Melihat mata Leonardo sekaligus bibirnya yang tersenyum aneh seperti ingin mendapatkan sesuatu, Brielle tambah tidak yakin kalau lelaki itu memiliki niat untuk berhenti menghubunginya. Entah kenapa Brielle malah merasa cemas dan takut akan hari-harinya ke depan. Apakah Leonardo akan bersikap santai atau seperti yang ditanyakan pria itu tadi? Yang jelas, Brielle tidak akan meladeni perjuangan Leonardo kalau memang mantan kekasihnya itu ingin berjuang mendapatkannya kembali.
“Cukup. Aku tidak ingin menyakiti perasaan sahabat baikku. Selain menjaga perasaannya, aku tidak bisa mencintaimu,” gumam Brielle sebelum masuk ke alam mimpi. Ia berbaring di samping anaknya dan menarik tubuh bocah tiga tahun itu ke dalam tangannya. “Suatu saat nanti, El pasti ketemu papa. Om Onard bukan papa El.” Sebelum menutup mata, menyempatkan untuk mendaratkan bibir manisnya ke pipi dan kening Elnathan. Sesudah itu barulah Brielle turun ke alam bawah sadar, membiarkan kantuk mengambil kendali dirinya.
Naomi yang sejak kepulangan Brielle sudah masuk ke kamar pribadinya. Wanita itu menangis, antara sedih dan senang. Di satu sisi dia ikut merasakan kesedihan Leonardo yang menerima perpisahan, namun di sisi lain Naomi juga senang karena dirinya tidak melihat orang tercinta menikah dengan sahabatnya sendiri. “Aku ingin menemuimu dan menghiburmu, Nard,” gumamnya yang memeluk bantal kuat-kuat. Membayangkan jika benda empuk yang dipeluknya ialah sang mantan. “Aku ingin kau menangis dan menuangkan semuanya padaku, Nard. Kalau aku bisa berbicara baik denganmu, aku ingin bersamamu sekarang. Aku tahu, malam ini kau pasti tidak tenang dan terpuruk.”
Sedangkan di rumah pemilik kafe sekaligus toko es krim dengan wafel, pria itu mendapatkan pesan dari adiknya yang ingin bertemu. Leonathan yang tengah berolahraga di ruang gym lantas menyudahi lari di atas treadmill. Mematikan lagunya, mengusap keringat dengan handuk yang menggantung di pundak, dan membalas singkat pesan sang adik sesudah alat olahraga lari itu mati.
Sesuai permintaan Leonardo, sang kakak datang ke rumahnya. Leonathan tidak banyak bicara. Hanya menyapa Leonardo dan menempatkan diri di ruang tamu tanpa membuka pembicaraan lagi. Ia tahu betul, ada yang tidak beres dengan adik kandungnya itu. Karena melihat betapa kusut dan sedihnya saudaranya itu, Leonathan juga tahu bahwa Leonardo baru saja meminum minuman beralkohol.
“Tidak ada kesempatan untukku, Nath.” Leonardo menyandarkan tubuh lemasnya pada badan sofa. Tidak mengamati wajah sang kakak, namun tangannya sudah menyentuh dahi. Memijat pangkal hidungnya sembari memejamkan mata.
“Lupakan saja dia,” singkat Leonathan sebelum tangan kanannya menyambar salah satu botol beralkohol di atas meja. Kemudian menuangkan isinya yang tak berwarna itu ke atas gelas kaca. “Wanita bukan hanya dia di dunia seluas dan sebesar ini,” tambahnya enteng. “Jika wanita itu ditujukan Tuhan untukmu, percayalah, siapa pun tidak akan bisa bersanding dengannya selain dirimu.”
“Susah merelakannya pergi dan membiarkannya memutuskan hal sebesar ini, Nath.” Leonardo terbatuk, kemudian membuka matanya dan berusaha duduk tegak dengan tangan menggapai gelasnya. “Kau tidak tahu rasanya kalau di posisiku saat ini, Nath. Kau tidak pernah tahu bagaimana rasanya ketika kau sudah di tahap serius, namun tiba-tiba wanitamu memutuskannya. Bukankah itu terlalu kejam?”
“Jika kau sudah tahu itu kejam, untuk apa kau memikirkannya? Lupakan, dan biarkan wanita lain mengisi kehampaan dirimu.”
“Hah! Kau bisa bilang begitu karena tidak tahu rasanya.”
