Pergi

1041 Kata
Pria yang bertelanjang d**a, masih belum sadar dari alam mimpi. Padahal langit di atas rumahnya sudah cerah. Matahari hampir tampak, kemungkinan besar membutuhkan waktu beberapa menit lagi untuk menampakkan diri secara keseluruhan. Tak lama, tubuh pria yang berbungkus selimut hitam itu bergerak untuk menghadap ke arah yang berlawanan. Semula tengkurap, kini telentang menghadap langit-langit kamar. Tiga detik kemudian, mata birunya terlihat. Kelopak matanya terbuka dan ia langsung menoleh ke kiri. Perempuan yang semalam tidur bersamanya kini sudah tak ada. Membuat Leonathan terkejut dan terduduk dalam sekejap. Ia syok, mendapati sisi kirinya kosong, tidak ada siapa pun. Berbeda dengan keadaan semalam, sebelum ia larut dalam kantuk. “Kau ke mana?” tanya pria itu begitu mengingat wajah cantik Brielle dalam otaknya. Tanpa basa-basi ia turun dari ranjang. Berjalan cepat ke kamar mandinya yang tertutup rapat. Leonathan pun mencoba tenang. Ia mengetuk pintu putih di hadapannya dan memanggil, “Elle! Apa kau ada di dalam?!” Tak ada sahutan dan hanya terdengar suara ketukannya yang menggema dari dalam. Dibukanyalah pintu itu dengan cepat, tangan kanannya mendorong gagang pintu dengan sekuat tenaga. “Sial!” menggeram dan meremas gagangnya sebelum membanting pintu itu. BRAK! Sesudah menutup pintu kamar mandinya dengan kasar, Leonathan bergegas mencari ponselnya di atas nakas, samping tempat tidur. Begitu melihat, ia menggapai dan mencari nama Alice di kontak. “Cepat angkat!” serunya begitu tak kunjung mendapat sapaan dari seberang. Tak putus harapan, Leonathan terus menelepon sahabatnya. Namun tetap saja, Alice tak kunjung menerima panggilannya. Dengan marah, pria bertubuh atletis tersebut melempar ponselnya ke ranjang. Saking kencangnya tangannya membanting, benda pipih itu memantul. Bersama rahang mengeras, Leonathan berbalik, menghampiri kamar mandi lalu segera masuk. Tak lupa membanting pintu itu untuk kedua kalinya, menutupnya dengan sangat kasar. Sampai barang yang menempel di tembok pun bergetar karena kedahsyatan dari dorongan tangan Leonathan. Sampai di dalam, Leonathan lantas memutar keran. Membiarkan air yang jatuh dari lubang shower membasahi tubuhnya. Tanpa melepas celana tidur hitamnya. Kedua tangan menempel pada dinding, kepala menunduk. Sepasang mata Leonathan terpejam, berharap ia bisa lebih tenang. Meski perlahan-lahan otaknya memaksa untuk mengingat peristiwa gila yang ia lakukan bersama Elle. Bagaimana kejamnya dia yang mengambil alih tubuh Elle di saat kesadaran gadis itu sudah sangat minim. Walau sang empunya mengizinkan, namun Leonathan sadar betul bahwa Elle sudah terpengaruhi oleh minuman beralkohol. Rahang pria itu kembali mengeras di saat ingatan itu menari-nari di otaknya lagi. “Mengapa aku sangat menyesal melakukannya?” tanya bibir Leonathan sembari membuka mata. Menatap tembok di hadannya dengan tajam, lalu tangan kiri terkepal. Dua detik kemudian, kepalan tangan itu menghantam dinding dengan sangat keras. “Aku tidak bermaksud merenggut kesucianmu,” geram Leonathan sebelum meninju lagi tembok putih kamar mandinya. “Aku tidak sengaja melakukannya.” Tak heran jika pria itu marah dan terkejut karena setelah tersadar dari tidur, Brielle tak ada di sampingnya. Terlebih lagi pergi dari rumahnya tanpa mengatakan apa pun. Leonathan sudah bisa merasakan apa yang dirasa oleh Elle begitu sadar di pagi hari. Pasti perempuan itu lebih terkejut, atau kemungkinan terburuknya adalah membenci Leonathan. “Aku harus mencari dan mendapatkan maaf darimu,” janjinya sebelum melepas celana dan mulai membersihkan tubuh kekar yang bersih dan putih itu. Tentunya dengan pikiran dan perasaan yang kacau Leonathan beraktivitas saat ini. Baru kali ini dia merasakan penyesalan yang besar setelah meniduri seorang gadis. Selama hidup di dunia, ia sama sekali tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Dari pertama menatap Elle, dia sudah bisa merasakan ada yang berbeda. Namun, lagi-lagi nafsunya yang menggebu tidak bisa ditahan ketika melihat lekuk tubuh Elle dan betapa menariknya gadis itu ketika mereka semakin sering berbincang. Mendengar suara Elle saja, Leonathan mampu merasa tenang dan di dalam hatinya seakan menemukan rekan yang cocok untuk menghabiskan waktu lebih lama. Sangat lama, dan Leonathan tidak merasa bosan sedikit pun. “TIDAK AKAN MELEPASKANMU!” teriaknya yang lagi-lagi memukul dinding kamar mandi dengan mata yang terbelalak lebar. “Tidak akan kubiarkan kau menjauh dariku, Elle.” Dua puluh menit lamanya Leonathan menghabiskan waktu di kamar mandi hanya untuk membuat tubuhnya lebih bersih dan harum. Dengan gesit, jari-jarinya memasang kancing satu-persatu dari bawah kemeja hitam yang membalut tubuhnya. Begitu selesai, digulungnyalah kedua lengan panjang tersebut sampai siku. Leonathan juga menghampiri ponselnya yang tertidur di atas ranjang, lalu mengantonginya. Tanpa mengambil jas hitam, ia keluar dari kamar. Karena di dalam mobil, Leonathan sudah menyiapkan beberapa jas bersih yang siap dipakai. Leonathan tidak lupa untuk menutup pagar sebelum masuk ke dalam mobil BMW Z4. Duduk tepat di belakang setir dan sesudah itu memakai seatbelt. Ia mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tangan kirinya merogoh kantong celana hitam, dan mengambil ponsel tersebut dari sana. Leonathan mulai mencari nama Alice dan melakukan panggilan. Satu panggilan tak dijawab, yang kedua juga masih tidak terjawab, ketiga pun masih sama, dan panggilan keempat mulai membuat Leonathan menggeram karena kesal. Satu yang ia sesali, dia belum sempat meminta nomor ponsel atau nama media sosial milik Elle. Jadi, jalan satu-satunya adalah meminta bantuan Alice, agar sahabatnya itu mau mengirimkan nomor ponsel Naomi. Dengan begitu, Leonathan bisa mendapatkan nomor pribadi Elle dari Naomi. Hingga akhirnya, di panggilan yang kelima, Leonathan bisa mendengar suara serak Alice dari seberang. Terdengar jelas sekali bahwa perempuan itu baru bangun tidur. “Aku ingin meminta nomor ponsel sahabatmu Naomi. Kirimkan padaku secepatnya. Aku membutuhkan itu.” “Untuk apa? Kau terdengar memaksa dan terburu-buru. Apakah ada sesuatu yang aku tidak tahu? Kau melakukan kesalahan?” tanya Alice sekaligus menebak. Wanita berambut pirang bergelombang yang semula terbaring di ranjang, kini memilih duduk sambil mendengar suara Leonathan dengan saksama. “Kirimkan saja nomor Naomi. Aku harus menutup teleponnya. Ingat perintahku, secepatnya. Aku sedang di jalan menuju kafe. Kuharap, setelah sampai kafe, kau sudah mengirimkan nomor Naomi. Sampai jumpa.” “Baiklah, sampai jumpa. Tetap fokus menyetir!” pesan Alice yang masih bisa tersampaikan sebelum Leonathan mematikan sambungan telepon dan mempercepat laju kendaraan roda empatnya. Dengan pandangan fokus ke depan, otaknya kembali pada sosok perempuan yang ingin dia kejar, Brielle Putri Adiharja. “Untuk kali ini, aku berharap pada-Mu. Jangan biarkan gadis itu menjauh dariku. Aku sangat menginginkannya,” ujar Leonathan dengan sungguh-sungguh sembari memandang ke arah langit yang sudah sangat cerah, karena sinar matahari begitu kuat menyinari bumi Bali. Untuk pertama kalinya, Leonathan berharap pada Tuhan agar berpihak padanya, kali ini saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN