Rahasia di Balik Perjodohan
Di Kediaman Pak Jenderal Hartono
Senja menyelimuti kediaman Jenderal Hartono. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Pak Jenderal Hartono duduk di kursi rotan kesayangannya, tatapannya menerawang. Suara langkah kaki Danu, putranya, membuyarkan lamunannya.
"Sudah pulang?" tanyanya, suaranya berat.
Danu, yang terlihat lelah, menjawab, "Sudah, Pah. Ada apa?"
Pak Jenderal Hartono tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Nak. Hanya bertanya." Ia menghela napas, lalu melanjutkan, "Noah, tolong bawakan foto yang kupinta tadi."
Ajudan Noah, yang berdiri tegap di dekat pintu, menjawab, "Siap, Pak Jenderal!"
Danu menghela napas panjang. Ia sudah menduga ini. "Haduh, Pah... Jangan mulai lagi dengan menjodohkan aku. Aku sudah bilang..."
"Diam, Danu!" potong Pak Jenderal Hartono, suaranya sedikit meninggi. "Papa yakin kau akan menyukai wanita ini. Cantik, seksi, dan—yang terpenting—bisa membuatmu betah di rumah, bukannya pulang pagi terus seperti sekarang!"
Noah kembali dengan sebuah amplop cokelat tua. Ia menyerahkannya kepada Pak Jenderal Hartono.
"Terima kasih, Noah," kata Pak Jenderal Hartono. Ia membuka amplop itu dan mengeluarkan sebuah foto. Ia menyerahkannya kepada Danu. "Bagaimana? Sesuai dengan yang Papa katakan?"
Danu mengamati foto itu. Wajah wanita di foto itu memang cantik, tetapi... ada sesuatu yang membuatnya ragu. "Siapa namanya, Pah?"
Pak Jenderal Hartono tersenyum dalam hati. Apakah ia akan setuju? Ia menahan napas.
Danu, di sisi lain, berpikir, Hmm... Pasti Papa berpikir aku setuju. Jangan harap, Pah!
"Oke, Pah. Kapan aku bisa bertemu dengannya?" tanya Danu, mencoba menyembunyikan keraguannya.
"Lusa, Nak," jawab Pak Jenderal Hartono, lega. Akhirnya luluh juga hati anakku! pikirnya.
Namun, senyum lega itu sirna begitu Danu menambahkan, "Baiklah, Pah..." Danu tersenyum licik. Tidak segampang itu membujukku, Papa. Saatnya mengetes calon menantu Bapak Jenderal Hartono ini!
Di Kediaman Pak Budi
Rumah Pak Budi terasa sunyi. Hanya deru AC yang memecah kesunyian. Pak Budi duduk di ruang keluarga, wajahnya tampak serius. Siska, putrinya, masuk dengan langkah ragu.
"Siska," panggil Pak Budi, suaranya berat.
Siska mendekat, hatinya berdebar. "Iya, Ayah. Ada apa?"
Pak Budi menatap Siska dengan tajam. "Ayah ingin kamu putus dari Robby."
Siska menggeleng keras. "Tidak mau, Ayah! Aku sudah sayang sama Robby."
Pak Budi menghela napas. "Siska, kamu tahu putra Jenderal Hartono, Danu, kan?"
Siska mengangguk. "Tahu, Ayah. Jenderal Hartono yang terkenal itu, ya?"
Pak Budi tersenyum licik. "Benar. Keluarga mereka jauh lebih kaya daripada Robby. Ayah dan Jenderal Hartono sudah sepakat menjodohkan kalian. Bayangkan, Siska! Kamu bisa mendapatkan kekayaan keluarga Hartono!"
Siska terdiam, pikirannya kalut. Ia tidak menyangka ayahnya akan melakukan ini.
Tanpa mereka sadari, sesosok bayangan berdiri di balik tirai jendela. Danu, putra Jenderal Hartono, telah mendengar semuanya. Wajahnya menegang. Ia merencanakan sesuatu, sebuah rencana yang akan mengubah segalanya.
Di Hari Perjodohan (Lamaran)
Suasana tegang menyelimuti ruang tamu rumah Pak Budi. Pak Budi, dengan senyum terpaksa, menyambut kedatangan Jenderal Hartono.
"Akhirnya kita bertemu lagi, Jenderal," sapa Pak Budi, suaranya sedikit gemetar.
Jenderal Hartono membalas dengan senyum kaku. "Ya, akhirnya. Bagaimana? Putrimu sudah siap bertemu putraku?"
"Tentu saja," jawab Pak Budi, lalu memanggil, "Anya! Siska!"
Anya, adik Siska, muncul lebih dulu. "Iya, Om..."
Siska menyusul, mendorong Anya dengan kasar. "Minggir, Anya!"
Jenderal Hartono terkesima melihat Siska. "Cantik sekali putrimu ini."
Pak Budi tersenyum bangga. "Terima kasih, Jenderal. Bagaimana dengan putra Jenderal?"
Jenderal Hartono memanggil ajudannya, Noah. "Noah, panggil Danu."
"Siap, Jenderal," jawab Noah, lalu menghilang sejenak. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan wajah pucat. "Maaf, Jenderal... ini Tuan Muda Danu..." Suaranya bergetar. Ia menunjuk kursi roda yang diduduki Danu. "Ta... tapi..."
Jenderal Hartono terbelalak. "Tapi apa, Noah?!"
Noah menunduk. "Lebih baik Jenderal melihat sendiri, Jenderal."
Jenderal Hartono menatap putranya yang duduk di kursi roda. Air matanya hampir menetes. "Astaga, anakku..."
Danu bergumam dalam hati, Ih, Papa lebay banget sih!
Pak Budi terlihat panik. "Ada apa ini? Jelaskan, Noah!"
Noah menjelaskan kecelakaan yang dialami Danu sehari sebelumnya dan diagnosis dokter: lumpuh.
Siska terpaku mendengar penjelasan Noah. Ia menatap Danu, lalu berkata, "Aku... aku tidak mau dijodohkan dengannya. Meskipun dia tampan, aku tidak bisa. Lebih baik aku kembali pada Robby."
Pak Budi langsung menarik Siska untuk berbicara empat mata. "Ssttt... Siska, jangan bicara seperti itu! Maaf, Jenderal. Permisi sebentar."
Danu tersenyum sinis dalam hati. Rasakan itu! Itulah akibatnya berani macam-macam dengan keluarga Jenderal Hartono!
Di Kamar Siska
Pak Budi berdiri di depan Siska, wajahnya memerah menahan amarah. "Siska! Jangan membuat Papa malu! Terima saja perjodohan ini! Dia kaya raya! Ingat, harta dan uangnya banyak!"
Siska menggeleng keras, air matanya menggenang. "Tidak, Yah! Aku tidak mau!" Ia terdiam sejenak, lalu sebuah ide muncul di benaknya. "Bagaimana kalau Anya saja yang menjadi istrinya?"
Pak Budi mengerutkan dahi. "Maksudmu Anya?"
Siska mengangguk cepat. "Iya, Yah!"
Pak Budi terlihat berpikir sejenak. "Baiklah. Panggil dia kemari."
Beberapa Jam Kemudian... (Di Lokasi Lamaran)
Suasana tegang masih menyelimuti ruangan. Jenderal Hartono terlihat tidak sabar. Pak Budi muncul dengan senyum palsu.
"Maaf atas penantian yang lama, Jenderal. Terjadi sedikit perubahan. Calon pengantin wanita... bukan Siska, tetapi keponakan saya, Anya."
Danu terbelalak, menatap Anya dengan tak percaya. Ia teringat wajah Siska yang cantik dan anggun. Dia...? Pikirannya kalut. Rencana liciknya untuk membalas dendam kepada keluarga Pak Budi tiba-tiba menjadi rumit. Ia tidak menyangka akan terjadi perubahan ini.
Flashback On
Sore itu, Anya baru pulang kerja. Ia melihat seorang kakek tua, Pak Basuki, kebingungan hendak menyeberang jalan. Lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, tetapi tak ada kendaraan yang lewat.
"Haduh, gimana caranya nyebrang ya?" gumam Pak Basuki. "Masa iya dari tadi nggak ada kendaraan yang lewat?" Ia mulai melangkah.
Tin! Tin! Tin! Suara klakson mobil memecah kesunyian.
"Kakek, awas!" Anya berteriak, jantungnya berdebar.
Pak Basuki tersentak, hampir saja tertabrak. Anya bergegas menghampiri. "Kakek tidak apa-apa?"
Pak Basuki memegangi dadanya. "Iya, Cu. Terima kasih sudah menolong Kakek."
Ajudan Rendra dan Danu, yang menyaksikan kejadian itu dari mobil, saling berpandangan.
Rendra berbisik, "Tuan Muda, itu kakek Anda."
Danu mengamati Anya. "Ya, memang. Tapi kita perhatikan gadis itu baik-baik."
Anya menawarkan bantuan. "Kakek mau nyebrang? Biar saya bantu."
Pak Basuki menerima tawaran itu. "Boleh, Dik, kalau tidak merepotkan."
Mereka menyeberang jalan bersama.
Flashback Off
Kembali ke acara lamaran. Jenderal Hartono mengamati Anya. "Keponakanmu juga cantik. Baiklah, kita rencanakan pernikahan tiga hari lagi."
Pak Budi lega. "Baik, Jenderal."
Keluarga Jenderal Hartono pulang. Sesampainya di rumah, Danu, tanpa bantuan siapa pun, turun dari kursi rodanya dengan lincah. Ia memanggil kedua ajudannya.
Di Kediaman Pak Jenderal Hartono
Suasana senja menyelimuti kediaman megah Jenderal Hartono. Di dalam kamarnya yang luas, Danu, yang tampak sehat walafiat, memberikan instruksi kepada kedua ajudannya, Rendra dan Rahmad.
"Saya perintahkan kalian berdua untuk menjalankan tugas penting," kata Danu, suaranya tegas. "Rahmad, kamu bertugas memantau Anya, calon istri saya. Perhatikan setiap gerak-geriknya. Laporkan semuanya kepada saya."
Rahmad mengangguk hormat. "Siap, Tuan Muda."
Danu beralih kepada Rendra. "Rendra, tugasmu adalah merahasiakan kondisi saya yang sebenarnya. Jangan sampai ada yang tahu bahwa saya berpura-pura lumpuh."
Rendra membungkuk. "Siap, Tuan Muda."
Kedua ajudan itu lalu meninggalkan kamar Danu. Rahmad segera menuju kediaman Pak Budi.
Di Depan Kediaman Pak Budi
Rahmad memimpin beberapa anak buahnya untuk berjaga-jaga di depan rumah Pak Budi. Ia memberikan instruksi dengan suara rendah namun tegas.
"Semuanya, kita berjaga di sini. Bergantian mengawasi rumah calon Nona Muda kita. Paham?"
Para anak buah Rahmad serempak menjawab, "Siap, Tuan!"