bukan salahnya! Ini tidak ada sangkut pautnya dengan Naomi, semua aku putuskan atas dasar pemikiran dan perasaanku, hanya itu!” Brielle kian marah kala menangkap senyuman miring Leonardo. “Jangan menyalahkannya!” “Aku tidak suka dibohongi.” “Aku tidak berbohong! Aku berkata apa adanya!” timpal Brielle yang benar-benar berkata sesuai pikiran dan perasaannya. Jika iya, Brielle pasti mengatakan iya. Tidak mungkin dia tega menjadikan sahabatnya sendiri sebagai kambing hitam. “Semua murni keputusanku.” Namun yang diajak bicara masih tak percaya, tertawa seakan-akan omongan Brielle dianggap bercanda, tipuan belaka. “Tidak ada campur tangan Naomi, Nard. Justru dialah yang memaksaku untuk mempertahankan hubungan kita. Berhenti berpikiran yang tidak-tidak padanya, dia sangat baik.” Brielle menghembuskan napasnya dan meraih lembut jemari Leonardo. “Percayalah, dia perempuan yang sangat baik.” Masih menggelengkan kepalang, akhirnya Brielle membongkar saja tujuan Naomi yang sebenar-benarnya, “Dia mendekatkan kita juga karena ingin melihatmu bahagia. Kalau bukan karena ingin melihat senyummu, mungkin aku tidak akan berpacaran denganmu. Dia sahabat yang benar-benar baik, Nard ... percayalah.” “Lalu apa tujuanmu sebenarnya, kalau alasan putus kita ini bukanlah paksaan Naomi?” tanya Leonardo yang tiba-tiba turun dari kursi taman. Dia berdiri dengan kaki tertekuk, berlutut di hadapan Brielle dan menangkup wajah ibu satu anak itu. “Jawab sejujur-jujurnya. Aku ingin mendengarkan pengakuanmu. Asli, tanpa kau tutup-tutupi, Elle.” “Selama ini aku tidak mencintaimu dengan tulus.” Menatap Brielle dengan alis bertaut. “Ya, cuma itu.” Langit mulai bergemuruh, Brielle yang masih digenggam erat oleh Leonardo pun meminta pria itu, “bangunlah. Kita sudah selesai, maaf untuk sekali lagi. Pulanglah, bahagialah.” “Bagaimana aku bisa bahagia kalau sumber kebahagiaanku pergi dariku?” Leonardo menyimpan wajahnya di paha yang berbalut terusan sebetis itu. Menenggelamkan muka di sana, menutupi air mata yang luruh dari tempatnya. “Bolehkah kau cabut kata-kata itu dari mulutmu? Aku belum siap kehilanganmu.” “Kita masih bisa berteman.” “Aku ingin kita menjadi teman hidup, bukan teman berbatas tembok atau dinding, Brielle.” “Aku tidak bisa, maaf.” Meski mengucapkannya dengan sangat lembut, kalimat itu begitu menusuk hati Leonardo. Brielle mendaratkan dua tangannya di kepala lelaki itu dan mengusap rambutnya. “Kalau aku pura-pura mencintaimu, kau akan lebih menderita. Sadarlah, inilah yang terbaik. Aku harap kau mengerti keputusan dan perasaanku, aku tidak mau dicap sebagai wanita kejam karena menipu pria sebaik dirimu.” Brielle berhenti mengelus rambut Leonardo dan menambahkan lagi, “memangnya siapa yang mau menerima cinta tidak tulus? Penuh kepura-puraan dan indah di luarnya saja. Aku tidak ingin seperti itu, aku ingin perasaanku sama seperti perasaanmu terhadapku, tapi ternyata aku tidak bisa.” Leonardo yang sudah menangis di atas pangkuan Brielle pun meraih pinggang wanita itu dan menerima kalimat jujurnya dengan berat hati. Hujan yang tiba-tiba turun membasahi tubuh keduanya pun tak dipedulikan. Baik Brielle dan Leonardo membiarkan air langit menimpa mereka, dan lebih fokus pada tujuan mereka setelah pergi dari taman. “Bolehkah aku menemui Elnathan?” “Boleh, kapan pun kau mau, aku mengizinkan kalian bertemu. Kita juga tetap bisa berkomunikasi.” “Mungkin aku akan menjaga jarak denganmu.” Brielle paham, Leonardo pasti membutuhkan waktu untuk menghilangkan rasa cinta untuknya. “Tidak mudah untukku melupakan semua kenangan kita, Brielle. Kau yang membuat duniaku bahagia, tapi tiba-tiba memilih pergi. Sangat berat merelakanmu menjauh dariku.” “Kau akan berhenti berkomunikasi denganku?” “Itu sudah pasti.” Leonardo bangkit dan menarik tubuh Brielle agar ikut berdiri seperti dirinya. “Tetaplah menjadi wanita yang menyenangkan dan ceria. Jangan lupakan kenangan kita, aku ingin semuanya berakhir bahagia meski kita tidak bisa bersama.” Brielle mengangguk, menarik tubuh Leonardo dan mendekapnya erat-erat. “Semangat menjalani hidupmu, Brielle.” “Kau juga, Nard ... terima kasih untuk semua yang kau lakukan, terlebih waktu yang sangat panjang ini. Tetaplah menjadi pria yang baik.” “Kalau aku memilih berjuang mendapatkan cintamu lagi, apakah itu salah?” Brielle sontak saja menarik tubuhnya dari Leonardo. “Bukankah cinta perlu perjuangan?” tanya Leonardo dengan senyum menghiasi muka sedihnya. “Jangan bercanda, kita sudah selesai.” Brielle menatap Leonardo takut-takut. “Tidak ada kata kita lagi, Nard.” Leonardo masih tersenyum, bahkan bertambah lebar. “Aku pulang sekarang. Sampai jumpa”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN