Sudah berkali-kali Leonathan menghubungi nomor ponsel Naomi yang telah dikirimkan Alice padanya. Di sela-sela waktu istirahat seperti sekarang, ia tak berhenti mengirimkan pesan untuk sahabat Brielle itu, meminta nomor ponsel Brielle dan mengatakan bahwa dia sangat butuh nomor telepon Brielle dalam pesan tersebut. “Kenapa susah sekali menghubungi perempuan ini?" Merasa bingung dan kesal, kepalan tangannya menguat sampai urat-uratnya muncul. Kenapa seolah-olah aku dipersulit menghubunginya?” tanya Leonathan seraya mendongak, tepat ketika berdiri dari tempat duduknya. “Aku benar-benar ingin meminta maaf, tetapi, Kau seakan tidak memberiku jalan keluar.”
Bukan menyalahkan Tuhan, tetapi Leonathan terlalu pusing dengan apa yang dia alami saat ini. Untuk pertama kali dia tidak menyelidiki nomor ponsel, alamat, bahkan data-data penting milik perempuan yang ia kenal dari klub. Biasanya, dia tidak pernah lupa akan hal itu. Sekalinya lupa, Leonathan juga susah mencari data-data penting Brielle. Seakan-akan takdir ingin membuatnya lelah mencari.
“Tidak bisa berbuat apa pun selain menunggu balasan Naomi,” putusnya sembari menghembuskan napas lelah. Karena yang bisa memberikan informasi hanya perempuan itu, teman dari Brielle.
Berdiri di depan kaca ruangannya yang menampilkan pemandangan kafe lain, dan laut yang tak terlalu jauh dari kafe miliknya ini, Leonathan mengepalkan tangan. Tak habis pikir pada diri sendiri yang melupakan hal sepenting itu, data gadis yang menarik hatinya. Jika waktu bisa diputar kembali, Leonathan pasti ingin mencari informasi Brielle lebih detail, tidak seperti semalam yang asal bermain karena larut dengan situasi dan perasaan.
“Apakah aku menggunakan perasaan?” tanyanya pada angin, ia tidak sepenuhnya yakin pada hati dan otaknya sendiri. “Aku tak akan melukainya jika memakai perasaan, ya, tidak mungkin aku berani berbuat jika perasaanku ikut andil.” Lagi-lagi Leonathan membuang udara melalui hidung dengan kasar. “Aku pikir, itu hanya nafsu.”
Ingin rasanya dia meninju kaca bening jendela yang disentuh tangan kirinya saat ini sampai pecah, melampiaskan kemarahan dan penyesalan. “Aku harus mendapatkanmu dan maaf darimu secara langsung, Elle.” Kini ia hanya bisa berharap pada Tuhan agar Naomi cepat membaca pesan darinya dan segera memberi balasan. Perasaannya seperti mendesak dirinya sendiri untuk menggapai Brielle, wanita yang ia sentuh tanpa mengetahui semua asal-usulnya lebih dalam.
“Jika semalam aku menanyakan nomor, alamat, dan tempat kerjamu, mungkin sekarang aku bisa mendekapmu.” Sesuatu yang disesalkan oleh Leonathan, lupa menanyakan hal penting ketika berkenalan dengan seorang wanita. “Betapa bodohnya?!”
Waktu berlalu, dan kini yang dilakukan Leonathan mendengarkan pesanan pembelinya. Pria itu tidak ragu atau malu membuatkan kopi untuk para pembeli meski statusnya sebagai pemilik kafe. Hanya membuat kopi hatinya merasa jauh lebih tenang dan berpikir jernih. Terlebih lagi aroma kopi yang menyengat begitu memberikan kelegaan bagi pecinta kopi sepertinya. Pikirannya bisa teralihkan dari sosok wanita itu walau sejenak.
Ketika baru saja membuat segelas kopi yang rasanya tidak terlalu kuat dan kental, yakni kopi Americano, ponsel di dalam saku celananya bergetar. Keluar dari bar cafe miliknya, Leonathan merogoh saku celana. Menempatkan benda pipih gelap itu di telinga kanan, sang penelepon memberitahu kabar yang membuatnya terkejut bukan main. Sambil terus mendengarkan, langkah kakinya menuntun ke sebuah ruangan. Ruang khusus untuknya berpikir sekaligus rehat.
“Apa kau bisa menjelaskannya di sini? Aku masih di kafe, kemarilah.” Sang penelepon yang merasa keberatan, mengatakan tidak setuju. “Ayolah, Alice. Sekali ini saja, jangan hanya menjadi pemaksa. Kau pikir hanya dirimu yang bisa memaksa?” Leonathan sampai mengacak-acak rambutnya karena Alice tak ingin datang ke kafe Mixture pimpinannya. “Aku bosmu, bukan kau yang mempekerjakan diriku. Kau yang kemari!” Panggilan pun ditutup sepihak oleh Leonathan. Lelaki itu memilih menarik napas dalam-dalam sebelum memandangi langit senja yang sebentar lagi akan digantikan dengan gelapnya langit malam.
“Memang aku akui aku pria berengsek karena membuatmu tak sadarkan diri tadi malam. Tetapi, kau juga harus tahu ... dari sekian banyaknya wanita yang pernah aku temui, hanya kau yang membuatku tertarik dan menyesal sudah melakukan hal itu padamu, Elle.” Tiba-tiba saja ponselnya bergetar lagi. Begitu dilirik siapa pelakunya, Leonathan membalas, “akhirnya kau menuruti perintahku juga, Alice.”
Dua puluh menit setelah Leonathan menerima pesan bahwa Alice akan datang ke kafe pimpinannya, baik Leonathan maupun Alice sudah berada di tempat duduk. Keduanya saling berhadapan, ditemani kopi Cappuccino di masing-masing tangan mereka. Di meja nomor dua puluh itu Alice mulai mengabari hal terburuk yang tidak ingin pria kekar nan tampan itu dengar.
“Semua yang aku katakan barusan memang nyata, Nath ... Naomi hanya singgah sebentar di Bali. Kemungkinan besarnya, Naomi tidak ingin tanggung jawab dengan apa yang menimpa wanita itu karena ulahmu semalam.”
“Bisa-bisanya kau berpikir begitu dengan sahabatmu sendiri?”
“Ya, dia teman lamaku. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika dia memiliki sifat seperti itu. Zaman sekarang ini kita semakin sulit memercayai orang lain. Bukan begitu?”
Sambil mengusap-usap dagunya dengan jempol, Leonathan mendesah dengan hembusan napas panjang keluar dari hidungnya. “Kau ini sekalian cerita masalah pribadimu?” Alice mengangkat bahu, kemudian menyesap kopi Cappuccino yang teramat kental, manis, dan sedikit pahit di lidah. “Apa pesan darimu juga belum dibaca Naomi?” Alice mengangguk tanpa bersuara, masih menikmati kopinya. “Ya sudah, terima kasih sudah memberikan sedikit informasi yang semakin membuatku putus asa.”
“Apa kau benar-benar sudah jatuh cinta dengan wanita itu?”
“Jika tidak, aku tidak akan menidurinya. Kau sendiri tahu, selama ini aku tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun, termasuk dirimu. Aku hanya ingin melihat tubuh mereka, tidak lebih.” Alice begitu paham, keberengsekan Leonathan masih dibatas yang menurutnya normal. “Aku bukan pria lain yang sejenis dengan mantan kekasihmu, hanya mengincar tubuh saja tanpa mencari kenyamanan.”
“Berhenti memuji dirimu sendiri dan menjelek-jelekkan kenalan atau mantanku! Sudahlah, aku ingin pergi ke klub.”
“Tidak! Kembali ke kafe, kau ini aku gaji, jangan makan gaji buta, Alice.”
Alice tetap pergi, ia bangun dan menggeleng. “Aku harus menjernihkan otak dari bejatnya perlakuan seorang pria. Kau pasti memahamiku.” Sesudah itu melenggang pergi dari meja nomor dua puluh tersebut sembari melambaikan tangannya.
“Apa aku harus mengganti pemimpin kafe keduaku itu?” gumamnya seraya berdiri. Leonathan memilih keluar dari kafe Mixture miliknya ini, kafe pertama yang dipimpinnya sejak berumur dua puluh tahun. Itu tandanya umur kafe Mixture pertama atau pusat kafe Mixture ini sudah menginjak umur lima tahunan. Berbeda dengan kafe Mixture kedua yang kini berada di bawah pimpinan Alice, masih dua tahun, jalan tiga tahun. Jika Alice tidak berniat memajukan kafe keduanya, lebih baik dia memecat Alice dan mencari pemimpin yang pantas mengelolanya.
Leonathan memilih untuk masuk ke dalam mobil BMW Z4 hitam yang terpakir rapi. Masuk, menaikinya, dan mengendarai mobil mahal itu ke arah tempat tinggalnya. Ketimbang lari ke klub dan pikirannya tidak bisa teralihkan dari sosok Brielle, lebih baik dia mengingat betapa cantiknya wanita itu saat tidur di atas ranjang pribadinya. Leonathan yakin, wanita itu pasti sakit hati dan menyimpan kebencian padanya.
Sampai di rumah, lelaki itu lari ke kamar dan masuk ke kamar mandi. Ada celana dan pakaian yang belum ia cuci berada di lantai dan di sudut pintu kamar. Mengambil keduanya, Leonathan mengecek kantong celana yang kemungkinan ada barang tertinggal di sana. Benar saja, ia menemukan sesuatu. “Apakah ini salah satu petunjuk dari-Mu?” tanyanya dengan perasaan terkejut. Bagaimana tidak? Leonathan mendapatkan kartu pengenal, atau KTP milik Brielle yang ternyata sempat ia ambil sebelum dia melakukan hubungan badan. “Aku tidak ingat pernah mencuri barang ini dari tasnya.”
Menyimpan tanda pengenal itu di atas nakas, pria keturunan Jawa dan Amerika itu lantas masuk ke kamar kecil dan memulai aksi bersih-bersih badan secara kilat sebelum mencari alamat wanita itu. Ia pun tersenyum lega karena Tuhan masih mengizinkannya untuk mencari cinta pertamanya itu.