“Tetapi aku bisa memberimu saran.” Leonardo membungkam bibirnya sebelum ia berbaring di atas sofa ruang tamu. “Kau juga tidak bisa memaksakannya.” Leonardo melempar tatapan penuh tanya hingga setengah badannya terbangun. “Ya, bagaimana pun keputusannya, dia sudah berani berkata jujur. Aku bukan bermaksud membelanya, tapi coba kau berpikir ... memang inilah jalan terbaik. Terbaik untukmu sendiri terutama, Nard.”
“Dari sisi mana? Dia pergi meninggalkanku saat kita sudah hampir menikah, lalu dia juga mengatakan bahwa selama ini tengah berusaha mencintaku, Nath! Baik dari mana?!”
“Lebih baik kau mengetahuinya terlambat daripada tidak sama sekali. Bukankah lebih bahaya dan menyakitkan jika kau tahu semua kepalsuannya setelah berumah tangga dengannya?” Leonathan mendekatkan bibirnya ke gelas dan meneguk isinya sembari memandang ke arah adik kandungnya yang tengah melongo. “Coba pikir baik-baik.” Meletakkan gelas itu ke tempatnya dan melipat tangan di depan d**a. “Berhenti mabuk dan pikirkan itu semua dengan kepala dingin.” Leonardo menarik napas dan kembali rebahan dengan menutup matanya erat. “Jika dia kejam, kau memang tidak pantas mendapatkannya, Nard. Menikahlah dengan wanita yang jauh lebih baik lagi.”
“Tapi aku masih mencintainya. Kau tidak mengerti. Perasaanku tidak bisa berpaling darinya.”
“Hanya orang bodoh yang tak mengerti dirinya telah dibodohi. Gunakan akalmu. Jangan mau kau dikendalikan oleh perasaanmu itu, Nath. Jika kau seperti ini, aku semakin yakin kalau kau pria lemah! Buktikan padanya kalau kau bisa berdiri sendiri, tanpa cinta palsunya kau bisa bangkit!”
Leonardo hanya melirik sejenak, kemudian benar-benar menutup matanya setelah memutar badan agar kepalanya tidak menghadap Leonathan. Pria itu sudah tertidur, efek alkohol pula dirinya bisa tak sadar seperti sekarang. Leonathan yang tidak mungkin pulang karena sang adik sudah pergi ke alam bawah sadar, akhirnya memutuskan untuk berbaring di sofa yang kini didudukinya.
Esok pagi harinya, Leonathan sudah datang di depan toko bunga Naomi. Kedatangannya di sana semata-mata untuk berusaha mendekatkan diri dengan Elnathan dan meminta izin Brielle agar wanita itu mau mengobrol dan memberinya kesempatan untuk berbicara. Sampai akhirnya sebuah mobil merah tiba di sana, di halaman parkir toko bunga itu, bersanding dengan mobil hitam Leonathan.
Si kecil Elnathan yang baru keluar dari pintu samping kemudi langsung berlari ke arahnya. Leonathan yang terkejut hanya bisa menatap Elnathan dengan tampang terkejutnya, bahkan ia tak tahu harus apa ketika bocah itu melebarkan senyum di hadapannya. “Hai,” sapa Leonathan kala bocah tiga tahun itu memeluk kakinya. “Kau aku gendong El?”
“Tidak ada yang mengizinkanmu melakukan itu!” pekik seseorang yang turun sembari menenteng tas bentuk mobil dan berjalan ke arah Elnathan dan Leonathan. “Mama minta El masuk dulu ke toko.”
Elnathan yang takut mendengar nada snag mama pun menoleh. “Iya Mama,” sahutnya patuh dan melepas tangannya yang melingkar erat di kaki Leonathan. Seketika itu juga Leonathan merasa dirinya ditolak menath-mentah oleh Brielle. Merasa kehilangan ketika keduanya mengabaikan kehadirannya dan memilih masuk ke dalam toko.
“Aku mohon, Elle ... bicaralah sebentar denganku, semua demi El,” pinta Leonathan sebelum wanita itu melewati pintu toko. Memutar badan, Brielle hanya menatap sebentar, sangat singkat. Lalu masuk ke toko begitu saja sembari menggandeng tangan mungil Elnathan. “Aku akan membawa kalian ke dalam hidupku, aku bersumpah untuk itu.”